Salin Artikel

Sejarah Kabupaten Bojonegoro, Wilayah di Tepi Bengawan Solo yang Dulu Bernama Rajekwesi

KOMPAS.com - Kabupaten Bojonegoro adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur.

Lokasinya berada di perbatasan antara Provinsi Jawa Timur dengan Provinsi Jawa Tengah.

Kabupaten Bojonegoro juga dilewati oleh aliran Sungai Bengawan Solo yang mengalir dari arah selatan yang menjadi batas alam dengan Provinsi Jawa Tengah, kemudian mengalir ke arah timur di sepanjang wilayah utara Kabupaten Bojonegoro..

Sementara wilayah Kabupaten Bojonegoro bagian selatan adalah pegunungan kapur, yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Kendeng.

Sejarah Kabupaten Bojonegoro

Dilansir dari laman PPID Kabupaten Bojonegoro, daerah ini sempat masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit hingga abad XVI ketika kerajaan tersebut runtuh.

Hal ini didukung dengan fakta yang berupa penemuan-penemuan benda peninggalan sejarah yang bercorak Hindu di wilayah Kabupaten Bojonegoro.

Selain itu, terdapat slogan yang tertanam dalam tradisi masyarakat sejak masa Majapahit hingga saat ini, yaitu “sepi ing pamrih, rame ing gawe”.

Saat Raden Patah atau yang dikenal dengan Senopati Jimbun diangkat sebagai raja di Kerajaan Demak pada awal abad XVI, Bojonegoro kemudian menjadi wilayah kedaulatan Demak.

Masuknya Bojonegoro menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Demak dibarengi dengan masuknya pengaruh dari ajaran Islam ke daerah ini.

Dengan masuknya pengaruh ajaran Islam, budaya Hindu mulai terdesak dan terjadilah pergeseran nilai dan tata masyarakat yang terjadi tanpa disertai gejolak.

Kemudian pada tahun 1568, terjadi peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan, yang membawa Bojonegoro masuk dalam wilayah Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya.

Selanjutnya, tahta Kerajaan Pajang dipegang oleh Pangeran Benawa yang bergelar Prabuwijaya merupakan putra Sultan Hadiwijaya, hingga akhirnya kekuasaan Kerajaan Pajang runtuh di tahun 1587.

Panembahan Senopati atau Sutawijaya yang merupakan Adipati Mataram ketika di bawah Kesultanan Pajang kemudian memboyong semua benda pusaka Keraton Pajang ke Keraton Mataram.

Sejak itu, Bojonegoro yang saat itu bernama Jipang kembali bergeser menjadi wilayah Kerajaan Mataram Islam.

Saat Bojonegoro berada di bawah Kerajaan Mataram Islam, tepatnya pada tahun 1677 terjadi Perjanjian Jepara antara Sultan Amangkurat II dengan VOC.

Dilansir dari Kompas.com, Perjanjian Jepara dilatarbelakangi pemberontakan Raden Trunojoyo yang menganggap pemerintah Mataram terlalu berpihak kepada VOC.

Perjanjian Jepara menyebutkan bahwa daerah-daerah pesisir utara Jawa, mulai Karawang sampai ujung timur, digadaikan VOC sebagai jaminan biaya perang menumpas Trunojoyo.

Di bawah VOC, status Bojonegoro sebagai kadipaten pun diubah menjadi kabupaten yang dipimpin oleh wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Tumapel (Mas Toemapel) yang juga merangkap sebagai Bupati I.

Mas Tumapel yang saat itu masih berkedudukan di Jipang mulai memerintah pada tanggal 20 Oktober 1677, yang diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Bojonegoro.

Di bawah pimpinan Mas Tumapel yang menjabat mulai tahun 1677 hingga 1705, wilayah ini mulai berkembang pesat.

pada tahun 1725, ketika Susuhunan Pakubuwono II naik tahta, Raden Tumenggung Hario Matahun I diperintahkan untuk memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Jipang dari Padangan ke Desa Rajekwesi.

Lokasi Desa Rajekwesi sebagai ibu kota baru adalah sekitar 10 kilometer di selatan kota Bojonegoro saat ini, yang membuat nama Kabupaten Jipang berubah menjadi Kabupaten Rajekwesi.

Namun situasi berubah ketika wilayah ini resmi menjadi daerah jajahan Belanda.

Bojonegoro yang memiliki sumber daya alam melimpah yakni minyak, jati, tembakau, dan lahan yang subur menarik perhatian Belanda.

Kesuburan lahan itu disebabkan adanya Bengawan Solo, dan kecocokan lahan ditanami tanaman yang produktif dan diminati pasar Eropa saat itu, seperti jati dan tembakau.

Perubahan Nama Rajekwesi Menjadi Bojonegoro

Perubahan nama kemudian terjadi ketika rakyat Jipang dengan dipimpin Raden Tumenggung Sasradilaga dan Belanda saling memperebutkan kota Rajekwesi.

Saat itu muncul usulan dari Residen Rembang berupa dua nama pengganti Rajekwesi, yaitu Bojonegoro dan Rajekwinangun.

Pergantian nama Rajekwesi menjadi Bojonegoro kemudian terjadi pada tanggal 25 September 1828.

Nama Bojonegoro berasal dari istilah dalam bahasa Kawi yaitu Boojho yang artinya memberi makan, dan Negara (negoro) yang berarti tempat, pemerintahan.

Hal ini berarti bahwa nama Bojonegoro dapat bermakna sebagai kota tempat memberi makan.

Sebagai kenangan pada keberhasilan leluhur yang meninggalkan nama harum bagi Bojonegoro, maka nama Rajekwesi tetap dikenang di dalam hati rakyat Bojonegoro sampai sekarang.

Sumber:
bojonegorokab.go.id, ppid.bojonegorokab.go.id , dinasperpusarsip.bojonegorokab.go.id  
kompas.com (Penulis : Verelladevanka Adryamarthanino, Editor : Widya Lestari Ningsih, Rachmawati

https://surabaya.kompas.com/read/2023/06/07/180533878/sejarah-kabupaten-bojonegoro-wilayah-di-tepi-bengawan-solo-yang-dulu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke