Salin Artikel

Kisah Kelam di Balik Lagu Genjer-genjer, Pencipta Menghilang Tak Tahu Rimbanya

Lagu yang ciptakan tahun 1943 tersebut menggambarkan susahnya masyarakat Banyuwangi di masa penjajahan Jepang sehingga hanya bisa makan sayur genjer.

Namun dengan berjalanya waktu, lagu Genjer-genjer dilarang dinyanyikan di masa Orde Baru mungkin hingga sekarang.

Dikutip dari pemberitaan Kompas.com pada September 2014, Arief adalah seorang petani yang piawai memainkan alat musik tradisional angklung.

Dengan alat musik, ia menciptakan banyak lagu tentang kehidupa masyarakat sehari-hari dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah, bahasa Using.

Setelah Indonesia merdeka, Arife bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dipimpin oleh Amir Sjarifudin.

Lalu di tahun 1950, Arief pindah ke Lekra dan menjadi Ketua Bidang Kesenian. Selain itu Arief juga dipilih menjadi anggota DPRD sebagai wakil seniman pada tahun 1955.

Saat bergabung di Lekra, Arief mendirikan Seni Rakyat Indonesia Muda (Sri Muda). Mereka berlatih di halaman rumah Arief di Temenggungan.

Bersama Sri Muda, Arief kerap bermain musik di acara yang digelar oleh PKI mulai di Surabaya, Semarang hingga Jakarta.

Karena kerap membawakan lagu Genjer-genjer, lagu berbahasa Using itu pun menjadi populer hingga akhirnya direkam di Irama Record Jakarta dan dinyanyikan Bing Slamet serta Lilis Suryani.

Sejak lagu itu popoler, Arief kerap menerima pesanan lagu dari salah satu petinggi Lekra yakni Nyoto saat singgah di Banyuwangi pada tahun 1962.

Lahirlah lagu dari tangan Arief seperti yang berjudul Ganefo, 1 Mei, Mars Lekra, Harian Rakyat hingga Proklamasi.

Lagu-lagu tersebut ditulis tangan oleh Arief dan rekan-rekannya dalam beberapa buku. Hingga akhirnya isu G30S PKI pun meledak.

"Keesokan harinya sudah banyak orang berkumpul dari lapangan yang sekarang jadi Stadion Diponegoro, lalu ke timur melewati Taman Blambangan. Saat lewat depan rumah, massa langsung masuk ke dalam. Saya sama ibu melarikan diri," ujar anak Arief, Sinar Syamsi pada Selasa (30/9/2014).

Ia lalu mengambil tas plastik warna putih yang di dalamnya berisi tiga buku tulis dibungkus dengan kertas koran lusuh yang tintanya mulai memudar.

"Hanya ini yang bisa saya selamatkan saat rumah di Temenggungan dihancurkan pada 30 September 1965. Saya punguti di antara buku-buku lain yang berserak. Waktu itu saya masih kelas IV atau V SD," kata dia dengan suara tertekan.

Ia mengaku tidak habis pikir kenapa ayahnya dicap sebagai komunis.

"Bapak saya rajin beribadah. Bahasa Arabnya juga bagus. Dia beragama Islam yang taat," kata Arief.

Ketika membuka buku milik almarhum Muhammad Arief, Kompas.com menemukan lirik lagu Gendjer-gendjer dengan huruf warna merah. Di kanan atas terdapat gambar palu arit dan bertanggal 19 Juli 1965.

"Kalau yang itu bukan bapak yang nulis, tetapi temannya. Itu ditulis lagi, direpro. Kalau tulisan bapak yang asli di buku kecil, dilengkapi dengan notnya," ujar Syamsi.

Ia bercerita sejak peristiwa 30 September 1965, sang ayah menghilang dan keluarganya hidup menderita karena dicap sebagai keluarga PKI.

Selain itu rumahnya yang ada di Temenggungan juga rusak parah karena dihancurkan massa.

Syamsi bersama sang ibu, Suyekti kemudian membakar buku buku bacaan 'kiri' milik sang ayah. Bersama sang ibu, Syamsi sempat menemui ayahnya yang ditahan.

Terakhir kali bertemu, sang ayah akan dipindahkan ke Kalibaru lalu pindah ditahan di Lowokwaru, Malang. Setelah itu keluarga tak mengetahui keberadaan Arief.

"Teman bapak yang cerita. Sampai saat ini saya tidak tahu bapak ada di mana. Dia tidak pernah kembali," kenang dia dengan mata berkaca-kaca.

Sementara itu, ibunya, Suyekti, yang asli Jawa Tengah, memilih untuk tinggal di Banyuwangi di rumah warisan keluarga.

"Kasihan ibu saya. Stigma sebagai keluarga PKI membuat ia tertekan. Ibu meninggal pada tahun 1997. Sampai hari ini, sering ada yang melempari rumah menggunakan batu. Saya kepikiran untuk menjual rumah ini, dan pindah ke mana gitu. Capek dicap sebagai keluarga PKI," ujar dia.

Syamsi sendiri mengaku pernah diterima sebagai tentara pada tahun 1975. Namun, tanpa alasan yang jelas, namanya dicoret dari daftar. Kemungkinan besar, hal itu ada kaitannya dengan masa lalu ayahnya.

"Semua orang sudah tahu kalau saya anaknya Pak Arief yang ngarang lagu 'Gendjer-gendjer'. Cukup saya saja, jangan bawa anak-anak saya," kata dia.

Kepada Kompas.com, Syamsi menunjukkan meja kayu serta kursi yang terlihat tidak terurus. 

"Dulu bapak sering menciptakan lagu dan bekerja di meja ini. Meja ini yang berhasil diselamatkan dari rumah Temenggungan, termasuk lemari baju yang ada di dalam," ujarnya.

Ia mengaku tahu bahwa benda-benda yang ia miliki merupakan bagian dari sejarah Republik Indonesia.

"Semoga pemerintah peduli dan mengembalikan nama baik kami. Kami sudah lelah," pungkasnya.

SUMBER: KOMPAS.com

https://surabaya.kompas.com/read/2022/09/30/061600278/kisah-kelam-di-balik-lagu-genjer-genjer-pencipta-menghilang-tak-tahu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke