Salin Artikel

Soal Desakan Perpanjangan Masa Jabatan Kades, Akademisi UB: Terlalu Lama dan Bahaya

MALANG, KOMPAS.com - Desakan revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terkait perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) yang sebelumnya 6 tahun menjadi 9 tahun dinilai aneh. Perpanjangan masa jabatan Kades menjadi 9 tahun dinilai hanya melanggengkan kekuasaan di desa.

Hal itu disampaikan oleh akademisi Universitas Brawijaya (UB) yang juga pengamat pemerintah daerah, Khairul Muluk. Dia menyoroti beberapa hal bila desakan itu diamini oleh pemerintah pusat.

Khairul berpendapat, masa jabatan Kades selama 9 tahun terlalu panjang. Idealnya, masa jabatan Kades mengikuti masa jabatan presiden atau kepala daerah, yakni 5 tahun dan dapat dipilih dua kali.

"Agak aneh menurut saya, meski total sama-sama 18 tahun, tapi menurut saya kepanjangan. Harusnya seperti kepala daerah, meski desa bukan kepala daerah, mestinya 10 tahun dengan dua periode," kata Khairul saat dihubungi via telepon pada Jumat (20/1/2023).

"Seperti kepala daerah pada umumnya, jadi biar sistem pemerintahan desanya yang jalan dan diperkuat, kepala desanya bergantian. Bukan berbasis orang. Memang sistem dipengaruhi pemimpin, tapi pemimpin terlalu lama ya bahaya," tambah pria yang merupakan dosen di Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, itu.

Tidak hanya itu, Khairul menyebut, jika masa jabatan Kades menjadi 9 tahun, maka bisa melanggengkan kekuasaan. Menurutnya, tidak semua Kades disukai secara baik oleh warganya. Karena itu, jika jabatan Kades terlalu lama, justru dapat memunculkan gesekan di masyarakat. Selain itu, dapat berpengaruh terhadap kondisi pembangunan desa.

"Dari segi efektivitas masa jabatan, asumsinya kepala desa disukai, baik, tapi tidak semua kepala desa seperti itu. Belum tentu disukai oleh semua masyarakat. Mungkin bagus di awal, tetapi di akhir enggak bagus, 18 tahun juga kepanjangan. Kalau dapat kepala desa kurang bagus, itu menderitanya panjang," katanya.

Khairul juga melihat, desakan perpanjangan masa jabatan Kades sebagai cara untuk mengurangi ongkos politik dalam menghadapi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Sebab, selama ini ongkos politik yang dikeluarkan oleh para calon Kades dalam pemilihan tidaklah murah.

Menurutnya, jika desakan perpajangan masa jabatan kepala desa itu didasari pada biaya politik yang terlalu mahal, maka sistem demokrasi di lingkup desa tidak sehat. Padahal, seharusnya pemilihan kepala desa dapat diikuti oleh semua orang yang memenuhi persyaratan dengan memiliki kesempatan secara merata.

"Berarti pemilihan kepala desa itu tidak sehat, high cost, terlalu mahal, memungkinkan praktik-praktik tidak sehat terjadi dalam proses demokrasi dalam pemilihan tersebut. Artinya, menjadi kepala desa harus punya modal besar, berarti yang boleh masuk dan dipilih orang-orang dengan modal besar atau punya akses dalam proses pemilihan kepala desa, berarti mayoritas demikian," katanya.

Menurutnya, pemerintah harus mencari cara bagaimana proses pemilihan kepala desa tetap efektif dan demokratis dan bisa diikuti oleh semua orang dengan biaya yang murah. Dia mendorong kepada pemerintah untuk mereformasi proses pemilihan kepala desa.

"Tapi proses pemilihan kepala desa harus direformasi juga karena cara saat ini terlalu mahal sehingga perlu efisiensi. Kalau ada money politic, kemudian ancaman, sudah tidak lagi demokratis, jadi sistem pemilihan saat ini dipengaruhi dengan cost (modal)," katanya.

Ketua Asosiasi Pemerintah Desa dan Lurah (APeL) Kota Batu, Wiweko menyampaikan, desakan revisi UU tersebut untuk meminimalisasi gesekan politik di tingkat desa. Selain itu, menurut Wiweko, tambahan masa jabatan tersebut dapat meningkatkan kinerja Kades.

"Alasannya, satu karena pertimbangan politik di desa, antara pendukung calon ini gesekannya lumayan lama, tidak selesai-selesai. Makanya fokus Kades yang terpilih jadi terbelah, menyelesaikan gesekannya dan pembangunannya. Jadi kalau 9 tahun, yang 3 tahun bisa menyelesaikan gesekan (politik), yang 6 tahun fokus membangun desa, arahnya ke sana," katanya.

Selain itu, dia tidak memungkiri bahwa desakan revisi UU tersebut untuk meminimalisasi ongkos politik yang dikeluarkan ketika menghadapi pemilihan. Wiweko juga mengungkapkan, desakan yang ada juga didukung oleh seluruh kepala desa dari 19 desa di Kota Batu.

"Jelas mendukung semua, kita juga berangkat ke sana juga, ada 17 kades yang berangkat, yang lain ada yang sakit dan berhalangan," kata pria yang juga Kepala Desa Oro-Oro Ombo itu.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/01/20/183233378/soal-desakan-perpanjangan-masa-jabatan-kades-akademisi-ub-terlalu-lama-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke