Salin Artikel

Asal-usul Kota Bojonegoro

Kabupaten ini berbatasan langsung dengan 5 Kabupaten.

Di bagian utara perbatasan dengan Kabupaten Tuban. Di bagian timur dengan Kabupaten Lamongan dan di bagian selatan dengan Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Ngawi.

Sementara di bagian barat berbatasan langsung dengan Kabupaten Blora (Jawa Tengah). Di kawasan tersebut terdalam bagian dari Blok Cepu, salah satu sumber deposit minyak bumi terbesar di Indonesia.

Sejarah Kabupaten Bojonegoro

Hingga abad ke-16, Bojonegoro masuk wilayah kekuasaan Majapahit. Namun dengan berjalannya waktu, Bojonegoro menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Demak.

Dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro disebutkan Kota Bojonegoro adalah kota peradaban yang dilalui sungai terpanjang di Jawa, Bengawan Solo.

Di masa lalu, Bengawan Solo bukan hanya sebagai jalan transportasi, tapi juga sebagai pusat beradaban. Selain itu, hampir sebagian besar hewan purba mendiami bantaran Bengawan Solo.

Awalnya, Bojonegoro bernama Rajekwesi dengan pusat pemerintahan di Jipang yakni mencangkup wilayah Cepu dan Padangan. Lokasinya di sepanjang Bengawan Solo atau bagian barat Bojonegoro.

Dengan adanya Bengawan Solo, pedagang dari Tiongkok, Kerajaan Demak dan Majaphit berdagang dengan orang Bojonegoro.

Melalui Bengawan Solo juga, Sasradilaga menyerang Rajekwesi yang saat itu dikuasai Belanda. Pasukan Belanda pun berhasil dipukul mundur.

Namun terjadi gencatan senjata, nama Rajekwesi menjadi Bojonegoro. Bojonegoro diartikan bahwa bodjo itu memiliki makna senang-senang, kebebasan, dan pesta. Sedangkan negoro adalah negara.

Dikutip dari Bojonegorokab.go.id, pada tanggal 20 Oktober 1677, status Jipang yang sebelumnya adalah kadipaten diubah menjadi kabupaten dengan Wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Tumapel yang juga merangkap sebagai Bupati I yang berkedudukan di Jipang.

Tanggal ini hingga sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Bojonegoro. Tahun 1725, ketika Pakubuwono II (Kasunanan Surakarta) naik tahta, pusat pemerintahan Kabupaten Jipang dipindahkan dari Jipang ke Rajekwesi, sekitar 10 km sebelah selatan kota Bojonegoro sekarang.

Kampung-kampung itu tersebar di Gadung Rahu yang saat ini disebut Ngraho, Badender (Dander), Randu Gempol, Toja dan Adiluwih.

Adalah Ki Ruhadi atau yang dikenal Rakai Purnawikan yang menjadi salah satu kepala suku terkuat dari sejumlah perkampungan.

Dia tinggal di Randu Gempol. Nama itu lalu diubah menjadi Hurandu Purwo pada 1115.

Letaknya berada di Desa Plesungan Kecamatan Kapas. Ibukota kerajaannya di Kedaton di sekitar wilayah Kecamatan Kapas.

Kerajaan kecil Hurandu Purwo lalu lenyap. Pada saat kekuasaan Airlangga bertahta di Kahuripan, wilayah kekuasaanya hingga barat. Saat itu berdiri kabupaten Rajekwesi.

Pada masa kerajaan Singasari (1222-1292), kerajaan Rajekwesi pecah menjadi tiga yakni
Rajekwesi Wetan, Bahuwerno (Baureno) dan Getasan Kenur (Kanor saat ini).

Pada zaman kerajaan Majapahit (1293-1309), tiga kabupaten itu dilebur menjadi
satu dengan nama Kabupaten Kahuripan. Sejumlah candi pada zaman Airlangga
dan Majapahit dibangun di kabupaten Kahuripan.

Sayang, candi-candi itu dihancurkan saat kerajaan Demak berkuasa di tanah Jawa (1521).
Kabupaten Kahuripan pun ditelan zaman. Lalu pada 1523, muncul dua kabupaten
yang berbasis Islam yakni Jipang Panolan dan Waru.

Jipang Panolan dipimpin Raden Wirabaya dan bekas Senopati Anggakusuma sebagai adipati Waru. Hingga kemudian Jipan Panolan menjadi wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta.

Bojonegoro sesungguhnya mempunyai hubungan batin yang sangat erat dengan Kasultanan Yogyakarta. Alasanya karena Bupati Bojonegoro, R.T Sosrodingrat menikah dengan BRA Sosrodiningrat menurunkan trah Hamengkubuwono ke IV hingga Hamengkubuwono ke X.

Saat Gubernur Jendral Herman Willlem Daendels menjabat sebagai Gubernur ke 36 di pulau Jawa, Bojonegori masih di bawah wilayah Rembang.

Kala itu Daendels datang ke Indonesia pada 14 Januari 1808.

Kebjiakan Deandels yang membangun jalan besar yang membentang antara Anyer di Jawa Barat hingga Pantai Utara Pulau Jawa, Panarukan berpengaruh besar pada masyarakat Bojonegoro.

Masyarakat yang berada di sekitar jalan raya yang dibangun, dipalsa untuk kerja rodi membangun jalan, termasuk rakyat Bojonegoro.

Mereka dipaksa membangun jalan serta pangkalan angkatan laut tanpa diberi upah berupa makanan atau uang. Untuk makan malam, mereka mendapat bantuan dari Sultan Yogyakarta.

Sementara itu, Bupati Jipang Raden Ronggo Prawijodirjo III melakukan perlawanan kepada Belanda hingga akhir hayatnya.

Dengan meninggalnya Bupati Jipang, membuat Gubernur Daendles menaruh perhatian lebih kepada Jipang (Bojonegoro).

Kesuburan lahan itu disebabkan adanya Bengawan Solo, dan kecocokan lahan ditanami tanaman yang produktif dan diminati pasar Eropa saat itu, seperti jati dan tembakau.

Sementara itu kolonial Belanda terus memberikan perhatian kepada pendidikan rakyat pribumi, salah staunya dengan pengangkatan Inspektur pendidikan.

Lalu pada 1 Agustus 1872 di kabupaten Bojonegoro mulai didirikan sekolah “Inlandsche Scholen, direktur sekolah di jabat oleh Raden Djojodimedjo serta pembantunya Abu Nodir dan Mustahal.

Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman eksport berjalan kurang baik karena jatuhnya harga kopi dan gula dipasar dunia. Lalu pada tahun 1891 harga tembakau merosot pesat sehingga membahayakan kelangsungan hidup perkebunan tembakau.

Saat itu Bojonegoro dipimpin oleh  Bupati Raden Adipati Ariyo Reksokusumo.

Di saat bersamaan, pemerintah mulai mengusahakan proyek besar seperti pengeboran minyak tanah. Tahun 1889 ditemukan adanya tambang minyak tanah di kawasan Desa Kawengan “Banyu urip”, Kasiman.

Sejak saat itu pula di adakan pengeboran minyak dan hasil pengeboran minyak mentah tersebut di kirim ke Cepu yang kebetulan merupakan pusat pertambangan minyak tanah.

Pada tahun 1885, terjadi krisis di perkebunan milik swasta mau pun milik pemerintah. Akibatnya pemilik melakukan penghematan besar-besaran untuk menekan upah dan sewa tanah serendah mungkin.

Akibatnya masyarakat Jawa khususnya Bojonegoro menanggung beban finansial yang amat berat karena hasil dana eksport tanaman tidak hanya di gunakan pemerintah Hindia Belanda untuk kemakmuran penduduk Jawa, tetapi untuk membiayai pemerintah daerah koloni di luar Jawa.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/06/26/114700578/asal-usul-kota-bojonegoro

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke