Salin Artikel

Mengenal Pak Bredt, Pria Berpeci Merah yang Viral Saat Erupsi Semeru, Tertawa meski Wajah Tertutup Abu

LUMAJANG, KOMPAS.com - Sosok Pak Bredt tiba-tiba terkenal saat Gunung Semeru erupsi pada 4 Desember 2022. Dia adalah pria berpeci merah yang ketawa saat dibonceng sepeda motor menjauh dari terjangan Awan Panas Guguran (APG) meski wajahnya sudah tertutupi abu vulkanik Semeru.

Sambil melihat situasi APG di belakang dirinya yang terus mengejar, pria paruh baya itu berteriak "engak ketang engkok, engak ketang engkok kanak" dalam bahasa Madura yang artinya "ini lo aku sudah seperti kera, seperti kera" dan diikuti dengan suara katawa dirinya.

Padahal, saat itu situasi warga yang lain sangat panik. Mereka tunggang langgang menyelamatkan diri sambil mengingat memori ngerinya amukan material erupsi Semeru pada 4 Desember 2021, tepat setahun yang lalu.

Namun, bagi pria bernama asli Imam ini, hal itu merupakan caranya untuk menghilangkan panik. Selain itu, ia yang saat itu sedang dalam perjalan untuk mengevakuasi seseorang di Dusun Gumukmas bersama relawan berusaha menampakkan wajah bahwa kondisi aman sehingga yang bersangkutan mau diajak mengungsi.

"Siapa sih yang tidak takut dengan keadaan seperti itu, tapi kan ini cara saya menghilangkan panik juga supaya orang lain yang melihat saya itu ikut tenang. Tidak mungkin kita mau menolong orang sedangkan kita sendiri kelihatan takut," kata Imam saat diwawancara pada Kamis (22/12/2022).

Pria paruh baya itu setiap harinya bekerja sebagai penjaga alat berat milik salah satu perusahaan di lokasi tambang pasir di Dusun Curah Kobokan, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.

Sudah 6 tahun 6 bulan, Imam yang merupakan warga asli Surabaya ini mempertaruhkan hidupnya dengan bekerja sebagai penjaga alat berat di aliran lahar Semeru. 1 tahun 6 bulan pertama, ia ditempatkan di Desa Jugosari, dan 5 tahun sisanya di Desa Supiturang.

Semakin tua usia tidak membuat mental Imam menciut. Lokasi kerjanya lima tahun terakhir ini lebih dekat dengan puncak Gunung Semeru dengan jarak kurang dari 10 kilometer.

"Saya asli Surabaya, kerja di Lumajang sudah hampir tujuh tahun, 24 jam saya di laharan karena saya bekerja sebagai penjaga ekskavator," terang Imam.

Mulai dari luncuran lava pijar seperti lelehan besi berwarna merah padam yang terus meleleh hingga kaki gunung dilihatnya dengan mata telanjang sekitar pukul 02.00 WIB pada 4 Desember 2022.

Tidak lama berselang, letusan-letusan asap atau Awan Panas Guguran (APG) mulai muncul dan perlahan menutupi puncak gunung yang terus melelehkan lava pijar.

Saat APG sudah mencapai jarak luncur 7 kilometer dengan asap yang membumbung tinggi, beberapa warga yang tinggal di lereng Gunung Semeru mulai beranjak untuk mengungsi.

Namun, hal itu tidak berlaku bagi Imam. Ia tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri sambil memantau situasi gunung dan menginformasikan kepada warga yang lain.

Berbekal selimut yang sudah dibasahi sebelumnya, Imam menyaksikan turunnya APG secara seksama. Ia berkeyakinan, aliran lava yang turun dari gunung tidak masuk ke jalur Sungai Wedok, tempatnya berdiri saat itu.

Melihat situasi semakin tidak kondusif dan arah angin yang berbelok arah menuju dirinya, Imam mulai beranjak pergi. Bukan untuk melarikan diri, ia hanya bergeser 200 meter dari tempat awal dan terus menyaksikan sekeliling memastikan tidak ada lagi orang yang tertinggal.

"Saya bukan sok sakti atau menantang alam, tapi sudah saya perhitungkan, awalnya kan angin tidak mengarah ke saya dan saya lihat lava tidak meluber ke Kali Wedok, jadi saya di sana aman. Begitu angin mulai berubah, saya geser agak naik paling jarak 200 meter karena walaupun bawa selimut dibasahin kalau terkena wedus gembel ya bahaya juga," ceritanya.

Keberanian yang dimiliki Imam ini tidak datang begitu saja. Ia mengaku mendapatkan keberanian itu dari pengalaman saat menjadi saksi hidup detik-detik puluhan nyawa manusia tertimbun material panas muntahan Semeru tahun 2021.

"Saya jadi korban erupsi Semeru ini tidak hanya sekali ini, sudah tiga kali, tahun lalu saya lihat langsung dengan mata saya 19 orang tertimbun. Waktu itu saya yang cuma menghirup wedus gembel rasanya kayak dicekik, di situ saya belajar dan saya sampaikan ke warga yang lain untuk keselamatan bersama," tutur pria yang akrab disapa Pak Bred.

Saat itu, sahabatnya yang bernama Fathur Rohman menjadi korban tunggal ganasnya amukan Semeru. Fathur tewas tertimbun material lahar panas bersama dengan puluhan alat berat milik tambang yang terparkir di sungai.

Saat kejadian, Imam yang biasanya selalu melekat dengan Fathur kemana pun dirinya pergi, tiba-tiba mendapatkan tugas dari pemilik tambang untuk pergi ke Lumajang Kota untuk membeli onderdil alat berat. Sedangkan, Fathur tetap berjaga dengan di lokasi tambang dengan dua orang lainnya.

Siapa sangka, perginya Imam ke kota menjadi perpisahan untuk selama-lamanya dengan sang sahabat. Sebab, dini hari sekitar pukul 01.30 WIB, Gunung Semeru mengalami erupsi.

Kembali dari kota, Imam langsung mencari sahabat seperjuangannya itu tapi tidak ketemu. Perasaan gundah menyelimuti hati Imam saat itu.

Tanpa menyerah, hari demi hari ia terus menggali untuk mencari jenazah Fathur dalam timbunan material Semeru. Nahas, jenazah Fathur tidak bisa ditemukan hingga hari ini. Hal ini juga yang membuatnya berani menantang maut dengan menjaga alat berat di kaki Gunung Semeru.

"Saya berani jaga di kaki gunung karena berharap bisa menemukan jasad sahabat saya Fathur walaupun itu hanya secarik kain supaya bisa saya bawa ke Probolinggo, saya makamkan di rumahnya. Sampai hari ini saya masih ingat jaket biru yang dipakai almarhum dengan selimut melingkar di lehernya sebelum meninggal itu," kenang Imam sambil mengelap air mata yang jatuh di pipinya.

Dilarang keluarga

Aksi nekat Imam menantang maut demi menyelamatkan banyak jiwa di lereng Gunung Semeru dengan update perkembangan aktivitas gunung melalui media sosial Tiktok miliknya rupanya pernah dilarang oleh keluarganya.

Tidak jarang, istri dan kedua anaknya yang masih menempuh pendidikan memintanya untuk pulang ke Surabaya dan bekerja di sana.

Namun, Imam yang merasa punya hutang budi ke kota yang dijadikannya sebagai tempat menghidupi istri dan anaknya selama hampir tujuh tahun terakhir ini telah memiliki tekad untuk memberikan manfaat bagi warga lereng Semeru dan sekitarnya.

Imam meyakinkan keluarganya bahwa apa yang dilakukan di sekitar aliran lahar Semeru sudah diperhitungkan sebelumnya.

"Ya dilarang, istri sama anak saya itu bilang sudah lah jangan seperti itu lagi, tapi mereka tahu jiwa saya, saya sudah bertekad akan memberi manfaat bagi Semeru dan warga di sekitarnya, karena saya hidup selama ini ya dari sini (Semeru)," tutur Imam.

Kemampuannya menggambarkan aktivitas vulkanik dengan gaya guyonan dalam bahasa Madura khas Lumajang menjadi ikon bagi dirinya.

Setiap kontennya diawali dengan "salam bredt" yang kemudian menjadikan dirinya dijuluki Pak Bredt oleh sebagian orang.

Salam itu dibarengi dengan menunjukkan tangan terkepal seperti lambang metal namun hanya dua jari yakni telunjuk dan kelingking.

Bagi Imam, hal itu dimaknainya sebagai hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia harus berimbang.

"Dua jari itu saya maknai hablum minallah dan hablum minan naas, hubungan sama Allah dan hubungan dengan sesama manusia ini harus seimbang," ungkapnya.

Dilanjutkan dengan informasi akurat dan terkini dari Gunung Semeru dan diakhiri dengan celotehan pergerakan lahar hingga menghancurkan kokohnya Jembatan Gladak Perak.

"Bluus, klesek klesek klesek, elang Gladak Perak," ucapnya dalam Bahasa Madura.

"Kalau Gunung Semeru itu kalau sudah blus (meletus) itu suaranya lava itu kayak gitu klesek-klesek tapi tahu-tahu hilang (ambruk) Gladak Perak," tutupnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/12/30/104525578/mengenal-pak-bredt-pria-berpeci-merah-yang-viral-saat-erupsi-semeru-tertawa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke