Salin Artikel

Mengenal Tradisi Tiban untuk Meminta Hujan di Banyuwangi

Pantauan Kompas.com, di Desa Tamanagung, Kecamatan Cluring, dua orang warga saling beradu cambuk di atas arena ring bambu seluas 3x3 meter.

Diiringi alunan musik tradisional, keduanya berlenggak-lenggok mengatur strategi menyabetkan cambuk ke tubuh lawan.

Mereka melakukan itu sebagai bagian dari upaya meminta berkah hujan kepada sang maha pencipta.

Ketua Panitia Tradisi Tiban, David Gia Ade mengatakan, tradisi tiban digelar karena kemarau panjang mengancam warga.

"Karena kemarau sangat panjang dan banyak sawah warga nyaris kekeringan. Terlebih air irigasi mulai surut debitnya," kata David, Rabu (4/10/2023).

Menurut David, tradisi tiban sudah 15 tahun tak diselenggarakan. Karena banyak keluhan soal kekeringan dari petani, maka tradisi ini kembali digelar.

“Tradisi ini sudah 15 tahun tidak digelar. Jadi ada obrolan warga tentang bagaimana tradisi ini digelar kembali, karena musim kemarau," ujar David.

Setelah dimusyawarahkan bersama, akhirnya warga sepakat untuk digelar kembali. 

"Yang ikut banyak ternyata. Bukan cuma diikuti warga Banyuwangi, juga dari Blitar, dan Jember juga ada,” ungkap David.

Dia mengatakan, tidak ada tujuan lain dari tradisi ini selain meminta hujan kepada sang pencipta. Tradisi tersebut rencananya digelar hingga 17 Oktober 2023.

Nama tradisi ini diambil dari bahasa Jawa tiban yang artinya tiba-tiba ketiban (kejatuhan). Sama seperti masyarakat yang berharap hujan tiba-tiba jatuh dari langit.

"Tradisi ini juga seakan menjadi obat kerinduan bagi warga dan pemuda Desa Tamanagung," tuturnya.

David menceritakan, terdapat beberapa aturan terkait dengan tradisi tiban yang harus dilakukan oleh pria dengan bertelanjang dada.

"Jadi setiap orang memiliki kesempatan mencambuk sebanyak tiga kali hingga mengenai dan melukai tubuh lawan. Kalau melanggar aturan cambukan bisa dikurangi," kata David.

Adapun peserta dilarang mencambuk bagian kepala dan bawah perut. Yang lebih menarik, cambuk yang digunakan dibuat khusus dari batangan lidi daun aren dan dililit oleh bilah bambu apus. 

Bahan cambuk itu sengaja dibuat, agar pertarungan di atas arena berjalan sportif dan tidak mengurangi nilai esensi dari tujuan tradisi meminta hujan itu.

"Lawan yang menjadi sasaran cambuk, diperkenankan menghindar dengan menangkis atau menjegal serangan," ujar David.

Pengakuan peserta

Salah satu warga Desa Tamanagung yang disebut sebagai senior petarung Tiban, adalah Ceho.

Dia mengaku ikut tradisi tiban sejak pertama kali digelar pada Jumat (29/9/2023) lalu.

"Tiban ini tradisi yang selalu saya tunggu selama 15 tahun. Alhamdulillah bisa terlaksana kembali. Saya sejak Jumat ikut terus, luka di tubuh ini sudah tidak terasa karena kalau sudah di arena dan mendengar musik, sudah lupa rasa sakitnya," kata dia.

Menurut Ceho, yang paling penting disiapkan dalam pertarungan tradisi tiban adalah mental dan fisik yang prima.

"Karena yang dihadapi di arena adalah cambukan pada tubuh tanpa pelindung," tandas Ceho.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/10/04/160556178/mengenal-tradisi-tiban-untuk-meminta-hujan-di-banyuwangi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke