Salin Artikel

Cerita Pemuda dari Desa di Bangkalan Raih Gelar Doktor di Eropa, Anam: Sujud dan Air Mata Ayah Mengantar ke Titik Ini

Barangkali kata tersebut tepat menggambarkan perjuangan Choirul Anam (39), pemuda asal pelosok Bangkalan, Jawa Timur yang meraih gelar doktoral setelah menyelesaikan studi S3 di Charles University, Praha, Republik Ceko.

Anam menyelesaikan pendidikan doktoralnya dalam waktu 3 tahun 4 bulan dengan disertasinya, 'Analysis of the impact of village funds as fiscal decentralization policy on reducing poverty level of rural communities in Indonesia'.

Anam merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Almarhum H. Muhammad Sahlun dan Siti Habibah.

Orangtua Anam, tidak mengenyam pendidikan tinggi seperti dirinya.

Namun, kegigihan ayah dan ibunya mengantar Anam hingga ke posisinya saat ini.

Anam bercerita, sejak kecil dirinya sudah terbiasa bersekolah jauh dari orangtua.

Dia menimba ilmu di Sekolah Dasar di daerah Surabaya hingga kelas 3 SD bersama sang nenek.

Karena faktor kesehatan Anam, kedua orangtua sempat membawa Anam ke Kota Semarang, Jawa Tengah untuk pengobatan. Anam pun melanjutkan pendidikannya di kota tersebut.

"Karena saya sakit-sakitan saya dibawa sama Ayah dan Ummi ke Semarang tempat rantaunya di sana, saya lulus SD di Semarang tahun 1996," ucap dia kepada Kompas.com, Rabu (15/2/2023) malam.

Menurut Anam, ada kebiasaan warga Madura yang tidak boleh dilangkahi ketika mencari ilmu yaitu harus mondok.

Anam pulang ke Bangkalan dan masuk ke Pondok Pesantren Asshomadiyah di Kecamatan Burneh Bangkalan.

Anam lalu menuntaskan pendidikan menengah pertamanya di SMPN 4 Bangkalan dan SMAN 1 Bangkalan.

Selama duduk di bangku SMP, Anam selalu meraih rangking pertama.

"Dari almarhum kiai saya, saya diperintahkan agar tetap lanjut sekolah. Kalau santri itu kan tetap ikut kiai, manut kiai," ucap dia.

Rasa dalam hati Anam saat itu mulai berkecamuk, karena kondisi ekonomi orangtuanya sedang tidak baik-baik saja.

Apalagi sang adik mengalami kecelakaan hingga orangtua Anam membutuhkan banyak biaya pengobatan.

Namun Anam saat itu mengaku optimistis lantaran telah mengantongi doa kiai dan orangtuanya hingga dia bisa menembus ketatnya persaingan seleksi di Universitas Indonesia.

"Kalau (dulu) ada yang nanya, saya jawab di UI, Universitas InsyaAllah, kalau ada uang. Tapi Alhamdulillah saya diterima di Universitas Indonesia sungguhan," papar dia.

Tahun 2002 Anam mengawali proses pendidikannya di UI. Di sana dia tinggal bersama ayah dan ibunya yang harus berjuang dari nol lagi.

Selama 4 hari dia memilih berpuasa, salah satunya untuk meringankan beban orangtua. Selama itu pula dia hanya minta untuk ongkos pergi dan pulang.

Ketika diterima di UI, Anam kembali berpikir mengenai beban sang ayah mendapatkan uang mendaftar ulang.

"Waktu saya bilang sama ayah, ayah jawab wes ayo terus, andai ada tempat buat menggadaikan kepala saya, saya gadaikan kepala saya ini untuk perjuangan pendidikan kamu, akhirnya dapat uang sebanyak Rp 2,4 juta itu," kata dia sembari menirukan kata-kata sang ayah waktu itu.

Karier Anam hingga selesaikan doktoral

Anam seketika itu berjanji bahwa dirinya akan belajar bersungguh-sungguh.

Anam mampu menyelesaikan gelar sarjananya pada tahun 2008 sembari dia bekerja di perusahaan tambang batu bara dengan bekal ijazah D3-nya.

Setelah lulus S1 tahun 2009 ,dia mencoba memanfaatkan ijazah sarjananya untuk mendaftar sebagai ASN di BPK RI.

Secara perlahan Anam mulai bisa mandiri.

Dia semakin tak main-main ketika berbicara dengan tentang pendidikan, sebab dia yakini investasi terbaik di dunia adalah ilmu.

Anam kemudian melanjutkan pendidikan S2 di UI dan lulus pada tahun 2010.

"Waktu saya S2, saya dikirim oleh profesor saya untuk mewakili UI di UGM dalam acara mengikuti internasional confrence publik off administration se Asia," kata dia.

Anam lulus dengan tesisnya mengenai pengelolaan dana desa. Ada 53 desa dari 273 desa di Bangkalan yang dia jadikan sebagai sampel.

Sepulang dari acara itu, sang profesor meyakini bahwa Anam mampu melanjutkan S3 di Eropa.

Dia sengaja mengirim proposalnya melalui email ke 1.200 profesor di 300 universitas tersohor di luar negeri.

Dari ribuan yang dia kirim, hanya ada tujuh negara yang merespons emailnya tentang riset dana desa.

Saat itu semua mengritik habis-habisan proposal Anam, tetapi ada satu profesor memberi perbaikan.

"Langsung saya perbaiki, saya kirim lagi. Saat saya laporan sama profesor di UI saya dimantabkan di kampusnnya Albert Einstein ini, secara historis tokoh dunia ini pernah menjadi alumni pada tahun 1911-1912," beber dia.

Janji pada sang ayah

Tahun 2019 dia berangkat ke Eropa meninggalkan anak dan istrinya di Indonesia.

Tahun 2020 lalu dia harus kehilangan orang terhebat dan teristimewa baginya, yakni sang ayah. Hal itu menjadi pukulan berat baginya.

"Waktu saya memandikan (jenazah) ayah itu, saya berjanji bahwa saya akan bawa ayah ketika saya selesaikan S3 saya meski sudah tidak ada lagi di dunia ini, itu janji saya. Maka foto ini sangat istimewa. Waktu sidang kemarin saya bawa ada di samping saya," cerita dia.

Setelah kepergian ayahnya, Anam harus berjuang betul-betul untuk menjalankan amanah besar dari sang ayah. Desertasinya di Eropa sempat tidak terurus dengan baik selama satu tahun.

Tetapi dia berusaha bangkit dan menuntaskan pendidikan S3-nya dengan waktu tergolong cepat, 3 tahun 4 bulan.

"Sujudnya ayah, air mata ayah, dan jeritan hati beliaulah yang mengguncang Arsy sehingga saya bisa di titik ini. Alhamdulillah saya sudah selesaikan juga per tanggal 8 Februari kemarin S3 saya ini," pungkas Anam.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/02/16/111226678/cerita-pemuda-dari-desa-di-bangkalan-raih-gelar-doktor-di-eropa-anam-sujud

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke