Salin Artikel

Masjid Agung Sumenep, Akulturasi dan Simbol Toleransi Antarumat Beragama

SUMENEP, KOMPAS.com - Masjid Agung Sumenep, Jawa Timur, merupakan tempat ibadah bersejarah yang berdiri sejak 1779 Masehi.

Masjid yang memiliki makna filosofis pada setiap detail bangunannya, merupakan bagian dari sejarah yang melekat pada kebudayaan masyarakat Sumenep.

Masjid yang dulu bernama Masjid Jami’ dan merupakan masjid Keraton Sumenep itu menggabungkan berbagai unsur budaya dalam rancang bangunannya, yakni budaya Persia, Arab, India, Cina, dan Jawa.

Pola eklektis itu seperti merepresentasikan keberagaman etnis yang tinggal di pulau berpenghasil garam tersebut.

"Masjid Agung (Sumenep) inilah simbol keberagaman, simbol bahwa Islam itu mengayomi dan menjaga kerukunan umat beragama yang ada di Sumenep," kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Kabupaten Sumenep, Moh Iksan kepada Kompas.com, Jumat (8/7/2022).

Arsitek keturunan China

Iksan menjelaskan, Masjid Agung Sumenep dibangun oleh seorang arsitek keturunan China bernama Lauw Piango dengan dibantu oleh anak-anaknya.

Lauw Piango sendiri, lanjut Iksan, merupakan salah seorang pelarian dari Semarang, saat terjadi kerusuhan berbau SARA di daerah tersebut pada sekitar tahun 1740.

Dia memilih tinggal di Sumenep karena dianggap sebagai tempat yang aman dan sudah banyak warga keturunan Tionghoa yang menetap.

"Pengerjaan konstruksinya hingga akhir merupakan hasil gotong royong secara sukarela dari masyarakatnya atas perintah Panembahan Sumolo di Keraton Sumenep agar bangunan cepat selesai dan dapat dimanfaatkan," kata Iksan.

Masjid Agung Sumenep ini terletak di pusat Kota Sumenep, Pulau Madura, tepatnya di sebelah barat alun-alun yang pada saat ini merupakan kompleks Keraton Sumenep. Masjid Agung Sumenep menghadap ke arah timur dengan membelah alun-alun kota menuju keraton.

Filosofinya sendiri, yakni hablumninallah dan habluminannas. Arah Timur, yakni arah menuju keraton dan alun-alun melambangkan hubungan antar sesama manusia, sedangkan arah barat ialah hubungan manusia terhadap Tuhan.

Sedangkan, jika dikaitkan dengan filosofi China, arah timur merupakan simbol terbitnya matahari yakni sebagai simbol kehidupan, sedangkan arah barat merupakan simbol tenggelam matahari yakni simbol kematian.

Pintu gerbang utama masjid dibangun mirip kelenteng. Ada cungkup utama di atas bangunan yang menurun pada sisi kanan dan kirinya, mirip lekukan tembok China.

Pintu gerbang tersebut salah satu karya Lauw Piango yang banyak memberi pengaruh pada bangunan masjid secara keseluruhan. Oleh karenanya, mengunjungi Masjid Agung Keraton Sumenep merupakan wisata religi yang dapat memuaskan dahaga sejarah.

"Karena arsiteknya itu berasal dari China sehingga jangan heran bahwa arsitekturnya bercorak bangunan China kuno. Jadi nenek moyang kita sudah melakukan toleransi antar umat beragama sejak lama," kata Iksan.

Akulturasi budaya

Dari depan akses menuju masjid, terdapat gapura yang menjulang setinggi 20 meter sebagai gerbang utamanya. Di atas gerbang tersebut terdapat ruangan yang dahulu difungsikan untuk menyimpan bedug.

Gapura tersebut memiliki kesan kuat arsitektur China yang mengingatkan akan kemegahan Tembok Besar China.

"Gapura juga dibangun menggunakan batu bata dan pasir yang kaya akan zat kapur sehingga bangunan kokoh dan kuat selama berabad-abad," terang Iksan.

Bangunan masjid, lanjut Iksan, memiliki denah bujur sangkar dengan ukuran 32,5x31 meter. Memiliki batur setinggi 40 sentimeter di atas permukaan serambi depan. Keempat sisi bangunan ini dibatasi dengan dinding tembok yang tingginya 4,5 meter.

Bangunan masjid didominasi oleh warna putih dan hijau. Memiliki pintu sebanyak sembilan, yakni lima buah pada sisi timur dan dua buah pada masing-masing sisi utara dan selatan.


Pintu utama ditandakan dengan ukuran yang lebih besar dan terdapat ukiran pada atasnya. Pintu utama tersebut berornamen bunga matahari.

Bangunan masjid ini memiliki jendela besar sebanyak 10 jendela, yakni empat jendela pada sisi barat, dan tiga jendela pada masing-masing sisi utara dan selatan. Besar jendela ini ialah 2x3 meter.

Di ruang utama masjid ini terdapat tiang penyangga sebanyak 13 unit yang masing-masing memiliki diameter 1,25 meter.

Atap bangunan masjid ini berbentuk tajuk yang bertumpang tiga dengan sebuah hiasan mustaka di atasnya yang berbentuk bulatan bola bertingkat tiga yang duduk di atas seekor naga yang mendasarinya. Naga tersebut mengarah ke empat sisi utama arah mata angin.

Dari sederet bentuk bangunan yang khas tersebut, Iksan mengatakan, sudah sangat menggambarkan kekayaan akulturasi budaya kental dalam segi aspek desainnya.

Pengaruh-pengaruh pada desain oleh berbagai budaya seperti China, Jawa, Arab, dan Eropa pada Masjid Agung Sumenep juga telah merepresentasikan spirit keberagaman yang ada di Sumenep.

"Makanya sampai sekarang kerukunan antarumat di Sumenep tidak pernah tercederai atau saling mengganggu ibadah agama yang satu dengan agama yang lain," kata Iksan.

"Sekarang karena bangunannya sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, kita bersama-sama berkomitmen untuk menjaganya," pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/07/08/185112078/masjid-agung-sumenep-akulturasi-dan-simbol-toleransi-antarumat-beragama

Terkini Lainnya

Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com