Salin Artikel

Mahasiswa di Bangkalan Protes Pengelolaan Sampah yang Dianggap Amburadul

Mereka menilai pengelolaan sampah di Bangkalan buruk dan amburadul. Unjuk rasa dimulai dari simpang tiga Jl. Soekarno-Hatta Kota Bangkalan.

Di tempat ini, mahasiswa membakar ban bekas dan memblokade jalan raya. Hal ini menyebabkan semua kendaraan dari dua arah macet total.

Massa sempat tegang dengan polisi yang mengiringi perjalanan mereka menuju kantor Pemkab Bangkalan karena membakar ban bekas dan memblokade jalan.

Namun ketegangan berakhir setelah orasi mereka selesai.

Massa kemudian bergeser ke kantor Pemkab Bangkalan. Di depan kantor ini, massa kemudian membakar ban bekas kembali. Tidak hanya ban bekas yang mereka bakar, namun berbagai jenis sampah ikut dibakar.

Ketua Umum HMI Cabang Bangkalan, Maskur dalam orasinya mengatakan, pihak Dinas Lingkungan Hidup Bangkalan tidak becus dalam mengelola sampah.

Sebab, hingga hari ini DLH belum mendapatkan tempat yang permanen untuk digunakan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA).

"Hingga hari ini Bangkalan belum memiliki TPA. Akibatnya, pengelolaan sampah amburadul dan tidak terkelola dengan baik," ujarnya.

Menurut Maskur, DLH Bangkalan sempat membuat tempat pembuangan sementara di Desa Buluh,Kecamatan Socah.

Namun, tempat tersebut mendapat protes dari warga sekitar karena banyaknya warga yang terserang penyakit akibat tumpukan sampah di lokasi tersebut.

Tempat pembuangan sampah sementara itu kemudian ditutup pada awal tahun 2020.

“Sejak tidak punya TPA, sampah kemudian dibuang ke sembarang tempat, seperti ke Goa Pote atau bukit Jaddih di Desa Parseh, Kecmatan Socah,” terang Maskur.

Maskur menambahkan, problem sampah semakin sengkarut di Kabupaten Bangkalan.

Sebulan terakhir, tumpukan sampah berada di belakang Stadion Gelora Bangkalan (SGB) dan juga di Kelurahan Pangeranan. Karena menyebabkan bau tak sedap, warga kompak menutup kedua tempat itu karena bukan tempat pembuangan sampah.

"Mau sampai kapan Pemkab Bangkalan ini bisa memindahkan tumpukan sampah yang tidak terurus ini. Persoalan sampah yang tidak terurus ini telah merugikan masyarakat dan merusak lingkungan," tandasnya.

Data yang dikantongi Maskur, produksi sampah di Kabupaten Bangkalan setiap harinya mencapai 60 ton.

Jumlah sampah sebanyak itu, idealnya didukung dengan keberadaan TPA yang luasnya mencapai 3,5 hektare. Sedangkan TPA di Desa Buluh, Kecamatan Socah yang sudah ditutup warga, kurang dari luas ideal itu.

“Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bangkalan nomor 5 tahun 2012, pengelolaan sampah yang didukung dengan luas lahan lebih dari 3,5 hektare. Yang ada tidak mencapai luas tersebut dan kondisinya sekarang sudah ditutup karena bermasalah dengan warga,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala DLH Kabupaten Bangkalan, Anang Yulianto saat dikonfirmasi mengatakan, TPA yang ada di Desa Buluh, Kecamatan Socah sudah sesuai dengan lokasi yang diatur di dalam Perda Tata Ruang Kabupaten Bangkalan.

Namun kendalanya, TPA tersebut ditolak warga dengan berbagai alasan.

“Kami masih terus melakukan pendekatan persuasif kepada warga agar TPA Buluh dibuka lagi. Secara aturan, tidak ada yang dilanggar oleh Pemkab Bangkalan,” ujar Anang Yulianto melalui sambungan telpon seluler.

Menurut Anang, penolakan TPA Buluh oleh warga karena warga belum sepenuhnya mengerti tentang pengelolaan sampah.

DLH sudah menyiapkan peralatan modern bagaimana sampai diolah dan didaur ulang.

Dengan peralatan yang modern, persoalan bau akan teratasi. Bahkan warga sekitar bisa mengambil manfaat untuk meningkatkan pendapatan mereka.

“Tugas kami yakni meyakinkan warga bahwa sampah itu bisa diolah dengan baik dan mendatangkan rejeki. Kami butuh waktu untuk meyakinkan warga,” ungkapnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/08/24/183319878/mahasiswa-di-bangkalan-protes-pengelolaan-sampah-yang-dianggap-amburadul

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke