Salin Artikel

Cerita Buruh Angkut di Pelabuhan Muncar Banyuwangi, Sakit Harus Bayar Sendiri, Menganggur Saat Paceklik Ikan

Saat sakit, mereka juga harus mengeluarkan biaya sendiri untuk pengobatan karena tak mendapat jaminan kesehatan baik dari majikan ataupun pemerintah.

Pelabuhan Muncar di Banyuwangi, Jawa Timur, dikenal sebagai pelabuhan ikan terbesar di Indonesia.

Siang itu, Sudar (51), warga Desa Rejoagung, Kecamatan Srono, Banyuwangi, dan beberapa rekannya bermain kartu di sebuah warung kopi sederhana di Pelabuhan Muncar sisi selatan.

Sebagian lagi duduk mengobrol sambil menikmati segelas kopi.

"Masih menunggu panggilan dari Bos. Ini main kartu buat isi waktu menunggu. Bukan judi," katanya sambil tertawa saat bertemu Kompas.com, Selasa (14/3/2023).

Sudar bercerita sudah 25 tahun lebih bekerja sebagai buruh angkut di Pelabuhan Muncar. Menurutnya, ada puluhan orang yang bekerja seperti dia, tetapi pekerjaan yang dilakukan berbeda-beda.

"Kala saya dana teman-teman sini namanya pengisi. Tugasnya apa? Ya angkut-angkut alat sama mesin ke kapal. Kadang mengisi kapal dengan balok es. Nanti kalau kapalnya datang, ya kami yang angkut ikan dari kapal ke pabrik," kata Sudar.

Sudar memiliki kelompok yang beranggotakan 7 orang. Tenaga mereka digunakan oleh kapal ikan dengan inisial BS.

"Ya yang utama ngurusin kapal BS. Kalau sudah ya baru bisa bantu-bantu kapal lain," ungkap Sudar.

Saat ditanya berapa upah yang ia dapatkan, Sudar hanya tertawa.

"Ya disyukuri. Minimal Rp 100.000. Tapi enggak tiap hari dan itu kalau ada ikan. Beberapa tahun ini kan paceklik ikan. Enggak ada ikan. Ya enggak dapat apa-apa. Kapal yang pulang engak bawa ikan. Terus mau angkut apa? Paling ya angkut-angkut mesin tanpa dibayar," kata dia.

Sudar pernah bercerita ia pernah jatuh sakit hingga dua bulan tak bisa bekerja. Ia hanya pasrah dan mendapatkan bantuan dari dari teman-temannya sesama buruh angkut.

Ia mengaku tak memiliki BPJS atau jaminan kesehatan lainnya. Saat periksa ke mantri swasta, ia harus mengeluarkan uang sendiri.

"Kan kita sama Bos kan lepas. Kalau sakit ya sudah enggak kerja. Bayar sendiri kalau periksa.," kata dia.

"Berat kerja seperti ini. Minimal ikan yang dibawa 10 ton paling banyak 60 ton. Ya kita berdelapan ini yang angkut ke pabrik," kata Sudar.

"Kalau ditanya jam berapa kerja ya ngikutin kapal siap. Ini kita nunggu perintah buat angkut balok es untuk dimasukkan ke kapal," ungkap dia.

Selain sebagai pengisi, Sudar mengaku juga bekerja sebagai buruh tani serta mengelola tanahnya sendiri yang tak seberapa luas.

"Ya di pelabuhan ya cangkul-cangkul. Semoga enggak sakit lagi," kata dia sambil tertawa.

Kelvin bercerita, sebelum menjadi buruh angkut, ia pernah bekerja sebagai penjaga kafe selama enam bulan.

Namun ia mengaku tak betah dan memilik menjadi buruh angkut di Pelabuhan Muncar.

"Pas kerja di kafe rasanya enggak punya teman, Individualis. Kalau di sini kan kekerabatannya kental. Kumpul dan kerja bareng," kata pria lulusan SMK di Muncar.

Ia mengaku tak malu dengan pekerjaan sebagai buruh angkut pengisi di Pelabuhan Muncar.

"Yang penting kan halal. Kenapa harus malu," ungkap dia.

Di sela-sela pekerjaannya, ia juga menyempatkan diri mengantar sang istri yang baru ia nikahi setahun terakhir untuk menyanyi di hajatan.

"Istri kan penyanyi. Kalau kerja gini saya masih bisa sempatkan waktu mengantar kalau sore atau malam hari. Jadi uang dari saya dan dia bisa ditabung," ungkap dia.

Seperti seniornya, Sudar, Kevin mengaku juga memiliki pekerjaan lain sebagai mengelola sawah miliknya.

"Mumpung masih muda, ya kerja yang ada dan halal," ungkap dia.

Sementara itu, Eko (29), yang menjadi anggota kelompok buruh angkut bersama Kelvin dan Sudar bercerita ada momentum yang sangat ia ingat selama bekerja sebagai buruh angkut pengisi.

Saat itu, di awal pandemi, kapal yang sering memanfaatkan tenaganya tenggelam dan hilang. Beberapa ABK berhasil menyelamatkan diri, sementara empat lainnya dinyatakan hilang.

"Bukan hanya kehilangan pekerjaan karena kapalnya tenggelam. Tapi teman-teman saya ada yang hilang. Rasanya sedih. Kita juga urunan untuk beri uang duka," kata bapak anak dua itu.

Ia mengaku tak memiliki cita-cita dan keinginan apa pun selaian bekerja yang tekun untuk keluarganya.

Eko juga mengaku ia dan keluarganya tak memiliki BPJS atau jaminan kesehatan lainnya.

"Yang penting cukup jangan sakit. Yang didapat hari ini ya untuk hari ini. Semoga nanti bisa nabung," ungkap dia.

"Kan malam jumat kapal tidak layar. Terus belum lagi pas musim 'petengan' saat ikan enggak ada, Jadi kita kerja ya hanya 20 hari sebulan," kata dia.

Seger mengaku ia mendapatkan persentase yang cukup kecil yang kemudian akan dibagikan ke anggotanya sesama buruh angkut sebulan sekali.

"Memang persentase tapi yang sangat kecil. Bukan kita yang menentukan harga tapi pemilik kapal. Ya sudah kita tinggal terima saja," kata dia.

Menurutnya mereka akan mendapatkan hasil yang lumayan saat musim ikan. Namun sayangnya sejak 10 tahun terakhir, jumlah ikan yang didapatkan semakin menurun.

"Apalagi empat bulan terakhir benar-benar paceklik. Enggak dapat apa-apa. Banyak kapal yang enggak melaut karena hujan badai. Bahaya buat mereka. Ini baru seminggu cuaca cerah ya semoga hasilnya bagus," kata dia.

Waktu menunjukkan pukul 10.15 WIB. Suara klakson truk warna kuning di dekat kapal BS membubarkan obrolan Sudar dan teman-temannya di warung kopi.

Mereka bergegas ke truk untuk menurunkan puluhan balok es dan memindahkan ke kapal. Sudar bercerita jam 12.00 WIB, kapal BS akan berlayar mencari ikan.

Sambil mengangkat balok es dengan tangan kosong Sudar berkata, "Semoga pemerintah lebih peduli dengan kita. Bukan cuma baik pas kampanye saja."

https://surabaya.kompas.com/read/2023/03/14/133300178/cerita-buruh-angkut-di-pelabuhan-muncar-banyuwangi-sakit-harus-bayar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke