Salin Artikel

Cerita Mbah So, Penjaga Tari Topeng Kaliwungu Lumajang yang Kini Jadi Pengayuh Becak

Tarian itu adalah kesenian tradisional asli Kabupaten Lumajang, Jawa Tengah yang hingga kini masih dipentaskan.

Selain beraktivitas sebagai tukang becak di Kecamatan Pasirian, Mbah So bisa dibilang merupakan sosok di balik melejitnya eksistensi Tari Topeng Kaliwungu sampai ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) milik Kabupaten Lumajang oleh Kementerian Pendididikan pada 2021.

Mengenal Mbah So

Mbah So memang bukan pencipta Tari Topeng Kaliwungu. Penggagasnya adalah Mbah Sanemo, pria asli Madura yang hijrah ke Lumajang, tepatnya di Desa Kaliwungu, Kecamatan Tempeh.

Mbah Sanemo mengakulturasikan kebudayaan Madura dengan Matraman sampai lahir Tari Topeng Kaliwungu.

Mbah Sanemo memiliki puluhan murid untuk diajari menari Topeng Kaliwungu. Satu di antaranya Sutomo.

Namun, dari sekian banyak murid Mbah Sanemo, hanya Sutomo yang masih hidup. Sedangkan, teman-teman seperjuangannya telah meninggal dunia terlebih dahulu.

Kini, usia Mbah So telah menginjak 60 tahun. Kala belajar dengan Mbah Sanemo, Mbah So berusia 7 tahun dan menjadi murid termuda ketika itu.

Mbah So kecil mulanya hanya ikut membantu Mbah Sanemo menarik layar untuk pertunjukan ludruk. Kesungguhan Sutomo itu rupanya diperhatikan Mbah Sanemo dari hari ke hari.

"Mulai nari habis sunat itu, lupa angkanya (tahunnya). Awalnya ya narik layar itu ikut bantu Mbah Nemo," kata Sutomo di rumahnya, Rabu (20/9/2023).

Suatu Mbah Sanemo memanggil Sutomo untuk menari. Namun, pelajaran pertama yang diterima Sutomo kala itu adalah memainkan gendang.

Sebab, wajib hukumnya bagi seorang penari untuk mengetahui irama musik yang akan mengiringinya agar setiap gerak tarian bisa selaras.

Darah seni rupanya telah mengalir pada diri Mbah So sejak kecil. Tidak butuh waktu lama, kurang dari seminggu, Mbah So sudah mahir memainkan gendang.

Setelah itu baru Mbah So belajar menari Topeng Kaliwungu. Mulai dari cara berjalan, menghentakkan kaki, mengepakkan tangan dan menggelengkan kepala.

"Awal (belajar) gendang, pas bisa langsung nari, ya mulai dari jalannya sampai bisa sekarang ini," lanjutnya.

Masa kanak-kanak Mbah So dihabiskan untuk mendalami Tari Topeng Kaliwungu. Saat remaja, gerakan menarinya sudah semakin mahir, tak heran jika Mbah So kerap diajak Mbah Sanemo untuk tampil dalam berbagai acara.

Kala itu, memang tidak banyak festival maupun gelaran budaya yang digelar di alun-alun maupun panggung-panggung megah.

Tari Topeng Kaliwungu biasanya ditampilkan dalam acara-acara adat maupun acara pernikahan hingga khitanan warga.

Dulu, untuk sekali tampil dengan durasi pertunjukan 1 jam, para penari ini mendapatkan bayaran Rp 50.000.

Kini, bayaran yang diterima sudah naik menjadi Rp 200.000 untuk sekali pertunjukan.

Namun, yang membedakan adalah intensitas pertunjukannya kini semakin jarang. Hanya bulan-bulan tertentu, kelompok tari Sutomo ini mendapatkan undangan untuk tampil.

"Pokoknya ke mana-mana ikut Mbah Nemo, bayarannya ya sedikit, tapi saya enggak pernah mikir bayaran, yang penting saya nari gitu saja," terangnya.

Penghasilan yang tidak menentu dari menari, membuat Mbah So memutuskan memilih pekerjaan sebagai tukang becak.

Sebab, selain menari, tidak ada keterampilan lain yang dimilikinya karena ia tidak sampai menamatkan pendidikan sekolah dasar (SD).

"Ikut nari itu langsung putus sekolah, jadi ya bisanya becak ini, dulu enggak sekolah kok,"

Sudah puluhan tahun Mbah So menjadi seorang tukang becak. Mulai dari becak yang dikayuh, hingga kini berubah jadi becak motor (bentor).

Penghasilannya pun hanya cukup untuk makan sehari-hari bersama keluarga. Tidak jarang, Sutomo harus pulang dengan tangan kosong karena tidak mendapatkan penumpang.

"Mulai ontel sampai bentor ini tahun 2017-an, enggak kuat soalnya. Kalau pun masih kuat ngayuh ya bakal ditinggal sama teman-teman karena semua sudah pindah ke model bentor," kata Mbah So.

Meski mulai jarang tampil, keuletan dan keteguhan Mbah So untuk menjaga keaslian Tari Topeng Kaliwungu sesuai yang diajarkan sang guru tetap terjaga sampai puluhan tahun lamanya.

Di sela waktu antara kegiatan utamanya sebagai seorang tukang becak, ia rajin melatih anak-anak muda di sekitar rumah untuk menari dan memainkan musik pengiring tarian Topeng Kaliwungu.

"Keliling terus pokoknya, ngajar anak-anak nari, main gendang. Biar enggak mati, kalau yang muda enggak belajar kan lama-lama hilang," jelasnya.

Tahun demi tahun dilewati Mbah So tanpa berpikir apa yang hendak didapatkannya setalah menyalurkan ilmu itu pada anak-anak muda.

Jangankan WBTB, berbagai macam penghargaan yang bisa diperolehnya dari menekuni Tari Topeng Kaliwungu tidak pernah terpikir bahkan tidak pernah diketahui Mbah So sebelumnya.

Yang ia tahu, hanya menari dan menjaga agar Tari Topeng Kaliwungu tetap lestari di Kampung halamannya yakni Kabupaten Lumajang.

Jerih payah Mbah So akhirnya berbuah saat Kementerian Pendidikan Republik Indonesia menobatkan Tari Topeng Kaliwungu sebagai warisan budaya tak benda milik Kabupaten Lumajang pada 2021.

Sejak saat itu, Tari Topeng Kaliwungu mulai dikenal banyak orang. Berbagai kegiatan di Kabupaten Lumajang kerap menampilkan Tari Topeng Kaliwungu sebagai salah satu penampilan penghibur.

Mulai dari penutupan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jatim pada 2022, peringatan hari jadi Lumajang (Harjalu), hingga dibuatkan event khusus bertajuk Segoro Topeng Kaliwungu di Pantai Watu Pecak Lumajang.

Tujuannya, agar kesenian tradisional khas Kabupaten Lumajang ini semakin dikenal. Tidak hanya oleh warga Lumajang, tapi juga masyarakat Indonesia bahkan mancanegara.

"Senang ada yang nerusin, terus yang nari ini banyak jadi terus sudah terkenal tarinya," tutur Sutomo.

Perjuangan keras dan ketekunan yang dilakukan Mbah So untuk merawat Tari Topeng Kaliwungu, rupanya belum banyak diketahui.

Pasalnya, sampai saat ini, ia baru menerima satu kali penghargaan yakni dari Pemerintah Kabupaten Lumajang. Selebihnya, belum ada yang menaruh perhatian kepadanya.

"Penghargaan ini dari Pak Thoriq sama dikasih uang. Lainnya ya enggak ada," terang Mbah So.

Satu-satunya keinginan Mbah So dan belum tercapai hingga saat ini adalah menerima penghargaan langsung dari Presiden Republik Indonesia di Istana Negara.

Meski begitu, kata Mbah So, penghargaan bukan jadi tujuan utamanya. Ia hanya ingin bercerita kepada Presiden tentang indahnya Tari Topeng Kaliwungu.

"(Penghargaan) kalau Presiden ya kepingin. Mau cerita nanti tentang Topeng Kaliwungu," ungkapnya.

Wariskan ilmu

Usia yang terus bertambah, membuat tenaga Mbah So pun mulai menurun. Kini, ia telah mengurangi aktivitas sebagai penari maupun pelatih Tari Topeng Kaliwungu. Ilmu dan segala perjuangan Sutomo, saat ini dilanjutkan oleh Windy Rakashita.

Windy, merupakan murid kesayangan Mbah So. Sejak kecil, ia telah belajar menari kepada Sutomo.

Visi perjuangan yang diusung Windy mirip dengan Mbah So yaitu membuat Kabupaten Lumajang disesaki penari Topeng Kaliwungu.

Untuk itu, Windi memadatkan varian gerakan Tari Topeng Kaliwungu yang awalny berdurasi 1 jam menjadi 6 menit. Tujuannya, agar Tari Topeng Kaliwungu mudah untuk diajarkan dan menarik untuk ditonton oleh semua kalangan.

"Kita ada sedikit improvisasi dari versi aslinya. Karena kalau asli itu sekitar satu jam. Nah itu kalau ditampilkan akan banyak yang bosan, jadi kita padatkan hanya 6 menit. Pamitan juga ke Mbah So ternyata disetujui," kata windy.

Kini, hampir semua sekolah di Kabupaten Lumajang telah memiliki ekstrakurikuler Tari Topeng Kaliwungu.

Windy berharap, anak-anak yang saat ini belajar tari topeng bisa meneruskan cita-cita Mbah Sanemo dan Mbah So untuk melestarikan Tari Topeng Kaliwungu dan mengenalkannya hingga mancanegara.

"Senang sekarang sudah banyak yang nari, semoga ini bisa terus bertambah dan kiprah tari topeng bisa sampai panggung internasional," harap Windy.

Meski regenerasi tari topeng sudah bisa dikatakan cukup baik, namun ada satu keresahan di hati kecilnya.

Keresahan Windy itu adalah nasib sang guru. Menurutnya, banyak apresiasi yang belum tersampaikan kepada Mbah So maupun keluarga Almarhum Mbah Sanemo.

Salah satunya, jaminan kesehatan untuk mereka. Pasalnya, nasib kedua keluarga gurunya itu masih dari kata beruntung. Padahal, atas jasa mereka generasi saat ini bisa menikmati eksotiknya Tari Topeng Kaliwungu.

"Saya rasa tidak adil ketika kita mengambil buah pemikiran dan kerja keras Mbah Nemo dan Mbah So kemudian tidak kita apresiasi. Minimal jaminan kesehatan, apalagi usianya sudah semakin tua dan rentan terhadap penyakit," keluh Windy.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/09/21/101759178/cerita-mbah-so-penjaga-tari-topeng-kaliwungu-lumajang-yang-kini-jadi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke