Salin Artikel

Cerita Seniman Reog Ponorogo Berusia 60 Tahun: Berkesenian Tak Perlu Pamrih

Baginya tak perlu pengakuan dan pamrih sebagai seniman yang selalu berupaya agar Reog Ponorogo tetap lestari.

“Saya tidak butuh pengakuan seperti itu. Reog itu jiwa saya dan saya melakukan reog itu tidak perlu pamrih apa-apa,” ujar Sudirman kepada Kompas.com, Selasa (19/9/2023).

Pria yang akrab disapa Dirman ini mengungkapkan, jika reog telah merasuk ke jiwa masyarakat di Ponorogo, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan meski ada banyak kesenian serupa di dunia.

Namun Dirman sangat berharap kesenian ini tetap terjaga di kalangan generasi muda. Salah satunya dengan memasukan kesenian Reog Ponorogo dalam kurikulum sekolah.

Menurut Dirman, Reog Ponorogo memiliki potensi sebagai industri utama pariwisata di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Artinya, kesenian tersebut sebenarnya bisa menghasilkan dan menjadi mata pencarian bagi seniman.

Ia mencontohkan seorang penari jatilan bisa mengantongi uang mulai Rp 5 hingga Rp 10 juta dalam satu bulan. 

“Dalam satu bulan mereka bisa tampil 10 hingga 20 kali. Makanya penari jatilan itu kaya karena menjadi mata pencarian mereka. Akhirnya banyak yang tergiur menjadi penari jatilan karena mendapatkan pendapatan yang besar. Dan kayaknya menjadi maskot dalam pertunjukan reog di Ponorogo karena jatilan ini masih diburu oleh penggiat dan pencinta Reog Ponorogo,” ungkap Dirman.

Dari hasil sebagai penari jatilan, kata Dirman, anak didiknya kini mampu membeli sepeda motor hingga perhiasan. Bahkan hasil menari jatilan dapat membayar sekolah sendiri dan memiliki tabungan.

Menurut Dirman, keberadaan seniman reog masih banyak ditemukan di berbagai tempat di Kabupaten Ponorogo.

Terlebih pertunjukan seni reog acapkali ditampilkan di sekolah dan desa-desa saat mengisi kegiatan hingga hajatan.

Peran pemerintah

Dirmen menilai, meski para seniman tak berpamrih, pemerintah semestinya tanggap untuk memberdayakan secara optimal agar keberadaan dan keaslian Reog Ponorogo terus terjaga.

Apalagi saat ini seni budaya reog Ponorogo makin berkembang mengikuti perkembangan zaman sehingga mulai melupakan warna aslinya.

Dirman menyatakan peran pemerintah menjadi penting agar keaslian Reog Ponorogo terus terjaga sepanjang zaman.

Untuk itu dibutuhkan wadah dan pertemuan antara seniman reog dan pemerintah agar perkembangan seni reog tak makin melenceng dari pakem.

Bagi Dirman, sapaan akrabnya, perkembangan reog Ponorogo di Kabupaten Ponorogo saat ini mulai melupakan warna aslinya. Hal itu terlihat banyak ditemukan adanya penari jatilan dan bujang ganong yang gerakannya sudah di luar pakem.

“Dari sisi pemerintah semestinya harus tanggap memberdayakan para seniman. Karena melihat perkembangan reog Ponorogo saat ini yang sepertinya jauh banget. Reog tak seindah warna aslinya. Di sini penari jatilan dan bujang ganong itu sudah di luar pakem. Ini kalau yang tua-tua tidak diajak serta omong maka khawatirnya ini kebablasen,” ujar Dirman.

Pemilik Grup Reog Kartika Puri Joglo Paju ini mengatakan penari jatilan dan bujang ganong tidak bisa disalahkan dengan adanya gerakan di luar pakem.

Pasalnya sebelum tampil, para pemain tidak dipahamkan dan diberi tahu apa penari jatilan defenisinya, geraknya dan tema hingga makna.

Menurut Dirman, semestinya harus ada peran pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo untuk menyikapi persoalan tersebut.

Pemerintah dapat mengundang toko dan sesepuh reog untuk memecahkan persoalan terkait berkembangnya reog Ponorogo saat ini.

“Jangan-jangan nanti kebablasan. Siapa yang disalahkan. Jangan nanti terus dikambinghitamkan. Anak-anak itu menari mendapatkan uang dan mendapatkan popularitas sudah. Dan Ini menurut saya menjadi tugas yayasan reog, Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata agar duduk bersama memecahkan masalah,” kata Dirman.

Dirman membandingkan perkembangan reog Ponorogo di luar jawa yang tetap mempertahankan tradisi aslinya. Para pemain reog tampil sesuai pakem yang diturunkan temurun.

Namun anehnya, menurut dia, perkembangan reog di bumi Ponorogo justru berkembang di luar pakem.

Fenomena itu pun sering menjadi keluhan kalangan sesepuh reog di kecamatan-kecamatan agar seni reog Ponorogo ditampilkan tak melenceng jauh dari tradisi aslinya.

“Para sesepuh reog menanyakan mengapa penari jatilan celananya sudah seperti penyanyi dangdut. Kemudian saya diminta untuk bicara sama pemerintah agar dibenahi,” tutur Dirman.

Hanya saja saat mengambil keputusan terkait persoalan tersebut, lanjut Dirman, hanya penari dan pengendang yang dihadirkan.

Padahal seharusnya para sesepuh seniman reog dihadirkan agar dapat membina dan membimbing kader-kader penari harus memakai eblek. Pasalnya tari jatilan itu menggambarkan prajurit berkuda dan berlatih perang. Untuk itu tarian itu harus menggunakan properti kuda kepang.

Dirman menambahkan orang luar negeri lebih menyukai seni dan tradisi reog Ponorogo yang asli. Ia mencontohkan dirinya bersama tim pernah diundang ke Bali untuk tampil membawakan seni reog Ponorogo dengan pakem asli.

“Beberapa waktu yang lalu turis dari Inggris, membawa pesawat pribadi ke Bali hanya untuk melihat reog dan jatilan laki-laki. Dan saya disuruh membawakannya. Artinya mereka menginginkan tradisi (asli reog Ponorogo) seperti apa dan lebih menarik,” kata Dirman.

Hari Purnomo, seniman reog senior lainnya menyatakan seni pertunjukkan reog Ponorogo kembali bangkit setelah dihantam pandemi Covid-19.

Hal itu terlihat banyaknya penampilan grup reog asal Kabupaten Ponorogo di berbagai acara resmi dan hajatan warga.

“Kalau seniman reog di ponorog dalam tiga tahun terakhir sudah banyak perubahan dibandingkan tahun lalu. Untuk fasilitas main sekarang sudah ada dan diberi kelonggaran tempat pemerintah dan tidak dibuat ribet. Selain itu dari kepolisian juga memberikan kelonggaran untuk tempat yang dipakai,” kata Hari.

Menurut Hari, jumlah seniman di Kabupaten Ponorogo saat ini mencapai ribuan orang.

Pasalnya disetiap kelurahan atau desa memiliki grup reog sendiri. Padahal setiap grup memiliki anggota 40 hingga 50 orang.

Dengan demikian, jumlah seniman yang terlibat dalam satu grup reog semakin banyak.

“Seminggu tiga kali kami mendapatkan undangan untuk bermain di daerah. Hal itu menunjukkan sekarang reog mulai bangkit lagi. Dan Itu menjadi tanda bukti bahwa seniman reog itu eksis berkesenian,” jelas Hari.

Hari mengatakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-sehari para seniman tidak hanya mengandalkan dari hasil bermain reog. Para seniman banyak memiliki pekerjaan tetap seperti pengelola warung makan, pengrajin alat-alat reog hingga sopir.

Hari menambahkan Pemkab Ponorogo pun sudah memberikan perhatian kepada seniman-seniman reog. Hal itu dapat terlihat saat lebaran para seniman diundang ke pendopo rumah jabatan Bupatei Ponorogo untuk diberikan hadiah.

Warisan Budaya Tak Benda

Hari mengatakan akhir tahun ini, seni reog Ponorogo diusulkan kembali oleh Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi untuk menjadi warisan budaya tak benda. Untuk penentuanya nanti akan disampaikan pada tahun 2024.

“Ternyata reog Ponorogo itu langsung mendapatkan respons dari ICH Unesco dan datang langsung ke Indonesia untuk melihat sampai di mana reog sesungguhnya. Kok sampai terjadi unjuk rasa sebesar itu. Setelah dicek ke lapangan, reog memang sudah layak untuk didaftarkan ke ICH Unesco,” kata Hari.

Terkait persoalan penggunaan kulit harimau dan bulu merak pada reog, Hari mengatakan saat ini dadak merak reog menggunakan kulit kambing yang dilukis.

Sementara bulu merak menggunakan bulu yang sudah tanggal sendiri dari burung merak.

“Merak itu tidak dibunuh tetapi setiap tahun burung merak itu melepaskan bulunya sendiri. Bulunya yang rontok kemudian diambil untuk dadak merak reog,” jelas Hari.

Bentuk komunitas

Untuk menjaga kelestarian Reog Ponorogo, Hari mengatakan perlunya pembentukan komunitas reog yang kepengurusannya bebas dari kepentingan politik.

Dengan demikian pengurusnya adalah para seniman-seniman asli reog Ponorogo.

Selain itu, seni reog juga diharapkan masuk ke madrasah dan pondok pesantren. 

“Reog jangan sampai punah. Untuk dari pihak pendidikan madrasah dan pondok pesantren saya harap juga dilestarikan reog. Dari kalangan pondok dan madrasah, seniman reog tidak hanya dibekali seni dan tari tetapi juga dibekali dengan akhlak seperti apa yang ditanamkan warok. Terlebih warok itu orang penuh ilmu dan pengetahuan,” demikian Hari.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/09/20/130908778/cerita-seniman-reog-ponorogo-berusia-60-tahun-berkesenian-tak-perlu-pamrih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke