Salin Artikel

Perhutani Klaim Penyerobotan 11.610 Hektar Hutan di KPH Blitar Rugikan Negara Rp 38 Miliar Per Tahun

BLITAR, KOMPAS.com – Penyerobotan hutan seluas 11.610 hektar di wilayah kerja Perum Perhutani Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Blitar dengan tanaman tebu diklaim merugikan negara sebesar Rp 38 miliar per tahun.

Administratur Perhutani KPH Blitar Muklisin mengatakan, angka kerugian negara sebesar Rp 38 miliar per tahun itu didapatkan dari potensi pendapatan negara yang seharusnya didapatkan dari hasil panen tebu di kawasan hutan KPH Blitar tersebut.

Namun, karena penanaman tebu di kawasan hutan itu tidak dilakukan melalui prosedur resmi, negara kehilangan potensi pendapatan melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pembayaran bagi hasil untuk Perhutani.

“Perkebunan tebu yang menempati area hutan KPH Blitar secara ilegal atau tidak prosedural ini merugikan negara melalui dua cara. Pertama, hilangnya potensi pemasukan berupa Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP),” ujar Muklisin saat dikonfirmasi Kompas.com, Jumat (4/8/2023).

“Kedua, pendapatan negara dalam bentuk pembayaran bagi hasil untuk Perhutani dari para penggarap yang menggunakan lahan KPH Blitar,” tambah pria yang baru menjabat sebagai Administratur KPH Blitar selama 2 bulan itu.

Muklisin menyodorkan hitungan dengan asumsi setiap satu hektar lahan tebu setiap tahun menghasilkan panen sebanyak setidaknya 50 ton. Dengan hasil bersih yang didapat per ton setidaknya Rp 500.000. Maka, hasil bersih per hektar sebesar Rp 25 juta.

Hasil Rp 25 juta per hektar setiap kali panen seharusnya memberikan kontribusi PNBP sebesar Rp 1,5 juta per hektar.

Selain itu, kata Muklisin, jika perkebunan tebu di area Perhutani KPH Blitar dilakukan sesuai prosedur, maka seharusnya Perhutani mendapatkan bagi hasil minimal 10 persen dari hasil bersih penjualan tebu per hektar dikurangi PNBP, yakni 10 persen dari Rp 23,5 juta atau Rp 2.350.000.

“Jika kita kalikan 10.000 hektar, maka potensi pendapatan negara dari PNBP per tahun Rp 15 miliar. Lalu bagi hasil yang diterima Perhutani per tahun Rp 23,5 miliar. Total potensi pendapatan negara yang hilang Rp 38 miliar lebih,” tuturnya.

Dia tidak menjelaskan bagaimana awal mula penanaman tebu di area hutan KPH Blitar itu dilakukan secara ilegal hingga luas tanaman tebu mencapai 11.610 hektar atau lebih dari 20 persen dari total luasan area hutan KPH Blitar sebanyak 57.334 hektar.

Muklisin berjanji akan melakukan penertiban secara bertahap perkebunan tebu yang menempati area hutan KPH Blitar dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dengan salah satu tujuan utama memberikan manfaat ekonomi yang optimal kepada warga yang tinggal di sekitar area hutan.

Selain itu, penertiban juga akan dilakukan beriringan dengan upaya memulihkan fungsi konservasi ekologis area hutan KPH Blitar yang gundul dengan penanaman pohon kehutanan seperti jati dan kayu putih.

Area hutan KPH Blitar meliputi area hutan di Kabupaten Blitar, Tulungagung, dan Malang. Puluhan ribu hektar area hutan di KPH Blitar terutama yang berada di wilayah pesisir selatan berada dalam kondisi gundul dan mayoritas kini ditanami tebu.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/08/04/141517078/perhutani-klaim-penyerobotan-11610-hektar-hutan-di-kph-blitar-rugikan

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com