Salin Artikel

Sejumlah Orangtua Ingin PR Tetap Ada, Bisa Jadi Pemacu Siswa Belajar di Rumah

Peniadaan PR bagi siswa dilakukan Pemerintah Kota Surabaya karena ingin mengedepankan proses pertumbuhan karakter siswa.

Karena tidak ada PR untuk siswa, jam pelajaran di sekolah ditambah. Jika biasanya pelajar SD dan SMP pulang pada pukul 12.00 WIB, mereka harus berada di sekolah hingga pukul 14.00 WIB.

Tambahan waktu belajar selama dua jam itu digunakan untuk pola pembelajaran non akademik. Para siswa akan belajar pola pengembangan melalui bakat-bakat yang dimiliki.

Sekolah memfasilitasi pola pengembangan bakat itu dengan mengasah bakat masing-masing siswa. Di antaranya seperti menari, melukis, mengaji dan lain sebagainya.

Meski demikian, ada sejumlah wali murid atau orangtua siswa yang tidak sepenuhnya setuju dengan kebijakan peniadaan PR bagi siswa di Surabaya tersebut.

Emawati Rachmi (56), salah satu wali murid siswa SMPN 6 Surabaya mengaku kebijakan tersebut tetap memiliki sisi positif dan sisi negatif.

Sisi positifnya, kata Ema, pembelajaran dilakukan penuh di sekolah dengan penambahan jam pelajaran. Di samping itu, orangtua tetap memperhatikan dan mengarahkan anak untuk memiliki karakter dan pribadi yang unggul.

Namun, sisi negatifnya, terutama bagi orangtua yang kurang peduli dengan perkembangan anaknya, proses belajar di rumah menjadi tidak ada.

"Sebab, saya melihat anak-anak zaman sekarang kurang suka membaca, sedangkan belajar tentang pengetahuan, di luar sekolah, harus dipaksa dulu agar anak-anak menjadi terbiasa dan mencintai buku dan pengetahuan," kata Ema saat dihubungi kepada Kompas.com, Kamis (10/11/2022).

Bagi warga asal Kelurahan Ngagel, Kecamatan Wonokromo itu, PR kepada siswa tetap harus ada meski tidak setiap hari. Karena ia ingin anaknya tetap mau membuka buku dan belajar di rumah.

Menurut dia, PR dari guru di sekolah bisa jadi pemicu awal bagi siswa agar mau belajar di rumah.

"Apalagi, budaya membaca itu sudah tidak ada. Anak-anak itu kalau di rumah, meskipun tidak ada PR, membaca buku, mengulang pembelajaran yang didapat di sekolah itu jarang sekali dilakukan, itu yang saya amati dari anak zaman sekarang. Hanya anak-anak tertentu yang memiliki tekad kuat untuk mau belajar," ujar dia.

Karena itu, anak-anak tetap harus mendapat motivasi agar di rumah tetap mau belajar dengan porsi yang pas.

"Karena kadang-kadang, anak-anak ini kan menganggap ketika sudah tidak ada PR, berarti di rumah sudah tidak harus belajar. Nah, mengubah mindset anak-anak seperti ini yang harus diurus bersama, baik oleh orangtua dan guru," kata dia.

"Pengalaman yang saya temukan di lingkungan saya, ketika tidak ada PR, anak-anak tidak belajar. Mereka mau belajar ketika diberi tugas dari sekolah untuk dikerjakan di rumah," imbuhnya.

Belajar, membaca, dan hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan ini, menurut Ema, merupakan pengenalan bagi anak-anak yang masih duduk di bangku SD dan SMP.

"Jadi memang harus dikenalkan dulu, sedikit dipaksa, agar ke depan mereka bisa terbiasa dan mencintai pengetahuan, mau membaca buku dan terus belajar," ujar dia.

Ketika anak-anak sudah mencintai ilmu pengetahuan, lanjut Ema, tanpa PR pun tidak masalah.

"Nah ini kan karakter siswa berbeda-beda, ada yang suka belajar, sebagian besar tidak suka. Ini mungkin yang perlu dipertimbangkan juga," kata dia.

Sementara itu, Indah Wahyuni wali murid siswa di salah satu SD di Surabaya memiliki pendapat yang sama.

Ia mengaku khawatir jika siswa tak diberi PR dari sekolah.

Menurutnya, dengan tidak ada PR di sekolah, anak-anak cenderung lebih santai dan tidak memiliki tanggung jawab.

Ia juga mengeluhkan jika jam pelajaran ditambah dan harus pulang pukul 14.00 WIB. Sebab, pengembangan bakat siswa bisa dilakukan di luar sekolah.

"Seperti mengaji misalnya, itu memang aktivitas rutin yang dilakukan anak saya selepas sekolah. Jadi setiap harinya, ada aktivitas mengaji yang dilakukan di sore harinya," ujar dia.

Meski demikian, ia mengaku belum mendapat pemberitahuan lanjutan dari pihak sekolah tentang peniadaan PR bagi siswa, termasuk penambahan jam pelajaran.

"Sampai hari ini belum ada pemberitahuan lagi dari pihak sekolah tentang pembebasan PR dan jam pelajaran yang ditambah itu. Belum ada konfirmasi dari pihak sekolah ke pihak wali murid," kata Indah.

Warga Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng itu menambahkan, sebaiknya kebijakan peniadaan PR itu tidak buru-buru dilakukan.

Pasalnya, siswa baru memulai sekolah tatap muka pascapandemi.

Sejak pandemi Covid-19 yang berlangsung selama kurang kebih dua tahun, siswa selalu belajar dari rumah.

Setelah kembali ke sekolah, banyak pelajaran-pelajaran yang diberikan guru kepada siswa belum sepenuhnya terserap dengan maksimal.

Ia khawatir, dengan tidak adanya PR, justru pengetahuan-pengetahuan dasar yang harus dikuasai siswa jadi terhambat.

"Ini kan sekolah baru mulai lagi tatap muka setelah hampir dua tahun belajar di rumah akibat pandemi. Pembelajaran yang didapat di sekolah ini belum bisa diserap maksimal oleh siswa efek pandemi tadi, ketambahan nggak ada PR, khawatir tambah tidak maksimal belajarnya," ujar Indah.

Di samping itu, ia khawatir anaknya menjadi lalai karena tidak ada lagi beban tugas dari sekolah. Karena itu, ia berharap PR bagi siswa tetap diberikan.

"Saya cuma khawatir anak-anak enggak punya tanggung jawab di rumah kalau nggak ada PR sama sekali. Nanti malah main gadget terus di rumah. Kalau bisa ya tetap ada, apalagi masih usia dini, pelan-pelan harus dikasih tahu tentang tanggung jawab, salah satunya ya PR itu. Biar anak-anak juga mau belajar di rumah," tutur dia.

Seperti diberitakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya segera menerapkan pembebasan Pekerjaan Rumah (PR) bagi siswa SD dan SMP Negeri maupun Swasta di Kota Pahlawan. Kebijakan ini akan diterapkan mulai tanggal 10 November 2022 atau pada peringatan Hari Pahlawan.

Jam pelajaran sekolah akan dipangkas hingga pukul 12.00 WIB. Selanjutnya, Pemkot Surabaya menerapkan dua jam pembelajaran mulai pukul 13.00 - 14.00 WIB yang digunakan untuk pendalaman karakter siswa.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi meminta PR tidak boleh membebani siswa. Sebab, Pemkot Surabaya tengah mengedepankan proses pertumbuhan karakter siswa.

"Sebetulnya PR itu jangan membebani anak-anak, tapi yang saya ubah PR itu adalah untuk kegiatan pembentukan karakter. Saya harap meskipun ada PR tapi tidak terlalu berat dan terlalu banyak, yang penting adalah pertumbuhan karakter mereka," kata Eri Cahyadi.

Ia pun mengajak para orangtua siswa untuk ikut membentuk karakter anak-anak saat berada di rumah.

Sebab, orangtua juga memiliki tugas dalam pengawasan dan menjaga anak-anak selama berada di rumah.

"Sebetulnya pendidikan tidak hanya dibebankan kepada guru di sekolah. Tetapi orang tua juga bertanggung jawab dalam proses pembentukan karakter anak," ujar Eri.

Meski demikian, Eri Cahyadi tak menampik jika ada orang tua siswa yang khawatir dengan kebijakan pembebasan PR tersebut. Namun, ia menilai bahwa pro dan kontra tersebut merupakan hal yang wajar.

"Sebetulnya orangtua belum memahami kalau PR itu (tetap) ada, tetapi diganti dengan PR untuk pembentukan karakter di sekolah. Berarti orangtua harus sadar betul, ketika anaknya di sekolah mendapatkan pendidikan, ada PR setelah itu diselesaikan di sekolah," jelas dia.

Sebab, menurutnya, para orang tua panik dan khawatir jika pembebasan PR akan berdampak buruk kepada anak-anak dan membuat mereka lebih suka bermain.

"Maka orangtua juga harus mendidik anak-anaknya untuk memiliki karakter sebagai calon pemimpin bangsa nanti," terang dia.

Eri mengimbau kepada para orangtua siswa untuk bersama-sama membentuk karakter anak-anak. Yakni, tidak hanya membebankan pendidikan kepada sekolah dan PR anak.

"Karakter anak tanggung jawab sekolah dan pemerintah, tapi yang lebih penting adalah tanggung jawab orangtua. Jangan dibebankan anak dengan PR karena orangtua tidak mampu untuk mendidik, tetapi mereka harus hadir agar anak tidak individualistik," ungkap dia.

Kebijakan pembebasan PR tersebut, bertujuan untuk memberikan ruang kreatif kepada anak. Hal ini dilakukan agar para siswa tidak terbebani PR, serta meningkatkan kemampuan siswa untuk bersosialisasi.

"Karakter anak akan terbentuk nanti, karena anak butuh kasih sayang orangtua. Yang menjadikan anak ini pemimpin yang luar biasa adalah kasih sayang orangtua," tutur Eri.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/11/10/123447278/sejumlah-orangtua-ingin-pr-tetap-ada-bisa-jadi-pemacu-siswa-belajar-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke