Salin Artikel

Warga Sidoarjo Penggugat Kemenag soal Layanan Haji Diadukan ke Polisi atas Tuduhan Pemerasan

SURABAYA, KOMPAS.com - Prayitno, jemaah haji asal Sidoarjo, Jawa Timur, yang menggugat Kementerian Agama (Kemenag) sebesar Rp 1,1 miliar karena 11 kali tidak diberi makan saat berada di Tanah Suci mengaku diperiksa polisi pekan lalu.

Dia diperiksa atas aduan masyarakat kepada polisi yang menuding dia melakukan pemerasan di kantor Kemenag Sidoarjo. Pengacara tersebut mengaku hadir dalam pemeriksaan di Polresta Sidoarjo pada 15 September 2023.

"Saya datang pada pemeriksaan 15 September lalu. Lalu pada 18 September saya lengkapi berkas," ujar Prayitno, Minggu (1/10/2023).

Dia mengaku diperiksa atas pengaduan seorang bernama Taufik Hidayat asal Semarang, Jawa Tengah, yang menuding dirinya melalukan pemerasan melalui media sosial dan melanggar Undang-undang ITE.

Laporan tersebut bermula ketika Prayitno diwawancarai oleh beberapa media televisi tentang gugatannya kepada penyelenggara ibadah haji.

Kemudian, dua televisi itu mengunggah video hasil wawancara ke Youtube dan media sosial. Tersebarnya wawancara tersebut menjadi dasar Prayitno diadukan ke Polresta Sidoarjo.

“Saya dituding menyebarkan pemerasan melalui media sosial," terangnya.

Dia sendiri menolak disebut memeras Kemenag Sidoarjo karena yang dilalukannya sebelum mendaftarkan gugatan adalah bentuk mediasi.

Sebelum mendaftarkan gugatan ada namanya proses mediasi. Saat itu dia datang langsung ke Kemenag Sidoarjo untuk bermediasi agar membayar ganti rugi material maupun immaterial  yang ditimbulkan saat Kemenag tidak memberi makan jamaah 11 kali saat berada di Tanah Suci.

"Saat itu memang saya ajukan nilai kerugian. Tapi itu bukan pemerasan, itu proses mediasi namanya. Karena mediasi gagal, akhirnya gugatan saya daftarkan," jelasnya.

Terpisah, Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Surabaya Hariyanto menyebut Prayitno adalah salah satu anggotanya.

Pihaknya mengawal perkara Prayitno agar berjalan transparan.

"Ini perkara bangsa yang menggugat pelayanan penyelenggara negara," ucapnya.

Terlepas dari Prayitno anggota atau bukan, dia sangat menyesalkan pengaduan tersebut. Menurut Hariyanto, pengacara menyalahi kode etik jika tidak melakukan mediasi.

"Apa yang dilalukan Prayitno adalah hal wajar, bukan pemerasan. Sebelum gugatan harus ada mediasi. Itu sudah kode etik pengacara," jelasnya.

Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri Setjen Kementerian Agama Ahmad Bahiej saat dikonfirmasi enggan menjelaskan detail soal perkara tersebut. Dia meminta semua pihak meminta pembuktian di Pengadilan Negeri Sidoarjo.

"Jadi tunggu saja bagaimana hasil pembuktian pengadilan, kita hormati proses hukum yang sedang berjalan," katanya.

Pihak Polresta Sidoarjo sampai saat ini belum memberikan tanggapan soal hasil pemeriksaan Prayitno. Pesan dan upaya konfirmasi melalui telepon belum direspons oleh Kasat Reskrim Polresta Sidoarjo AKP Tiksnarto Andaru Rahutomo.

Seperti diberitakan, Prayitno, jemaah haji asal Sidoarjo, Jawa Timur, melayangkan gugatan atas pelaksanaan ibadah haji tahun ini.

Dia meminta Kementerian Agama (Kemenag), Kanwil Kemenag Jatim dan Kantor Kemenag Sidoarjo membayar ganti rugi masing-masing Rp 1,1 miliar karena dituding menelantarkan jemaah saat pelaksanaan ibadah haji.

Prayitno merinci, ganti rugi tersebut dari ganti rugi materi sebesar Rp 150 juta, sementara ganti rugi immaterial sebesar Rp 1 miliar.

Selain ganti rugi, dalam gugatannya Prayitno juga meminta Kemenag meminta maaf kepada seluruh jemaah haji Indonesia secara terbuka melalui media massa karena telah melakukan penelantaran jamaah haji.

Dia sendiri adalah jemaah haji dengan nomor kelompok terbang 17 asal Sidoarjo. Dia berangkat pada 29 Mei 2023 dan tiba di Tanah Air pada 22 Juli 2023.


Penelantaran yang dimaksud Prayitno, selama dia menjalani ibadah haji, dia mencatat 11 kali jemaah tidak diberi jatah makan. Selama 3 hari di Mekkah, dia mengaku sembilan kali tidak dikasih makan.

Saat itu memang diumumkan bahwa sehari sebelum wuquf di Arofah dan 2 hari saat berada di Mina tidak diberi makan.

"Tapi kompensasi tidak ada. Entah roti atau makanan pengganti tidak ada," ujarnya.

Sementara saat jemaah berada di Muzdalifah, dua kali tidak diberi makan.

"Dua kali di Muzdalifah tidak dikasih sarapan, bahkan air minum tidak ada sampai makan siang juga tidak dikasih," katanya.

Baru dikasih jam 5 sore itu untuk makan malam," tambahnya.

Dia juga menyesalkan menu makanan yang dibagikan kepada jemaah.

"Lauknya hanya sambal goreng tahu tempe," terangnya.

Jemaah, menurut dia, cukup bersabar dan menganggap semua itu sebagai cobaan saat menjalankan ibadah.

Sehigga jemaah berinovasi memberi tambahan lauk seperti telur dan bakso yang dibeli secara mandiri. Bentuk penelantaran lainnya terkait penjemputan di Muzdalifah.

Menurutnya, jemaah yang datang tengah malam dari Arafah ke Muzdalifah janjinya dijemput setelah shalat shubuh.

"Namun kenyataannya dijemput jam 9 pagi sampai jam 11 siang, saya yang jam 11 siang itu. Ada jemaah lain yang dijemput jam setengah 2 siang," ungkapnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/10/01/162913778/warga-sidoarjo-penggugat-kemenag-soal-layanan-haji-diadukan-ke-polisi-atas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke