Salin Artikel

Suara Penyandang Disabilitas di Kota Bayu, Tak Ingin Cuma Jadi Penonton di Tiap Pemilu

NGANJUK, KOMPAS.com – Malam itu, Jumat 21 April 2023, gema takbir berkumandang di seantero Desa Sambiroto, Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Saat itu, rumah Kepala Desa Sambiroto, Achmad Sarif Eny Kurniawan, tampak ramai. Para amil zakat tengah sibuk mengumpulkan dan membagikan zakat fitrah dari para warga.

Di tengah hiruk pikuk petugas amil zakat itu, tiba-tiba salah satu ponsel berdering. Ponsel itu milik Sujono (48), pria paruh baya setempat yang kebetulan juga dipercaya menjadi amil.

“Itu teleponnya sekitar jam 9 malam (21.00 WIB),” kenang Sujono saat ditemui Kompas.com di kediamannya di RW 02, RW 02, Desa Sambiroto, Rabu (27/12/2023) siang.

Mendapat panggilan telepon, Sujono lantas keluar, menepi dari keramaian. Siapa sangka, telepon itu datang dari Ketua DPD PKS Kabupaten Nganjuk, Moh Shoberi. Dalam sambungan telepon itu, Sujono ditanyai banyak hal oleh Shoberi. Mulai dari pendidikan terakhir, dan yang paling dikenang yakni saat ia tiba-tiba ‘dilamar’ nyaleg.

“Mas Jon, sampean dicalonkan, nyaleg,” ujar Sujono menirukan suara Shoberi saat itu.

Sujono kaget mendapat ‘pinangan’ itu. Oleh karenanya, hal itu tak langsung diterimanya. Ia meminta waktu ke Shoberi, sembari membulatkan mental untuk maju di kontestasi Pileg 2024.

“Waktu itu tidak langsung saya iyakan, karena saya butuh menyiapkan mental saya,” tuturnya.

Pada akhirnya pinangan itu diterima oleh Sujono. Kini ia terdaftar sebagai Caleg DPRD Kabupaten Nganjuk Dapil 3.

Satu-satunya caleg disabilitas di Nganjuk

Majunya Sujono menjadi peserta Pemilu 2024 ini menjadi pembeda. Ia merupakan satu-satunya caleg DPRD Kabupaten Nganjuk yang berasal dari kalangan penyandang disabilitas.
Sujono memang memiliki keterbatasan fisik. Ia didiagnosa cacat lahir, kedua kakinya tak normal. Kini untuk beraktivitas, sehari-hari Sujono harus memakai kaki palsu.

“Ini (kondisi kaki) dari sejak lahir,” ucapnya.

Sehari-hari, Sujono berprofesi sebagai tukang servis televisi panggilan. Profesi ini telah digelutinya sejak tahun 1999 silam.

Keahlian mereparasi televisi ini ia dapatkan sewaktu menimba ilmu di SMK Taruna Bakti Kertosono. Lalu keahlian ini semakin terasah berkat pelatihan yang diikutinya di BLK Surabaya.

Di tengah-tengah kesibukannya melayani customer, Sujono selalu menyempatkan diri mengikuti kegiatan internal di PKS. Hingga akhirnya, pada Pemilu 2024 ini, ia diminta untuk maju menjadi caleg oleh partai.

“Saya nyaleg ya supaya diri saya ini bisa lebih bermanfaat, agar bermanfaat,” ujar pria yang juga menjabat Ketua DPC PKS Kecamatan Baron itu.

Menurut Sujono, tidak ada kendala berarti dalam proses pencalegan dirinya. Ia pun tak memikirkan persoalan modal dan jaringan, meski dirinya bukan berasal dari keluarga mapan.

“Kendalanya itu lebih ke mental sebenarnya,” sebutnya.

Pentingnya keterwakilan disabilitas

Jika persoalan modal dan jaringan tak menjadi kendala bagi Sujono, maka lain hal bagi Suwaji (45), penyandang disabilitas asal Desa Sumengko, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk.

Suwaji merupakan penyandang disabilitas daksa. Sehari-hari ia beraktivitas menggunakan bantuan kruk, karena kaki kirinya didiagnosa mengalami polio sejak ia berusia setahun.

Menurut Suwaji, persoalan biaya kampanye yang besar dan lemahnya jaringan membuat banyak penyandang disabilitas tak minat menjadi caleg. Kondisi ini seperti yang dialami oleh dirinya.

Ia bercerita, sebelum ini dirinya sempat ditawari oleh PKS untuk maju menjadi caleg DPRD Kabupaten Nganjuk, tapi pinangan itu ditolaknya.

“Masalahnya dana dan jaringan kurang,” ucap pria yang juga tercatat sebagai Ketua Komunitas Sejahtera, komunitas disabilitas di Desa Sumengko, itu.

Suwaji menyadari keberadaan penyandang disabilitas di parlemen sangatlah penting. Sebab, berbagai aturan perundang-undangan dilahirkan di dewan.

Jika ada yang mewakili, maka ia yakin aspirasi dari para penyandang disabilitas makin mudah terakomodasi.

Namun, tiadanya wakil disabilitas di parlemen membuat semuanya jauh panggang dari api. Produk Perda di Kabupaten Nganjuk yang mengatur perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas saja hingga kini belum dimiliki.

“Kalau enggak ada wakilnya (di DPRD) seperti sekarang ya kita enggak bisa mengakses kepentingan-kepentingan teman-teman,” papar Suwaji.

Berpengaruh pada kebijakan dan pembangunan

Belum adanya keterwakilan penyandang disabilitas di parlemen daerah ditengarai menjadi salah satu penyebab belum ramahnya kebijakan dan pembangunan bagi kaum difabel di Kota Bayu, nama lain Kabupaten Nganjuk.

Hal itu seperti terlihat dari banyaknya fasilitas publik dan kantor pemerintahan di Kota Bayu yang belum ramah terhadap kaum difabel. Kantor DPRD Kabupaten Nganjuk misalnya.

Pengamatan Kompas.com, dari dua gedung yang ada hanya ada satu ram atau akses untuk pengguna kursi roda. Itupun akses yang ada kemiringannya tak ideal.

Lalu di Kantor Bupati, Kantor Sekda, dan Pendopo KRT Sosrokoesoemo Pemkab Nganjuk juga belum dilengkapi dengan ram.

Berikutnya trotoar yang mengelilingi Alun-alun Nganjuk juga belum dilengkapi dengan fasilitas guiding block, lantai yang didesain khusus untuk membantu dalam mengarahkan disabilitas netra berjalan di trotoar.

“Itu (tidak adanya keterwakilan disabilitas di dewan) sangat berpengaruh, pasti itu,” ucap David Eko Arianto (48), penyandang disabilitas daksa asal Warujayeng, Kecamatan Tanjunganom.

Dorong afirmasi kuota caleg disabilitas

Sadar atas pentingnya keterwakilan disabilitas di DPRD Kabupaten Nganjuk, David berharap pemerintah dapat menjembatani persoalan ini, dengan merevisi UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Para penyandang disabilitas, kata David, sangat berharap mendapat afirmasi kuota caleg, sebagaimana afirmasi terhadap kuota caleg perempuan minimal 30 persen di masing-masing parpol.

“The next 5-10 tahun lagi mungkin UU Pemilu dapat diubah, jadi 30 persen caleg perempuan plus dua persen penyandang disabilitas misalnya,” harap lelaki yang kaki kanannya kena polio itu.

Ketua KPU Kabupaten Nganjuk, Pujiono menjelaskan, sejauh ini memang tidak ada ketentuan afirmasi caleg disabilitas yang harus dipenuhi oleh masing-masing parpol.

Kendati demikian, Puji sapaan karib Pujiono, memastikan kaum difabel memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi caleg. Ketentuan ini sudah termaktub di UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

“Khusus disabilitas ini dibunyikannya di Undang-undang Pemilu itu diperbolehkan (menjadi peserta Pemilu), intinya tidak ada larangan,” tegas Puji.

“Tapi tidak ada afirmasi, misalnya setiap calon sekian harus ada disabilitas itu tidak ada. Hanya dibunyikan (di UU) kesempatan yang sama, peluang yang sama kepada teman-teman disabilitas,” lanjutnya.

Berdasarkan pendataan KPU Kabupaten Nganjuk, kata Puji, jumlah penyandang disabilitas di Kota Bayu yang masuk DPT berjumlah 5.890 pemilih, dari total DPT sebanyak 855.779 pemilih.

“Jumlah pemilih (DPT) disabilitas di Nganjuk itu per kecamatan kita data, ketemu 5.890 orang, tersebar di 20 kecamatan,” beber Puji.

Sebanyak 5.890 penyandang disabilitas yang masuk DPT ini terdiri dari berbagai kategori.
Di antaranya disabilitas fisik atau daksa 2.577 pemilih, disabilitas intelektual 334 pemilih, disabilitas mental 1.571 pemilih, disabilitas sensorik wicara 558 pemilih, disabilitas sensorik rungu 224 pemilih, dan disabilitas sensorik netra 626 pemilih.

Pendidikan politik harus sasar kaum difabel

Menurut Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Kabupaten Nganjuk, Purwaningsih (53), tidak adanya keterwakilan disabilitas di DPRD dan minimnya caleg disabilitas membuktikan bahwa pendidikan politik belum menyasar kaum difabel.

Oleh karenanya, Pur, sapaan akrab Purwaningsih, mendorong agar stakeholder terkait memberikan pendidikan politik kepada para penyandang disabilitas, dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk tampil.

“Selama ini kesempatan enggak pernah diberikan. Mungkin kalau diberi kesempatan, diajari, ada edukasi, itu mungkin teman-teman akan lebih cepat,” ujar perempuan yang sejak umur dua tahun kaki kirinya didiagnosa mengalami polio itu.

“Saya kira itu kan yang penting kenal dulu. Karena teman-teman enggak pernah kenal dengan yang namanya politik. Paling mereka datang (diundang) sebagai objek, hanya itu. Tapi untuk diajak berpikir, kemudian diskusi bareng kok belum pernah,” tambahnya.

Pur menyebut sudah semestinya para penyandang disabilitas dilibatkan dalam urusan-urusan publik, termasuk dalam hal politik dengan menggandeng dan mendorong kaum difabel berani menjadi Caleg di Pemilu.

“Kita berusaha harus care lah, paling enggak mereka (parpol) harus menggandeng kita, bukan sebagai objek, tapi sebagai subjek,” papar pengajar di SLB Dharma Wanita Grogol, Kabupaten Kediri ini.

Minta aspirasinya didengar

Meskipun menyadari keterwakilan disabilitas di parlemen penting, namun sebagian kaum difabel lainnya memilih bersikap realistis.

“Yang penting aspirasi kami diakomodasi,” jelas Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Nganjuk, Hartono (47).

Menurut Hartono, keinginan dari kalangan penyandang disabilitas di Nganjuk sebenarnya sederhana, ingin agar fasilitas-fasilitas publik dan kantor-kantor pemerintah ramah dengan kaum difabel, inklusi.

“Di sini (Nganjuk) bangunan-bangunan belum ramah, katanya negara inklusi,” kata pria yang kedua kakinya kena polio itu.

Ketua National Paralympic Committee of Indonesia (NPCI) Kabupaten Nganjuk, Anik Herawati (51) menuturkan, sebenarnya perhatian dari Pemkab terhadap kaum difabel sudah bagus. Hanya saja fasilitas yang dibangun terkadang belum ramah bagi mereka.

Oleh karenanya, Anik berharap siapapun pemimpin di eksekutif maupun legislatif di Kota Bayu dapat lebih memperhatikan, dan memfasilitasi para kaum difabel.

“Yang penting aspirasi kami terfasilitasi, itu saja. Apa yang menjadi keinginan kita terfasilitasi,” tutur perempuan yang kaki kanannya didiagnosis polio itu.

“Wong kita itu keinginannya paling sederhana, tidak terlalu banyak, (yang penting) diwongkan, diundang, disamakan,” paparnya.

Belum banyak dilirik parpol

Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Nganjuk, Tatit Heru Tjahjono, mengakui bahwa selama ini partainya belum melirik para penyandang disabilitas di Kota Bayu.

Sejauh ini, tutur Tatit, pendidikan politik yang dijalankan DPC PDI Perjuangan Kabupaten Nganjuk baru menyasar kalangan milenial, gen z, para kader, dan orang-orang usia lanjut.

“Ya selama ini (kalangan penyandang disabilitas) belum masuk pembahasan,” ujar Tatit.

Kendati demikian, lanjut Tatit, pihaknya selalu melibatkan kaum difabel dalam momen-momen tertentu. Seperti mengundang mereka pada momen ulang tahun partai.

“Misalnya tahun baru atau mungkin kegiatan-kegiatan yang lain kita undang, kita memberikan bantuan-bantuan sekadarnya,” sebutnya.

Selain berkomitmen untuk lebih melibatkan penyandang disabilitas, Tatit yang juga menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Nganjuk berjanji untuk memfasilitasi kepentingan kaum difabel.

Menurut Tatit, pihak legislatif di DPRD Kabupaten Nganjuk sebenarnya sudah memperhatikan penyandang disabilitas. Hal itu, kata dia, dapat dilihat dari komitmen kalangan dewan dalam mengalokasikan anggaran bagi kaum difabel.

“Misalnya kami menjembatani lewat NPCI (Kabupaten Nganjuk) itu, kemarin kami menganggarkan Rp 200 juta untuk NPCI untuk tahun 2024,” beber Tatit.

Adapun terkait gedung DPRD Kabupaten Nganjuk yang dinilai belum ramah difabel, Tatit beralasan bahwa gedung dewan di Kota Bayu bangunan lawas, dan butuh biaya besar untuk merenovasinya.

“Itu kan (gedung DPRD Kabupaten Nganjuk) bangunan kawak. Tapi dari kami tetap memfasilitasi. Misal kayak kemarin mereka (penyandang disabilitas) datang, kita yang turun ke ruang tamu, yang penting masih bisa melayani,” bebernya.

Tatit pun memastikan pembangunan fasilitas publik di Kabupaten Nganjuk ke depannya lebih memperhatikan aspek inklusi buat kaum difabel. Menurutnya, hal itu sudah menjadi komitmen pemangku kebijakan di Kota Bayu.

“Untuk kegiatan pembangunan bangunan baru atau fisik-bisik baru, mesti memperhatikan aspek itu (inklusi bagi penyandang disabilitas). Misalnya bangun taman juga harus mengakomodir, terus Gedung BP2KD,” sebutnya.

Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Nganjuk, Jianto, yang juga menjabat Wakil Ketua III DPRD Kabupaten Nganjuk menegaskan, pihaknya berkomitmen dan mendorong eksekutif untuk mengakomodir kepentingan kaum difabel.

“Kita di DPRD akan support untuk anggarannya,” tegasnya.

Terbuka dengan afirmasi caleg difabel, tapi…

Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Nganjuk, Tatit Heru Tjahjono, turut mengomentari terkait aspirasi para penyandang disabilitas yang ingin mendapat afirmasi dalam urusan pencalegan di Pemilu.

“Barangkali itu (usulan afirmasi Caleg disabilitas) dapat menjadi rujukan, masukan, terkait dengan regulasi Pemilu berikutnya, yang memungkinkan mereka nanti untuk mewakili kelompoknya” ujarnya.

“Tapi kembali lagi kami mengikuti aturan dari pemerintah mulai dari undang-undang, (aturan) KPU pusat sampai KPU daerah. Kalau itu ada, saya juga siap menindaklanjuti,” sambung Tatit.

Pandangan serupa disampaikan Ketua DPC PKB Kabupaten Nganjuk, Ulum Basthomi.
Tak hanya terbuka dengan afirmasi Caleg disabilitas, Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Nganjuk itu mengaku siap menjembatani persoalan dana dan jaringan para Caleg potensial, termasuk bila suatu saat ada Caleg dari kalangan disabilitas.

“Di PKB memang di (Pemilu) 2024 ini kita beda dengan yang kemarin. Kita semua Caleg yang punya potensi, dalam arti dia mau bekerja, dia mau aktif untuk mengkampanyekan dirinya maupun mengkampanyekan partai, kita akan support,” tegas Ulum.

“Kita fasilitasi termasuk banner kita buatkan, yang kadang Caleg sendiri tidak kuat membuat itu kita buatkan. Bahkan untuk kegiatan-kegiatan yang mereka punya kader, kita bantu untuk memberikan transport kepada kadernya untuk dilatih,” lanjut dia.

Terpisah, Ketua DPD PKS Kabupaten Nganjuk, Moh Shoberi menuturkan, berkaitan dengan persoalan dana dan jaringan pihaknya menyerahkan sepenuhnya ke masing-masing Caleg yang diusung partai.

“Di kita ini pembiayaannya (Caleg) bersifat personal, semampunya,” kata dia.

Kendati tidak memberikan bantuan modal bagi para Caleg yang diusung, Shoberi memastikan bahwa pendidikan politik yang dijalankan DPD PKS Kabupaten Nganjuk telah menyasar seluruh kalangan, termasuk penyandang disabilitas.

“Dan di PKS itu ada UPA, Unit Pembinaan Anggota, yang tiap pekan itu nanti kita akan kumpul, dan di situ ada pendidikan politik,” pungkas Anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Nganjuk itu.

Disclaimer: Laporan ini merupakan bagian dari program Fellowship Meliput Isu Pemilu dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerja sama dengan Google News Initiative

 

https://surabaya.kompas.com/read/2023/12/28/131436378/suara-penyandang-disabilitas-di-kota-bayu-tak-ingin-cuma-jadi-penonton-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke