Salin Artikel

Cerita Anak Napiter, Sejak Kecil Mengaku Tak Pernah Rasakan Bangku Sekolah Formal

Sejak kecil hingga saat ini, F lebih banyak merasakan dunia pendidikan di pondok pesantren setelah sang ayah tersandung kasus terorisme dan pembunuhan terhadap anggota kepolisian saat konflik Ambon pada 1999-2004.

Ayah F sampai saat ini masih menjalani hukuman di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Berpindah-pindah pesantren

F kecil hingga dewasa, harus beberapa kali berpindah pesantren, tanpa pernah merasakan bangku sekolah formal layaknya anak-anak lain yang menimba ilmu di Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

Kini, pendidikan F dibantu oleh eks napi teroris yang gencar melakukan deradikalisasi, Ali Fauzi bersama Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP).

“Terakhir berkunjung itu 2020 di Lapas Nusakambangan. Pertama kali kunjungi ayah itu di Lapas Porong, saat masih kecil. Vonis seumur hidup, kasus penembakan sembilan Brimob di Seram, Maluku. Itu saya masih kecil sekitar 2,5 tahun. Habis di Lapas Porong, saya pas masih di pondok dapat kabar, ayah dipindah ke Lapas Madiun dan sekarang di Nusakambangan,” ujar F saat ditemui Kompas.com di Kantor YLP di Kecamatan Solokuro, Lamongan, Kamis (23/2/2023).

Ketika ayahnya dipindah ke Lapas Madiun, F mendapat kabar bahwa ibu dan juga adik-adiknya mengikuti dengan menetap di sekitaran Madiun.

Sementara F baru berkesempatan mengunjungi ayahnya di Lapas Madiun saat momen bulan Ramadhan dan Idulfitri, ketika mendapat libur dari pesantren.

“Saya mulai umur 5 tahun di pondok sampai sekarang, enggak pernah sekolah umum (formal). Pertama kali mondok di Madura, terus pindah ke pesantren di Malang juga tahfidz. Sempat kembali mondok di Madura, kemudian ngajar di Tangerang. Baru kemudian di sini dengan Ustad Ali, sejak delapan bulan lalu. Kembali mondok sambil belajar kejuruan,” tutur F.

Ali Fauzi bersama YLP, membantu F untuk mendapat pendidikan layak di pesantren yang terletak di Kecamatan Solokuro, Lamongan.

“Sebelumnya saya sudah mengajar, terus karena saya ingin dalamin Bahasa Arab, ada rekomendasi ke pesantren saat ini. Alhamdulillah dibantu oleh Ustad Ali, baik untuk biaya dan lain-lain. Dari SPP, uang jajan, peralatan belajar, semua dari Ustad Ali Fauzi. Sampai laptop, buat ngetik tugas akhir itu dari Ustad Ali,” kata F.

Perlakuan baik

F mengaku, kendati berstatus sebagai anak napiter, namun dirinya selama ini tetap mendapat perlakuan baik dari lingkungan pondok pesantren tempat dirinya menimba ilmu saat ini.

“Selama ini saya netral saja, enggak kasih tahu siapa saya. Tapi kadang ada juga yang nanya, kemudian ya saya kasih tahu. Enggak ada (perlakuan diskriminatif), sebab di pondok semua sama, enggak pakai urus itu,” ucap Faruq.

“Saya juga pernah diajari sama Umi, ketika ada orang enggak suka dengan kita, jangan balas. Tidak boleh dendam,” sambungnya.

F sendiri bakal menyelesaikan pendidikan kejuruan yang tengah ditempuh di pesantren dalam beberapa bulan ke depan. Dia saat ini sedang memasuki tahap tugas akhir.

“Kalau di pondok ya biasa saja, ngumpul bareng. Di sana biasa pakai Bahasa Indonesia, kecuali Senin dan Selasa harus pake Bahasa Arab. Pernah diterapin setiap hari pakai Bahasa Arab, tapi enggak jalan. Makanya dibuat pelan-pelan,” tutur F.

Cita-cita

Dalam beberapa bulan ke depan, F bakal segera menuntaskan pendidikannya di pesantren.

Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini pun menuturkan, telah memiliki gambaran untuk dapat meneruskan kehidupan yang diinginkan, berikut cita-cita yang hendak diraih.

“Saya ingin bantu orangtua. Cuma kata orangtua kalau misalkan kerja, terus ilmunya buat apa. Ya udah akhirnya saya ingin nanti bisa mengajar, kemarin ada teman yang sudah menawari mengajar di Tangerang,” kata F.

“Ayah sebenarnya ingin tetap saya belajar menuntut ilmu. Tapi karena saya anak laki-laki paling besar, tanggung jawab kepada orangtua, ingin kerja sambil ngajar. Adik-adik juga masih kecil,” tambahnya.

Tanggapan Ali Fauzi

Ali Fauzi optimistis, berbekal pendidikan dan ilmu yang dimiliki akan membuat F banyak dibutuhkan. Terlebih, kategori peminat ilmu yang dipelajari oleh F di Indonesia saat ini, dinilai Ali masih cukup minim.

“Dengan menguasai ilmu yang sekarang, tentu akan dicari, diminati banyak pihak. Kemarin saya antar laptop ke sana (tempat F mondok), karena salah satu syarat tugas akhir itu kan harus punya ketikan dan itu butuh laptop,” kata Ali.

Ali juga melihat, lingkungan dan budaya pesantren tempat F saat ini menimba ilmu, cukup bagus bagi perkembangan F. Sebab pesantren tersebut, kata Ali, didukung oleh ustaz dan juga tenaga pendidik berkualitas.

Mendengar kisah F yang belum pernah merasakan bangku sekolah formal hingga saat ini, Ali pun berharap, pemerintah dalam hal ini BNPT, dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk membantu pendidikan anak-anak napiter dan eksnapiter.

“F tidak pernah sekolah formal. Ini artinya apa, kehadiran pemerintah itu sangat minim, belum menyentuh, belum sampai mengurusi pendidikan anak-anak ini. Seumpama ada perguruan tinggi yang bisa membantu program pendidikannya, ya terima kasih, sebab tidak pernah diurus (oleh negara),” ucap Ali.

Kemudian Ali juga sempat bertitip pesan kepada F, yang juga ditujukan bagi anak napiter dan eks napiter lainnya, untuk tidak dendam dan dapat melupakan apa yang telah terjadi. Serta, terus mencintai NKRI sebagai harga mati.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/02/27/151914978/cerita-anak-napiter-sejak-kecil-mengaku-tak-pernah-rasakan-bangku-sekolah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke