Salin Artikel

Menyoal Karhutla Gunung Lawu, Mengapa Kebakaran Sulit Dipadamkan?

Sekitar 12 hari setelah kebakaran melanda kawasan hutan Gunung Lawu pada Minggu (01/10), menyisakan titik api besar yang terletak di medan yang sulit dan curam. Faktor cuaca dan arah angin mempersulit pemadaman kebakaran.

Hingga Kamis (12/10) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) belum bisa memastikan apakah kebakaran di Gunung Lawu sudah padam lantaran sejak pagi kabut tebal menghalangi pemantauan titik api dari lereng gunung.

Cuaca buruk juga membuat pemadaman dengan water bombing tidak bisa dilakukan.

Hingga Rabu (11/10), hutan dan lahan seluas 180 hektare di Gunung Lawu yang terletak di Karanganyar, Jawa Tengah, hangus terbakar. Secara keseluruhan, sekitar 2.000 hektare hutan di Gunung Lawu yang berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, hangus terbakar.

Pakar menegaskan perlunya pemetaan titik-titik lokasi rawan kebakaran dan sosialisasi terkait pemahaman perubahan iklim kepada masyarakat sekitar Gunung Lawu.

"Mereka bakar-bakar sampah juga masih tetap [dilakukan]. Sekarang mungkin tidak ada masalah tapi kalau tidak antisipasi hal-hal seperti ini ke depan bisa menjadi masalah," ujar dia.

Berikut ini adalah sejumlah yang perlu Anda ketahi tentang kebakaran di Gunung Lawu.

Apa penyebab kebakaran di Gunung Lawu?

Kepala Pemangkuan Kesatuan Hutan Perhutani Surakarta, Herri Merkussiyanto Putro, mengatakan kebakaran yang terjadi di hutan Gunung Lawu merupakan hasil penyebaran kebakaran-kebakaran yang terjadi di Gunung Lawu wilayah Jawa Timur.

"Awalnya dari rambatan karena kita tahu di sebelah juga terbakar pada hari Sabtu," kata Herri kepada wartawan di Solo, Fajar Sodiq, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia saat dihubungi pada Selasa (10/10).

"Kita sudah antisipasi (kebakaran) tapi namanya memang kondisi angin dan tempat akhirnya masuk Jawa Tengah juga," ujarnya kemudian.

Herri menduga kebakaran tersebut memang karena faktor cuaca dan bukan karena ulah manusia.

Pasalnya, jalur pendakian di Gunung Lawu juga sudah ditutup sejak Sabtu (09/09) lalu setelah kebakaran yang terjadi Gunung Bromo, imbas dari api yang dipicu dari suar atau flare saat proses foto pra-nikah.

"Kita sebetulnya dalam kondisi siaga dari api mana pun, tapi kalau aktivitas dari pendaki atau pun manusia itu kemarin sudah kita tutup (jalur pendakian). Kemudian kalau di ketinggian tersebut jelas tidak ada kegiatan peladangan di atas," ujar dia.

Karhutla yang terjadi di Gunung Lawu itu terjadi di Kawasan Hargo Tiling dan Hargo Puruso. Adapun jumlah luas hutan yang terbakar, dikatakan Herri terus meluas dari hari ke hari.

"Luas hutan yang terbakar masuk Petak 63 A1 dan 63 A2 pada Senin lalu mencapai 170 hektare. Tapi pada Rabu pagi ini luas terbakar bertambah menjadi 180 hektare," sebut Herry saat dimintai perkembangan data terbaru luas kebakaran hutan di Gunung Lawu pada Rabu (11/10).

Selain itu dampak kebakaran juga menyebabkan terbukanya vegetasi, yang berpotensi mengurangi resapan air dan mengakibatkan banjir bandang atau longsor jika cuaca buruk.

"Yang tadinya vegetasi tertutup sekarang terbuka. Terus nanti ada resapan air yang mungkin tidak terproses dengan sempurna," kata dia.

Dampak kebakaran yang terjadi sejak Minggu (01/10) lalu itu juga menyebabkan suplai air untuk warga yang tinggal di lereng Gunung Lawu, tepatnya di sekitar kawasan Candi Cetho di Desa Gumeng, Karanganyar, ikut terdampak.

Salah satu warga yang bernama Sangadi mengungkapkan sejumlah warga yang tinggal di kawasan tersebut menggantungkan kebutuhan air dari sumber mata air Sendang Macan.

Akibat kebakaran tersebut, saluran pipa air di atas ikut terbakar sehingga aliran air dari sumber mata air itu terhenti.

"Karena apinya lewat sumber mata air itu dan pipanya ikut terbakar, akibatnya selama dua hari itu kesulitan air.”

“Selama dua hari itu warga naik ke atas membenahi pipa yang terbakar meskipun sekitar lokasi itu belum padam apinya," ujar dia.

Sejumlah relawan terjun membantu proses pemadaman melalui jalur darat, namun belakangan jumlahnya berkurang.

"Kalau yang naik [ikut memadamkan melalui jalur darat] sekitar 70 orang. Pengurangan relawan dilakukan karena pembuatan ilaran-ilaran sudah cukup dan untuk tempat yang dijangkau tidak memungkinkan untuk dijangkau manusia," ujar dia.

Ilaran adalah penyekatan di kawasan hutan, yang dibuat agar api tak merambat ke wilayah lain yang lebih luas.

Berdasarkan data Pos Induk Operasi Karhutla Gunung Lawu, jumlah relawan potensi SAR dan relawan yang bergabung untuk membantu pemadaman kebakaran di Gunung Lawu sekitar 2.300 - 2.400 orang.

Para relawan itu berasal dari berbagai daerah di kawasan Solo Raya dan dibagi dalam beberapa kelompok search and rescue unit (SRU).

Selanjutnya mereka memadamkan api melalui jalur darat di berbagai lokasi di Hargo Tiling dan Hargo Puruso.

Para relawan itu harus berjalan kaki selama empat jam dari pos induk pendakian Candi Cetho menuju titik lokasi kebakaran.

Menurut Juli, setibanya di sekitar lokasi kebakaran, relawan yang tergabung dalam kelompok SRU itu melakukan pemadaman dengan membuat ilaran-ilaran atau sekat bakar. Ilaran itu dibuat dengan lebar 1,5 meter hingga empat meter untuk memotong api agar tidak semakin meluas.

Pembuatan ilaran itu dilakukan mulai dari pos tiga hingga mendekati perkampungan warga. Menurut dia, pembuatan ilaran sangat efektif dilakukan untuk di medan yang datar.

"Untuk membuat ilaran-ilaran sudah cukup. Ilaran ini sangat efektif untuk yang mudah dijangkau melalui darat," kata dia.

Jalan satu-satunya pemadaman dilakukan dari jalur udara melalui water bombing, kata Juli.

"Karena tidak mungkin dijangkau manusia, maka pada sore hari ini kita nyatakan untuk pergerakan di Candi Cetho [pemadaman jalur darat] kita tutup. Jadi untuk api besar di tiga titik itu hanya bisa dilakukan lewat udara atau lewat heli," ucapnya.

Dia optimistis pemadaman tiga titik api itu bisa berhasil dilakukan dengan water bombing.

Menurut Juli kendala yang dihadapi pemadaman melalui jalur udara berasal dari faktor cuaca dan angin di Gunung Lawu.

Bahkan, pemadaman dengan water bombing pada Selasa (10/10) tidak maksimal lantaran muncul kabut tebal dan angin kencang di sekitar titik kebakaran.

Pemadaman melalui jalur udara itu dibagi menjadi dua wilayah, yakni pemadaman kebakaran di Gunung Lawu bagian Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pemadaman tersebut hanya mengandalkan satu unit helikopter dari BNPB.

"Pesawatnya (helikopter) ini kan dibagi, kalau di sini kondisinya buruk lari ke Jawa Timur. Kalau di sini kondisinya bagus langsung ditembakkan di sini," kata dia.

Proses pemadaman dengan water bombing itu memanfaatkan air di Embung Banyu Kuwung di Jenawi, Karanganyar.

Dalam sekali penerbangan, helikopter itu mampu mengangkut air sebanyak 1.000 liter untuk ditembakkan ke titik api di Gunung Lawu.

"Kalau untuk berapa jumlah air untuk memadamkannya itu tinggal kalikan saja, kemarin saja 22 kali. Kita berharap semoga saja hujan turun agar kebakaran lekas padam," sebutnya.

Apa berdampak langsung pada warga?

Juli memastikan kebakaran di Gunung Lawu tidak berdampak terhadap warga. Pasalnya titik lokasi kebakaran terletak di bagian atas Gunung Lawu dan jauh dari pemukiman.

Masyarakat, katanya, beraktivitas seperti biasa.

“Masyarakat tidak ada yang resah, berbondong-bondong ke mana-mana. Asap juga tidak mengganggu. Saya kira untuk masyarakat saat ini belum ada dampaknya," kata dia.

Bahkan aktivitas kunjungan wisatawan di Candi Cetho – salah satu destinasi wisata dan tempat beribadah bagi umat Hindu di kaki Gunung Lawu – juga tetap seperti biasa tidak terpengaruh adanya dampak kebakaran di Gunung Lawu.

"Di sini wisatawan juga tidak merasa terganggu. Setiap harinya juga banyak wisatawan," ucapnya.

Salah satu wisatawan asal Ponorogo, Nova mengaku tidak mengetahui jika terjadi kebakaran di Gunung Lawu. Bahkan, saat mengunjungi Candi Cetho, tampak tak ada dampak kebakaran di kawasan tersebut.

"Sampai sini baru tahu, oh ada kebakaran. Kalau saya lihat dari bawah nggak begitu kelihatan asapnya karena lebih kayak kabut gitu," kata dia.

Suryanto menegaskan, ke depan harus dilakukan jalur evakuasi untuk memutus jalur kebakaran.

"Artinya beberapa titik yang diperkirakan ada titik apinya itu, maka di wilayah-wilayah sekitarnya yang sekiranya bisa dilakukan clearance atau bisa dibersihkan supaya bisa terisolasi dengan titik api.

"Saya rasa bisa mengurangi risiko kebakaran yang lebih luas," kata dia.

Selain itu, Suryanto juga meminta pihak pemerintah untuk melakukan pemetaan titik-titik lokasi rawan kebakaran di Gunung Lawu.

Dari pemetaan tersebut akan diketahui jalur-jalur mana saja yang bisa dilakukan agar kebakaran tersebut tidak menyebar lebih luas.

"Pihak pemerintah harus sudah punya road map atau peta jalur isolasi jika terjadi kebakaran. Entah itu dibuat dengan alat berat atau dengan kearifan lokal masyarakat. Menurut saya pemetaan itu penting," jelasnya.

Sedangkan untuk mencegah faktor manusia sebagai penyebab kebakaran hutan di Gunung Lawu, ia meminta pemerintah untuk melakukan sosialisasi terkait pemahaman perubahan iklim yang lebih masif di kalangan masyarakat sekitar Gunung Lawu.

"Mereka bakar-bakar sampah juga masih tetap [dilakukan]. Sekarang mungkin tidak ada masalah tapi kalau tidak iantisipasi hal-hal seperti ini ke depan bisa menjadi masalah," ujar dia.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/10/14/164700178/menyoal-karhutla-gunung-lawu-mengapa-kebakaran-sulit-dipadamkan-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke