Salin Artikel

Mengintip Pendidikan Anak Berkonflik dengan Hukum di LPKA Blitar (Bagian 1)

Di tempat itulah, para anak-anak berkonflik dengan hukum menjalani pembinaan. Meski tulisan LPKA Blitar terpasang di bagian depan bangunan, namun warga setempat lebih sering menyebut tempat itu sebagai "Rumah Anak Radja".

“Betul. Sebutan itu memang ada dan bahkan kita pakai untuk menamakan klinik kesehatan kita, Klinik Pratama Anak Radja,” ujar Kepala Sub-seksi Pendidikan LPKA Blitar Sugeng Boedianto kepada Kompas.com, Senin (28/8/2023).

Sebutan itu terdengar satir lantaran di sana anak-anak yang masih berusia belia harus menjalani hukuman atas pelanggaran yang mereka lakukan.

“Ada benarnya juga disebut anak raja. Anak-anak binaan di sini makan disiapkan, sekolah ditungguin, tidur dijagain. Apalagi kalau bukan anak raja,” tutur Sugeng sembari tertawa.

Pemandangan di dalam LPKA Blitar didominasi area lapang yang luas, bersih, dengan tanaman hias yang cukup terawat.

Di tengah area lapang itu berdiri masjid dengan lapangan voli tepat di depannya.

Di sisi lain, terdapat lapangan futsal, sejumlah meja untuk permainan tenis meja, dan juga beberapa set meja dan tempat duduk di bawah pohon rindang.

Area di mana anak-anak binaan sehari-hari bermain dan berolah raga, dikelilingi oleh bangunan tinggi peninggalan era kolonial Belanda yang masih terawat dengan baik.

Deretan bangunan itu sebagian difungsikan sebagai kantor para pejabat dan staf LPKA, sebagian lainnya digunakan sebagai ruang kelas.

Dipandu oleh Kepala Seksi Pembinaan I Gede Apong Adi Sanjaya, Kompas.com berkeliling LPKA.

Deretan bangunan yang mengelilingi area lapang, terdiri dari beberapa klaster. Klaster depan digunakan sebagai ruang-ruang perkantoran pegawai LPKA. Berikutnya klaster ruang kelas tempat anak berkonflik dengan hukum mengikuti sekolah formal mulai jenjang SD, SMP, hingga SMA.

Klaster berikutnya bangunan dengan ruang-ruang yang difungsikan sebagai ruang pembinaan keterampilan, ruang klinik kesehatan, ruang musik, dan ruang perpustakaan.

Klaster terakhir yang cukup luas dan besar merupakan bangunan yang terdiri dari 11 blok berisi puluhan kamar, tempat anak-anak binaan LPKA Blitar beristirahat.

Klaster ini dipisahkan dengan klaster lainnya dengan pintu yang akan dikunci setiap pukul 17.00 WIB setiap harinya. Saar itu pula anak-anak diwajibkan masuk ke kamar masing-masing.

Suasana di LPKA Blitar jauh berbeda dengan suasana di penjara narapidana dewasa yang mayoritas sangat padat penghuni.

Di Lapas Kelas IIB Blitar, misalnya, terdapat lebih dari 500 penghuni atau lebih dari tiga kali lipat kapasitas normal sebesar 150 orang.

“Saat ini LPKA Blitar dihuni 102 anak, terdiri dari 96 nara pidana anak dan 6 tahanan. Padahal daya tampung normalnya di sini 400 anak,” ujar Plt Kepala LPKA Blitar Jaya Kartika.

Dari 102 anak, sebanyak 81 penghuni berusia antara 14-17 tahun, rentang usia yang boleh tinggal di LPKA Blitar. Sisanya berusia 18 tahun dengan jumlah 21 anak.

“Untuk yang sudah memasuki usia 18 tahun posisinya sedang menunggu persetujuan untuk dipindahkan ke Lapas Pemuda di Madiun,” tutur Jaya.

Dari 96 anak berstatus narapidana, sebanyak 4 anak mengikuti pembelajaran di jenjang SD, 22 anak di jenjang SMP, dan 51 anak di jenjang SMA. Total 77, dengan sisa 19 anak yang menjalani masa hukuman pendek.

Menurut Sugeng Boedianto, penyelenggaraan pendidikan formal jenjang SMP dan SMA bagi anak-anak penghuni LPKA Blitar bekerja sama dengan sekolah afiliasi yang ada di luar area LPKA.

Untuk jenjang SMP, ujarnya, sekolah afiliasinya adalah SMP Muhammadiyah 1 Kota Blitar sedangkan jenjang SMA berafiliasi dengan SMA YP Kota Blitar. Setiap hari, Senin hingga Jumat, guru-guru dari sekolah tersebut mengajar di LPKA.

Sementara untuk jenjang SD, lanjut Sugeng, pihak LPKA sudah dapat menyelenggarakan secara mandiri. Bahkan, tahun lalu SD di dalam LPKA telah ditetapkan sebagai SDN 3 di Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, di mana LPKA berada.

“Kebetulan saya sendiri kepala sekolah SD-nya. Untuk jenjang SD, kebutuhan tenaga pengajar dapat dipenuhi oleh pegawai LPKA dengan tambahan satu sukarelawan dari luar,” tuturnya.

Sugeng menambahkan bahwa penyelenggaraan pendidikan formal bekerja sama dengan sekolah-sekolah di luar LPKA sebenarnya baru berlangsung sekitar 5 tahun lalu.

Sebelumnya, anak-anak binaan LPKA mengikuti pendidikan melalui jalur kelompok belajar paket (Kejar Paket).

“Tapi rupanya anak-anak saat diminta memilih lebih memilih pendidikan formal seperti yang sekarang diterapkan. Meskipun idealnya adalah sistem Kejar Paket, tapi pendidikan formal semoga lebih memberikan kepercayaan diri pada mereka kelak setelah keluar dari LPKA karena memiliki ijazah yang sama dengan anak-anak di luar LPKA,” ujarnya.

Berdasarkan catatan LPKA Blitar sudah banyak anak-anak binaan yang berhasil mendapatkan ijazah pendidikan formal selama menjalani masa hukuman, mulai jenjang SD hingga SMA.

Pada tahun ajaran 2018/2019 terdapat 16 anak jenjang SD, 1 anak jenjang SMP, dan 16 anak jenjang SMA. Selanjutnya tahun ajaran 2019/2020, 12 anak jenjang SD, 7 anak jenjang SMP, dan 9 anak jenjang SMA.

Untuk tahun ajaran 2020/2021, 6 anak jenjang SD, 3 anak jenjang SMP, dan 5 anak jenjang SMA. Dan tahun ajaran 2021/2022, terdapat 5 anak lulus jenjang SD, 3 anak lulus jenjang SMP, dan 7 anak lulus jenjang SMA.

Penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak yang menghuni LPKA Blitar merupakan prioritas bagi pemerintah melalui Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan di Kemenkumham.

Namun, kata Sugeng, masalah motivasi belajar menjadi persoalan yang cukup menyita energi para pegawai LPKA dan tenaga pengajar.

“Pola pengajaran seperti apa yang paling tepat untuk penyelanggaraan pendidikan di LPKA ini merupakan hal yang masih harus dicarikan bentuknya yang terbaik, terutama menyangkut minat belajar anak-anak,” tutur dia.

Untuk informasi, dari 102 ABH di LPKA Blitar, 17 anak berasal dari Surabaya.

12 orang dari Kediri, 10 Sidoarjo, 9 Bojonegoro, 7 Blitar, 7 Malang, 5 Jombang, 5 Pasuruan, 4 Jember, 4 Ponorogo dan 4 Tuban.

Kemudian 4 orang dari Lumajang, 2 Trenggalek, 2 Gresik, 2 Madiun, 2 Nganjuk.

Sisanya, Banyuwangi, Jakarta, Magetan, Lamongan, Bengkulu, dan Sragen masing-masing 1 anak.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/08/28/194820378/mengintip-pendidikan-anak-berkonflik-dengan-hukum-di-lpka-blitar-bagian-1

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke