Salin Artikel

Roro Anteng dan Joko Seger, Cerita Rakyat Suku Tengger

KOMPAS.com - Setiap daerah memiliki cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi, termasuk oleh Suku Tengger.

Cerita rakyat ini berkaitan dengan asal-usul nama Tengger dan Upacara Kasada yang ada di Gunung Bromo.

Cerita rakyat yang terkait asal-usul nama Tengger ini dikenal sebagai legenda Roro Anteng dan Joko Seger.

Dilansir dari buku berjudul Cerita Rakyat dari Tengger, Jawa Timur (2004) yang ditulis YPB Wiratmoko, berikut adalah cerita selengkapnya.

Legenda Roro Anteng dan Joko Seger

Alkisah pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri bernama Roro Anteng dan Joko Seger.

Roro Anteng dikenal sebagai wanita yang cantik dan berbudi, sementara Joko Seger merupakan sosok lelaki yang tampan.

Pasangan Roro Anteng dan Joko Seger hidup sebagai peternak dan petani di kaki Gunung Bromo.

Karena usahanya yang gigih,mereka memiliki banyak ternak dan hasil panen yang melimpah.

Namun kekayaan ternyata belum bisa membuat mereka bahagia karena Roro Anteng dan Joko Seger belum memiliki keturunan.

Kesedihan Roro Anteng karena belum juga memiliki anak membuat Joko Seger gusar.

Joko Seger meminta maaf kepada Roro Anteng dan mengajak sang istri untuk berdoa, memohon kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Tak hanya itu, Joko Seger juga mengajak Roro Anteng untuk melakukan puja semadi pada hari respati kasih di dekat Kawah Gunung Bromo.

Pada hari yang ditentukan, Roro Anteng dan Joko Seger pun berangkat dan melakukan puja semadi dalam keheningan.

Saat itulah keduanya mendengar suara gaib yang menyatakan bahwa doa mereka telah didengar oleh Dewata Agung.

Dikatakan Roro Anteng akan segera mengandung dan melahirkan anak, yang tidak hanya seorang melainkan 25 orang anak laki-laki.

Namun hal itu akan diberikan dengan satu syarat, yaitu anak terakhir mereka harus dikorbankan kembali pada Dewata Agung ke dalam kawah Gunung Bromo.

Tanpa berpikir panjang, baik Roro Anteng dan Joko Seger menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh Dewata Agung.

Dengan hati gembira, Roro Anteng dan Joko Seger meninggalkan tempat semadi di kawah Gunung Bromo untuk menanti janji dari Dewata Agung.

Singkat cerita, sesuai janji Dewata Agung maka Roro Anteng dan Joko Seger mulai dikaruniai keturunan. Mulai dari anak pertama, hingga akhirnya lahir pula anak yang ke-25.

Anak bungsu Roro Anteng dan Joko Seger tersebut mereka beri nama Kusumo yang berarti bunga.

Kusumo tak hanya melengkapi kebahagiaan keluarga tersebut, namun juga dikaruniai rupa dan perangai yang menawan.

Tak hanya rupawan, Kusumo adalah anak yang ramah, murah hati, pekerja keras, patuh kepada orang tua, dan gemar melakukan puja semadi.

Hal ini membuat Roro Anteng dan Joko Seger sungguh-sungguh menyayangi Kusumo.

Lengkap sudah kehidupan Roro Anteng dan Joko Seger yang tak hanya bergelimang hasil panen dan ternak, namun dikelilingi anak-anak yang sangat mereka sayangi.

Namun kebahagiaan itu berganti dengan gundah kala keduanya teringat kepada persyaratan yang diajukan oleh Dewata Agung.

Hal ini ditandai dengan munculnya gempa bumi dahsyat dan suara gemuruh dari Kawah Gunung Bromo. Tak lama terlihat percikan api yang menyala-nyala yang sangat menakutkan.

Di tengah situasi tersebut, terdengar suara Dewata Agung yang menagih janji kedua pasangan tersebut.

Roro Anteng yang sangat menyayangi Kusumo memohon kepada Dewata Agung agar dapat menanti pengorbanannya dengan hasil bumi dan ternak yang mereka miliki.

Sayangnya Dewata Agung menolak hal tersebut. Dewata Agung juga mengingatkan bahwa selain janji harus ditepati, bahwa arti sebuah korban adalah agar jangan terlalu berlebihan mencintai sesuatu karena hal tersebut tidak akan ada artinya jika tidak dapat menyelamatkan jiwa mereka.

Mendengarnya, Roro Anteng dan Joko Seger hanya bisa pasrah dan mencoba untuk menerima kenyataan tersebut.

Diam-diam, Kusumo yang mendengar hal tersebut menghibur kedua orang tuanya dengan berkata bahwa dirinya rela melakukan pengorbanan sebagai jalan untuk menempuh hidup abadi nirwana.

Kusumo juga meminta Roro Anteng dan Joko Seger untuk mengantarnya melaksanakan Korban Sesaji Jalma Suci, dan meminta mereka berdoa agar pengorbanannya diterima Sang Hyang Widhi Wasa.

Pada hari yang ditentukan, Roro Anteng dan Joko Seger bersama 24 anaknya pergi menuju puncak Gunung Bromo mengiringi Kusumo yang telah berdandan dengan cara brahmana.

Sesampainya di tepi kawah Gunung Bromo, mereka berdoa dan memohon kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Perlahan, kawah Gunung Bromo berubah jadi tenang dan percikan api yang dikeluarkan pun mulai padam.

Di tengah suara dingin dan sunyi tersebut, sebuah cahaya terang datang dan menelan Kusumo yang menghilang di tengah kawah Gunung Bromo.

Roro Anteng dan Joko Seger bersama anak-anaknya kaget melihat hal itu dan segera melantunkan pujian kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Di sela-sela pujian, terdengar suara Kusumo yang mengucapkan selamat tinggal. Selain itu, Kusumo juga berpesan agar mengenang kejadian itu dengan melakukan pengorbanan dengan menyerahkan hasil bumi setiap tahun.

Pengorbanan yang dilakukan di Bulan Kasada itu dilakukan agar mereka terlepas dari bencana alam Gunung Bromo. Adara labuh sesaji itulah yang hingga kini dikenal sebagai Upacara Kasada.

Sementara suku kata terakhir dari nama Roro Anteng dan Joko Seger konon menjadi asal-usul nama suku Tengger yang kini mendiami wilayah di sekitar Gunung Bromo.

Sumber: Wiratmoko, YPB. 2004. Cerita Rakyat dari Tengger, Jawa Timur. Jakarta: Grasindo.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/05/23/210306278/roro-anteng-dan-joko-seger-cerita-rakyat-suku-tengger

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke