Salin Artikel

Saat Harga Seragam Sekolah di Tulungagung Dipatok Rp 2 Juta Lebih...

Nino (bukan nama asli), adalah wali murid SMAN 1 Kedungwaru, Tulungagung.

Dengan nada kesal, dia mengungkapkan, harga paket seragam sekolah yang dijual oleh koperasi tidak masuk akal. Sebab, harga seluruh paket seragam untuk anaknya mencapai Rp 2.360.000.

Beberapa di antaranya baru berupa kain yang masih perlu dibawa ke tukang jahit sesuai dengan ukuran spesifik anaknya. Itu pun, menurut Nino, harganya jauh lebih mahal dibandingkan kain yang ada di pasar setempat.

“Sekolah itu gratis, tapi untuk ukuran seragam sekolah mahal. Masa sekolah untungnya segitu?” ujar Nino kepada BBC News Indonesia pada Senin (24/7/2023).

Humas SMAN 1 Kedungwaru, Agung Cahyadi, mengatakan bahwa sekolah tidak mewajibkan murid untuk membeli seragam. Mereka hanya memfasilitasi pembelian seragam yang perlu dimiliki oleh siswa.

“Sama sekali kita tidak mewajibkan. Kalaupun beli di luar dengan warna yang sedikit berbeda, gradasinya, itu wajar ya. Mungkin ada yang agak gelap, atau terang, sepanjang warnanya relatif sama enggak masalah,” kata Agung.

Walaupun pihak sekolah mengaku pembelian seragam tidak wajib, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai sekolah seharusnya tidak menjual seragam.

”Sekolah nggak perlu jual seragam. Ketika sekolah jual seragam terus ada orang tua yang enggak beli seragam sesuai yang disediakan sekolah, anaknya dibully, orang tuanya diintimidasi, anaknya dikucilkan, dan seterusnya. Itu buntutnya panjang,” kata Ubaid.

Dalam Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah pasal 13, tertera bahwa sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan atau membebani kepada orang tua atau wali Peserta Didik untuk membeli pakaian seragam.

Jika sekolah ingin membantu pengadaan seragam sekolah, mereka harus memprioritaskan Peserta Didik yang kurang mampu untuk membeli seragam secara ekonomi.

Orangtua mencicil biaya seragam

Nino, yang namanya disamarkan untuk melindungi identitasnya, mengaku kaget saat melihat formulir pemesanan atribut seragam yang ia terima dari unit Tata Usaha SMAN 1 Kedungwaru, di Tulungagung, Jawa Timur. Total harganya mencapai Rp 2.360.000.

“Kita tanya apakah boleh dicicil? Itu kan sekitar tanggal 8 sampai 9 tapi sampai 12 harus lunas. [Pihak sekolah bilang] boleh nyicil tapi cuma empat hari. Gubernur bilang sekolah gratis, tapi seragam mahal. Itu aneh,” ujar Nino kepada BBC News Indonesia, pada Senin (24/7).

Rinciannya, siswa mendapatkan satu stel seragam putih abu-abu (Rp359.400), satu stel seragam Pramuka (Rp315.850), satu stel seragam batik (Rp383.200), dan satu stel seragam khas (Rp440.550).

Kemudian, satu jas almamater (Rp185.000), kaos dan celana olahraga (Rp130.000), ikat pinggang (36.000), satu tas (Rp210.000), satu paket atribut (Rp140.000), dan jilbab (Rp160.000).

Saat ia bertanya kepada pihak sekolah, membeli seragam di koperasi sekolah memang tidak diwajibkan. Namun, yang dibeli di luar harus sama dengan yang ada di daftar atribut sekolah.

“Orang tua bisa mencerna kata-kata wajib dan 'sama dengan ini'. Jadi sekarang bukan masalah wajib atau tidak, tapi harga kain kenapa segitu? Kalau nggak wajib kenapa kain itu mahalnya segitu,” katanya.

Nino mengatakan harga kain yang dijual di sekolah justru dua kali lipat dari harga seragam yang sudah dijahit lengkap di luar. Ia heran mengapa sekolah tidak menjual seragam yang sudah dijahit tuntas dengan harga yang ia nilai cukup mahal untuk beberapa helai kain.

“Di luar harganya bisa separuh. Satu setel kalau di toko harga Rp170.000 sudah jadi, berarti kan bahannya lebih murah semuanya,” ujar Nino.

Humas SMAN 1 Kedungwaru, Agung Cahyadi, menegaskan bahwa pembelian seragam sekolah memang tidak diwajibkan. Wali murid dapat menentukan sendiri apakah ingin membeli di koperasi atau membeli di luar sekolah.

“Beli semua [atribut seragam] di koperasi boleh, beli sebagian juga boleh. Sifatnya tidak memaksa, tidak mewajibkan. Bahkan kalau memakai seragam punya seniornya, enggak mempermasalahkan itu,” kata Agung.

Ia menjelaskan bahwa paket seragam Rp2.360.000 yang dirujuk oleh Nino sudah mencakup semua atribut seragam untuk perempuan dengan ukuran terbesar. Ada pula jilbab isi lima dengan warna berbeda dibundel seharga Rp160.000.

Selama ini, sambungnya, sekolah juga memutuskan untuk menjual seragam dalam bentuk kain agar orang tua dapat membuat seragam sesuai dengan ukuran dan proporsi tubuh masing-masing siswa.

“Karena sebagian orang tua ada enggak mau ribet. Beli disitu [koperasi sekolah] saja. Dan orang tua murid ada yang ingin [disediakan] seperti apa, jadi kita hanya memfasilitasi saja. Selebihnya, kita serahkan pada wali murid.”

Ketika ditanya apa basis dari keputusan sekolah menjual seragam tersebut, Agung merujuk pada Permendikbud Nomor 50 tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

“Itu kan mengatur bahwa anak sekolah itu harus memakai seragam. Nah masalah seragamnya mau beli di mana itu kita membebaskan. Tapi kalau kita merujuk pada Permendikbud itu, ya anak harus berseragam,” katanya.

Aturan penjualan seragam

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, mengatakan bahwa sebetulnya dalam Permendikbud Nomor 50 tahun 2022 sekolah tidak boleh menjual seragam kepada murid-muridnya.

Pengadaan seragam seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua.

“Sekolah dilarang menjual seragam, itu sudah jelas. Ada aturannya itu. Jadi kalau ada sekolah jualan seragam itu sudah salah. Kedua, pasti ada motif, ada motif pungutan liar, ada motif mengambil keuntungan secara gelap. Dan ini tidak berdampak baik bagi perkembangan dunia pendidkan,” kata Ubaid kepada BBC News Indonesia pada Senin (24/7).

Ia mengatakan bahwa setiap tahun ajaran baru, ada orang tua murid yang keberatan dalam memenuhi kebutuhan seragam anaknya.

Sementara, pihak sekolah bukannya mempermudah orang tua dengan menyediakan seragam yang lebih murah dari harga pasar, justru menjualnya dengan harga lebih mahal.

“Jadi ini akal-akalan sekolah untuk mengambil untung dari komersialisasi yang dilakukan oleh sekolah dan ini jauh dari cita-cita pendidikan kita semua,” ujarnya.

Menurut Ubaid, meskipun memang sekolah tidak mewajibkan pembelian paket seragam, hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Sebab, siswa yang tidak memiliki seragam yang sesuai kebijakan sekolah lantas akan dikucilkan dan diintimidasi oleh murid-murid lain maupun guru.

“Itu buntutnya panjang, karena enggak sama satu. Karena enggak ikut kebijakan kepala sekolah. Ini ada konsekuensi negatif yang bisa mengekslusi anak-anak di sekolah [yang tidak menggunakan seragam yang sama],” kata Ubaid.

Oleh karena itu, Ubaid mengatakan sekolah sebaiknya berhenti mempermasalahkan hal-hal perintilan seperti warna seragam ataupun warna sepatu yang dikenakan siswa. Melainkan, mereka perlu fokus pada memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.

“Jadi saya pikir sekolah atau pendidikan kita pengelolaannya harus tersubstansilah, jangan ke hal yang remeh-remeh atau enggak ada hubungannya.”

Sikap Pemprov

Wakil Gubernur (Wagub) Jatim, Emil Elestianto Dardak, merespons temuan anyar terkait mahalnya harga seragam dan atribut sekolah di SMAN Tulungagung. Emil menegaskan bahwa persoalan seragam sekolah kini menjadi perhatian serius Dinas Pendidikan Provinsi Jatim.

Pemprov mengaku telah meminta dinas pendidikan untuk membuat surat edaran ke masing-masing sekolah SMA/SMK negeri dalam menyikapi isu seragam sekolah.

"Surat edaran sedang disiapkan oleh dinas pendidikan, kalau pakta integritas komite dan kepala sekolah sudah ditandatangani dan disaksikan oleh Ibu Gubernur," tegas Emil kepada media, Minggu (23/7).

Emil juga menyoroti koperasi sekolah yang menjual harga kain terlampau tinggi, seperti yang terjadi di SMAN Karangrejo, Tulungagung. Seharusnya harga seragam di koperasi sekolah lebih murah dibandingkan harga pasar, karena bahan dibeli dalam jumlah banyak.

"Satu stel kain dijual Rp575.000 yang putih abu-abu, padahal kalau di luar Rp 170.000 sudah. Nah, makanya apa itu maksudnya," jelasnya pada Jumat (21/7/2023).

Ia menegaskan bahwa sekolah tidak boleh mewajibkan pembelian seragam di sekolah. Emil kemudian menindaklanjuti laporan dari wali murid dengan menghubungi Kepala Dinas Pendidikan Jatim.

Selain itu, ia mengingatkan kepada wali murid untuk tidak membayar sumbangan paksaan kepada sekolah karena hal tersebut merupakan diskriminasi.

"Kalau ada sumbangan yang terkesan dipaksakan termasuk perlakuan diskriminatif seperti pembedaan tertentu dalam apa yang sudah menjadi hak, misal urutan kartu ujian dan lain-lain bagi yang tidak menyumbang, serta jika ada kewajiban membeli seragam di tempat tertentu, mohon dilaporkan ke kami," imbuhnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/07/25/094622078/saat-harga-seragam-sekolah-di-tulungagung-dipatok-rp-2-juta-lebih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke