Salin Artikel

Cerita Perintis Lingkungan di Lumajang, Sempat Dianggap Gila, Kini Gerakkan Ekonomi Warga

Wilayah hutan di lereng Gunung Lemongan jadi tempat Daim kecil bermain setiap hari. Dia sangat sensitif jika ada sesuatu yang hilang dari layaknya fungsi hutan.

Kebakaran hutan yang kerap terjadi sebelum 1996 di hutan sisi utara dan barat gunung membuat tidak ada tanaman yang tumbuh.

Kondisi ini diperparah saat Presiden Abdurrahman Wachid mengeluarkan pernyataan bahwa hutan milik rakyat. Sayangnya, pernyataan itu disalahartikan dan dijadikan sebagai dalih oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk merampas kekayaan hutan.

Pembalakan terjadi, mulai dari hutan di Banyuwangi hingga Pacitan. Termasuk juga hutan Lemongan yang ada di Kabupaten Lumajang.

Akibatnya, saat terjadi hujan, banjir dan longsor menjadi ancaman serius bagi warga yang tinggal di kaki gunung.

Bahkan rumah tempatnya berlindung dari panas dan hujan bersama kedua orangtuanya hanyut dibawa banjir. Keluarga Daim saat itu selamat. Dari pengalaman ini, Daim punya cita-cita untuk mengembalikan fungsi hutan.

"Rumah saya awalnya bukan yang tempat sekarang itu, tapi sekitar 50 meter dari hutan, itu hanyut kena banjir," kata Daim di rumahnya, Minggu (12/6/2022).

Pada 1996, Daim merealisasikan ide menanami hutan yang gundul akibat pembalakan liar. Lebih dari empat kilometer ditempuh pria itu dengan berjalan kaki ke dalam area hutan.

Saat itu, Daim belum mengabdikan diri sepenuhnya untuk kelestarian hutan. Ia masih coba-coba dan terkadang berkegiatan lain di kebunnya.

Berbekal cangkul dan sabit, berbagai jenis tanaman coba ditumbuhkan di hutan itu. Mulai dari alpukat, kopi, durian, sirsak, hingga nangka telah dicoba. Hasilnya, semua tanaman itu rusak dan tidak bertahan lama.

Faktornya pun beragam. Bukan hanya kebakaran hutan dan gangguan hewan buas. Orang-orang yang tidak sepemikiran dengan Daim juga turut menggoda imannya untuk menyerah dengan merusak tanamannya.

"Ya banyak sekali tantangannya, dulu baru tanam dirusak hewan, kebakar juga," kata Daim.

Cobaan demi cobaan dilaluinya dengan sabar. Pada 2007, Daim menemukan sebuah tanaman yang bisa bertahan dari segala macam gangguan yakni pinang.

Saat Daim mulai tekun menanam pohon pinang di hutan, cemooh dan ejekan tetangga pun muncul. Daim dianggap gila.

Sebab, saat semua orang menggandrungi pohon jati dan sengon, Daim malah memilih pohon pinang.

Bagaimana tidak, pohon jati dan sengon memang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Jauh dibandingkan dengan pinang yang saat itu buahnya hanya dihargai Rp 3.000 per kilogram. Untuk membeli beras satu kilo saja tidak cukup. Padahal saat itu harga beras sudah Rp 6.000 per kilogram.

"Orang-orang bilang saya gila karena memang pinang dulu harganya murah, buat beli beras saja tidak cukup," tambahnya.


Namun, Daim sama sekali tidak goyah. Ia menutup telinganya rapat-rapat dan yakin kelak akan ada hasil manis yang akan dinikmatinya.

Menurut Daim, pohon jati dan sengon hanya bertahan sementara untuk menyerap air hujan. Sebab, saat pohon itu dipanen, hutan akan kembali gundul dan menyebabkan erosi lagi.

Aktivitas keluar masuk hutan lebih rutin dilakoni saat menanam pohon pinang. Semak belukar hutan yang lebat dibukanya dengan arit kecil dan cangkul.

Untuk memudahkan aksesnya, Daim menyempatkan membawa batu saat berangkat ke hutan. Satu per satu batu itu ditata hingga jadi jalan setapak.

Bertahun-tahun Daim menanam pohon pinang seorang diri di lahan seluas 14 hektare tepat di sisi barat lereng Gunung Lemongan. Tidak jarang hewan liar ditemuinya, mulai dari kera, rusa, babi hutan, hingga ular.

"Kalau ular masih banyak, yang pernah saya temui dan hampir saya injak kira-kira empat meter panjangnya, kalau selongsongnya itu yang lebih besar lagi sering saya ketemu, ya sepohon pinang yang besar ini lah," ucapnya.

Tahun demi tahun, Daim dengan tekun menebar bibit pinang tanpa hasil berarti yang bisa dibawanya pulang ke rumah. Tanaman hutan yang bisa dimakan, setiap harinya dibawa pulang untuk membuat dapurnya tetap mengepulkan asap.

Akhirnya, 11.000 pohon berhasil tumbuh. Ketinggian pohon rata-rata sudah mencapai tujuh meter. Dari sana, sekitar 8 ton buah pinang dihasilkan setiap tahun. Kini harganya pun sudah tinggi, yakni Rp 11.000 per kilogram.

Ibarat orang berpuasa, Daim mulai menikmati lebaran dari hasil kerja kerasnya bertahun-tahun. Saat itu mulai banyak yang melirik Daim. Termasuk petugas penyuluh pertanian setempat. Mereka merasa yang dilakukan Daim sungguh luar biasa.

Hebatnya, semua itu dilakukan Daim tanpa bimbingan guru dan metode pembelajaran bangku sekolah apalagi perguruan tinggi. Ia mempelajari alam secara otodidak berdasarkan naluri yang diberikan Tuhan kepadanya.

Selain mengembalikan fungsi hutan dan menjaga kelestariannya, Daim juga mampu membangun pondasi ekonomi yang kuat untuknya dan warga sekitar. Sebab, banyak orang yang mulai mengikuti langkah Daim menanam pinang.

Selain itu, tumbuhan pakis yang tumbuh dibawah rimbunnya pepohonan pinang milik Daim juga kerap dimanfaatkan warga sekitar untuk dimasak bahkan dijual ke pasar.

"Mulai banyak sekarang yang ikut nanam, warga juga banyak yang ambil rumput untuk ternak, kalau saya panen juga pasti melibatkan warga sekitar paling tidak delapan orang yang ikut," ucapnya.

Para penyuluh pertanian tanpa ragu mengusulkan nama Daim untuk dianugerahi penghargaan sebagai pelopor lingkungan. Berbagai berkas yang dibutuhkan dan portofolio perjalanan Daim telah disusun.

Sayangnya, ganjalan lagi-lagi datang. Kali ini dari perusahaan BUMN yang bergerak di wilayah kehutanan.

Perusahaan pelat merah itu menganggap kegiatan Daim ini ilegal. Sebab, yang dilakukannya selama ini dengan menghidupkan kembali fungsi hutan yang telah lama mati dianggap tidak berizin.


Daim pun dipaksa mengurus perizinan hingga menjalin kerja sama dengan perusahaan tersebut. Jika ia menolak, penghargaan sebagai perintis lingkungan terancam tidak didapatkan.

Mendengar hal itu, bukannya takut yang ada di benak Daim. Ia justru tidak peduli jika tidak mendapatkan penghargaan apa pun.

Sebab, bukan penghargaan yang ingin dicapai dari aktivitasnya merawat hutan. Benar saja, Daim tidak lolos dalam seleksi penghargaan tingkat provinsi.

"Ya kalau disuruh ngurus izin kenapa tidak dari dulu, sekarang sudah seperti ini baru rame, ya sudah saya tidak dapat penghargaan tidak masalah," jelasnya.

Kegagalan bagi Daim hanyalah sukses yang tertunda. Karena baginya banyak jalan untuk menuju Roma.

Berkas pengajuan yang gagal lolos seleksi penghargaan tingkat Jawa Timur dikirimkan langsung ke Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia oleh oleh orang-orang baik yang takjub dengan pengabdian Daim.

Kali ini keberuntungan memihaknya. Surat permohonan itu direspons cepat dan berbuah penghargaan Kalpataru yang diterimanya Desember 2021.

Ia diundang ke Malang untuk menerima langsung penghargaan Kalpataru yang diserahkan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansah.

Kini penghargaan lain tengah menunggunya. Penghargaan itu langsung dari Presiden Joko Widodo untuk mengapresiasi ketekunannya merawat hutan.

Rencananya, penyerahan penghargaan itu akan diserahkan presiden pada Jumat (10/6/2022). Namun, karena ada agenda kepresidenan, penghargaan baru untuk Daim harus ditunda.

Meski kini Daim tinggal menikmati hasil manis dari tirakatnya, kebiasaan keluar masuk hutan sejak muda tetap dilakukannya. Pria berjenggot yang telah berusia 61 tahun ini merasa ada yang kurang jika tidak ke hutan.

"Ya tetap ke hutan, paling hanya membersihkan rumput-rumput dan sesekali mencoba menanam pohon baru," jelasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/06/13/105312978/cerita-perintis-lingkungan-di-lumajang-sempat-dianggap-gila-kini-gerakkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke