Salin Artikel

Momen Terakhir Elmiati bersama Anak Balita dan Suaminya di Stadion Kanjuruhan

MALANG, KOMPAS.com - Salah satu rumah di kawasan Dusun Genitri, Desa Toyomarto, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang tersebut tampak sepi.

Beberapa saat setelah Kompas.com mengucap salam, Elmiati (30) keluar dan mempersilakan masuk.

Rumah tersebut tidak terlalu besar. Pada dinding-dindingnya, terdapat sejumlah foto. Yang paling menarik perhatian adalah foto Elmiati dengan suaminya Rudi Hartono (34) dan anak balita mereka, Muhammad Virdy Prayoga (3,5).

Foto itu diambil sebelum laga Arema kontra Persebaya berlangsung pada 1 Oktober 2022.

Siapa sangka, foto tersebut menjadi foto terakhir yang mengabadikan kebersamaan mereka.

"Foto itu ini adalah momen kebersamaan terakhir saya dan suami saya waktu itu, Di Stadion Kanjuruhan saat menonton pertandingan Arema FC, sebelum keduanya meninggal dunia dalam tragedi Kanjuruhan," ungkap Elmiati dengan suara lirih, Kamis (28/9/2023).

Kepergian suami dan anak balitanya masih meninggalkan duka mendalam bagi Elmiati, meski satu tahun telah berlalu.

Malam demi malam dia lalui tanpa melupakan ingatan tentang kejadian kelam di Stadion Kanjuruhan Malang itu.

Baginya, hari tersebut adalah hari terpahit di hidupnya. Setiap memori itu melintas, atau bahkan singgah lebih lama, air matanya tumpah.

"Kalau teringat, saya memutar video-video kerusuhan itu. Meski pada akhirnya saya selalu tidak kuat menahan tangis. Namun, hanya video itulah yang saya punya untuk mengenang hilangnya suami dan anak bungsu saya," jelasnya.

Menghela napas dan ikhlas. Itulah cara Elmiati mencoba berdamai dengan waktu.

Meski perempuan kelahiran Kecamatan Blimbing, Kota Malang itu mengaku belum puas sepenuhnya dengan vonis terhadap mereka yang dinilai bertanggung jawab.

"Kalau pada proses hukum saya belum puas," katanya singkat.

Elmiati mengenang kembali saat di mana dia bersama suami dan anak bungsunya berangkat ke Stadion Kanjuruhan untuk menonton pertandingan.

Laga Arema melawan Persebaya saat itu adalah pertandingan bola pertama yang disaksikan oleh Elmiati secara langsung.

"Kami sebenarnya bukan suporter fanatik Arema FC. Suami saya hanya beberapa kali nonton pertandingan Arema FC di Stadion Kanjuruhan, dan saya baru pertama nonton saat itu," jelasnya.

Mereka berangkat bersama dengan saudara-saudara dengan menaiki motor, menempuh perjalanan 29 kilometer dari rumahnya saat itu, Jalan Sumpil, Kecamatan Blimbing, Kota Malang.

"Kami berangkat bersama saudara-saudara sekitar 10 orang, mengendari sepeda motor masing-masing," tuturnya.

Sesampainya di Stadion Kanjuruhan, Elmiati duduk di tribun 13, berdampingan dengan anak dan sang suami.

"Tidak ada luapan emosi maupun perasaan senang, atas kemenangan maupun kekalahan Arema FC. Sebab kami memang bukan suporter fanatik. Seperti yang saya katakan, kami nonton hanya untuk menghibur anak kami," ujarnya.

Suasana bahagia tiba-tiba berubah menjadi kepanikan. Kericuhan pecah di tengah pertandingan. Saat itu mulanya Elmiati, anak, dan suaminya tetap memilih duduk di tribune.

"Suporter yang ada di tribun tempat kami duduk, juga ribut dengan teriakan emosi akibat kekalahan Arema FC. Namun, kami tetap duduk. Suami saya berusaha menenangkan dan bersiap untuk melindungi kami apabila keributan terjadi," papar Elmiati.

Tak diduga, gas air mata melesat ke tribune 13, tempat Elmiati dan keluarganya duduk.

"Saat itulah, para suporter berhamburan. Kami pun bergegas menuju pintu keluar," katanya.

Sang suami, kata dia, menggendong putranya. Namun, di tangga pintu keluar tribune 13, menurut Elmiati, para suporter bertumpuk dan berdesak-desakan. Mereka saling berebut untuk keluar. 

"Kami agak sulit bernapas, karena selain asap gas air mata juga karena terlalu berdesak-desakan," katanya.

Di tengah situasi antara hidup dan mati itulah, Elmiati terpisah dengan anak dan suaminya.

"Saya tidak tahu. Tiba-tiba kami terpisah. Saya hanya meyakini suami dan anak saya sudah di depan pintu keluar. Karena mulai dari tribune, suami saya lari di depan saya," tuturnya.

Saat itu, Elmiati mengaku berada di pojok lorong sebelum pintu keluar, tidak bisa bergerak akibat berjubelnya manusia.

Di pojok lorong itu, Elmiati mengaku sempat melihat petugas pembantu keamanan dan keselamatan (steward) berjarak sekitar 1-2 meter di depannya.

Yang ada di pikiran Elmiati saat itu adalah meminta tolong agar suami dan anaknya diselamatkan. Berulang-ulang dia menjerit sampai suaranya parau.

"Tolong tokno bojoku, Pak! Tolong tokno bojoku, Pak!, Pak, Tolong tokno bojoku!. (Tolong keluarkan suami saya, Pak! Tolong keluarkan suami saya, Pak! Pak, tolong keluarkan suami saya!). Namun teriakan saya sepertinya tidak didengar dan tidak digubris akibat terlalu sesaknya manusia," katanya lirih.

Elmiati saat itu kesulitan bernapas. Matanya terasa perih akibat asap gas air mata.

Ia pun sudah pasrah dengan hidupnya saat itu. Ia tidak tahu bisa bertahan berapa lama di lorong itu dalam kondisi berdempet-dempetan.

"Tidak lama kemudian, seseorang tidak saya kenal menarik saya kembali naik tangga menuju tribune. Saya tidak mengenal orang itu. Ternyata ia menolong saya karena saya dikira adiknya," tuturnya.

Beberapa waktu kemudian salah seorang datang menghampirinya. Ia minta dikirimi foto suami dan anaknya, untuk membantu pencarian.

"Saudara saya itu meminta saya untuk tetap diam duduk di tribune. Ia akan mencari keberadaan suami dan anak saya," jelasnya.

Beberapa waktu kemudian, kakak iparnya datang ke menghampiri Elmiati di tribune. Ia mengatakan kepada Elmiati bahwa anak dan suaminya sudah berada di parkiran.

"Saya agak lega. Namun, berselang kemudian, sekitar 30 menit saya merasa curiga karena kakak ipar ini tidak kunjung mengajak saya turun menemui suami dan anak saya," terangnya.

"Akhirnya saya segera mengajak kakak ipar saya untuk segera keluar menemui suami dan anak saya. Namun, kakak ipar tetap saja terdiam, sambil memegang ponselnya terus menerus," imbuh dia.

Ternyata, sang kakak ipar sebetulnya belum menemukan suami dan anaknya. Dia mengatakan hal tersebut agar Elmiati yang tampak panik bisa tenang.

Seseorang kemudian memberikan informasi pada Elmiati bahwa suami dan anak balitanya berada di rumah sakit. 

"Saat itu anak di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kanjuruhan dan suami di Rumah Sakit Wava Husada Kepanjen. Saya dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kanjuruhan. Namun, saya terkejut ternyata saya di bawa ke kamar mayat. Di situ saya tidak kuat dan menolak masuk," tambahnya.

Elmiati masih inggat betul, pukul 02.00 WIB dini hari, anak dan suami saya dibawa pulang menggunakan ambulans.

"Suami dan anak saya tidak berdosa meninggal begitu saja," dia berkaca-kaca.

Suami dan anaknya dimakamkan berdampingan di kawasan Jalan Sumpil, Kecamatan Blimbing, Kota Malang.

"Sampai saat ini, setiap hari kamis saya ziarah ke makam suami dan anak saya," ujar Elmiati.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/10/01/060000278/momen-terakhir-elmiati-bersama-anak-balita-dan-suaminya-di-stadion

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke