Salin Artikel

Derita Eks Pekerja PTPN XII Lumajang Tinggal di Gubuk: Kami Belum Merdeka

LUMAJANG, KOMPAS.com - Kurang 21 hari lagi, Negara Kesatuan Republik Indonesia memasuki usianya yang ke-78 tahun.

Selama 77 tahun bebas dari cengkraman kolonialisasi bangsa asing, ternyata masih ada sebagian kecil dari warga negara Indonesia yang masih belum merdeka seutuhnya.

Seperti yang dialami oleh puluhan kepala keluarga (KK) yang tinggal di blok Bestik, Desa Gondoruso, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

"Jadi kalau dibilang Indonesia merdeka, kami yang ada di Bestik ini belum merdeka," kata Siti kepada Kompas.com, Senin (24/7/2023).

Blok Bestik adalah kawasan pemukiman di tengah perkebunan milik PTPN XII Kertowono. Dahulu, kawasan ini menjadi salah satu penghasil coklat terbesar di Lumajang.

Total, ada 24 KK tinggal di Blok Bestik. Dulu, mereka adalah pekerja perkebunan.

Namun, sejak dua tahun terakhir, mereka tidak lagi diperkerjakan karena kebijakan perusahaan untuk tidak lagi menanam kakao dan diganti dengan sengon dan tebu.

"Sudah dua tahun ini kan coklat ditebangi semua ganti sengon jadi kita gak bisa bekerja. Dulu juga emang gak ada kontrak," tambahnya.

Setelah kakao ditebang, para pekerja ini masih berupaya hidup dengan mencari air nira kelapa dan diolah menjadi gula merah. Warga setempat menyebutnya dengan "nderes".

Namun, aktivitas itu kini tidak bisa lagi dilakoni karena pohon kelapa semakin sedikit.

Pekerjaan lain yang bisa dilakukan para mantan pegawai perkebunan ini adalah mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya.

Sebab, menanam tumbuhan lain yang bisa mencukupi kebutuhannya juga tidak diperbolehkan.

"Kita sekarang cari kayu bakar dijual, kalau satu angkutan sepeda motor itu laku Rp 20.000. Dulu sempat nanam pisang pengennya biar bisa buat biaya hidup tapi ditebangi juga sama PTP," ungkapnya.

Rumah tidak layak

Tidak hanya urusan ekonomi saja yang menjadi problem utama para pekerja PTPN XII di Bestik. Namun, rumah yang ditinggalinya juga jauh dari kata layak.

Puluhan KK ini tinggal di petakan berukuran 5x3 meter yang terbuat dari triplek, dan anyaman bambu beratapkan seng.

Kondisinya sangat memprihatinkan lantaran lubang yang ada di petakan yang telah ditinggali selama bertahun-tahun itu tidak lagi bisa dihitung jari.

Bahkan, apabila hujan turun, fungsi rumah sebagai tempat berteduh tidak lagi ada. Karena air akan langsung masuk ke rumah.

"Kalau hujan kasihan anak-anak, bukan bocor lagi tapi ini langsung grojok airnya," tuturnya.

Siti mengatakan, warga tidak dapat berbuat banyak. Selain tidak ada uang untuk memperbaiki rumahnya, pihak PTP juga melarang warga untuk melakukan renovasi.

"Nggak boleh dibetulin katanya, ini bukan punya kita," keluhnya.

Akses pendidikan sulit

Kesulitan juga dialami warga untuk mengakses pendidikan bagi putra-putrinya. Pasalnya, jarak pemukiman ke sekolah lebih dari dua kilometer dengan medan yang sulit khas jalan hutan.

Untuk bisa sampai ke sekolah, anak-anak harus diantar menggunakan sepeda motor oleh orangtuanya menyusuri jalanan hutan yang masih berupa tanah.

Kondisi semakin sulit saat musim hujan turun. Tidak jarang, para siswa tidak berangkat sekolah lantaran jalan sulit dilalui dengan kendaraan roda dua.

"Kalau sekolah di blok Kaliwelang. Jaraknya jauh. Kalau hujan kan licin jadi tambah sulit," jelasnya.

Harapan pekerja

Para pekerja, kini hanya berharap rumah mereka diperbaiki oleh pihak perkebunan maupun pemerintah.

Alternatif lain adalah merelokasi ke tempat baru yang lebih layak seperti di Blok Kaliwelang.

"Dulu sempat didatangi Pak Bupati katanya mau direlokasi. Kami sudah bersedia kalau memang direlokasi, yang penting bisa lebih layak," ujarnya.

Tanggapan PTPN XII

Asisten Afdeling PTPN XII, Sunadi, menyatakan bahwa penghuni rumah bedeng atau kamaran, bisa secara swadaya melakukan perbaikan rumah yang dihuninya, meskipun sebenarnya hal itu merupakan tanggung jawab pihak PTPN XII.

"Kalau perbaikan rumah ya sebenarnya tanggung jawabnya PTP, tapi warga juga boleh memperbaiki asalkan ada pemberitahuan," kata Sunadi.

Sunadi juga mengakui, puluhan KK yang tinggal di Blok Bestik dulunya memang para pekerja PTPN XII Kertowono.

"Dulu waktu PTP masih jaya ya mereka semua pekerjanya PTP, sekarang ada yang kerja di tebuan, ada juga yang penderes," jelasnya.

Tanggapan Bupati Lumajang

Bupati Lumajang Thoriqul Haq mengatakan, alternatif terbaik yang bisa ditawarkan pemerintah kepada 24 keluarga yang tinggal di Bestik adalah melakukan relokasi.

Pasalnya, akses menuju ke Blok Bestik ini sangat sulit dan tidak mungkin dilakukan perbaikan menggunakan anggaran pemerintah daerah.

"Akses untuk ke Bestik ini susah. Jalannya ya jalan kebun dan ini bukan kewajiban kami untuk memperbaikinya," kata Thoriq.

Menurut Thoriq, saat ini pihaknya tengah melakukan musyawarah dengan pihak perkebunan untuk merelokasi warga di Blok Kaliwelang seperti yang diinginkan oleh warga.

"Semuanya bisa dimusyawarahkan, saat ini kita sedang berkoordinasi dengan pihak PTPN XII untuk memindahkan warga ke Kaliwelang. Ini jadi solusi yang paling rasional untuk menyelesaikan masalah hunian yang sangat tidak layak ini," pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/07/25/084723878/derita-eks-pekerja-ptpn-xii-lumajang-tinggal-di-gubuk-kami-belum-merdeka

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke