Salin Artikel

Kisah Para Pejuang Rindu, 24 Jam di Kapal Demi Bertemu Ibu dan Kerupuk Khas Kampung Halaman

SURABAYA, KOMPAS.com - Para pemudik tahun 2022 ini sangat pas jika disebut sebagai pejuang rindu.

Mereka telah menahan rasa rindunya kepada orangtuanya di kampung halaman masing-masing, selama dua tahun lamanya sejak tahun 2020 dan 2021 keduanya harus mengobati dengan telepon selulernya.

Kali ini perasaan itu keluar sendiri dari Alifatul Rohmah (27) seorang pemudik dari Banjarmasin.

Alifah tiba di Terminal Graha Surya Nusantara (GSN) Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya sekitar pukul 12.00 WIB. Dia bersama keponakannya yang sama-sama juga merantau di pulau Kalimantan Selatan itu.

Saat keluar dari pintu gerbang kedatangan di Terminal Penumpang GSN dia bersama ponakannya membawa tas koper dan satu kardus.

Alifah merasa senang ketika tahun ini pemerintah sudah mengizinkan untuk melakukan arus mudik.

"Saya dari daerah Kwanyar Bangkalan, dua tahun belum bisa tatap muka langsung sama ibu saya. Perjuangan banget kalau sekarang ini," ucap dia. Sembari mendorong kopernya untuk menunggu jemputan pamannya, Minggu (1/5/2022).

Alifah mengaku sebagai pejuang rindu, ketika bertemu dengan ibunya akan memeluknya dan cium sungkem kedua telapak tangannya.

Tahun ini bagi dia bukan hanya mudik yang diizinkan, tetapi dia merasa akan bertemu dengan surganya. Bagi dia seorang ibu adalah manusia terkeramat sedunia.

"Ibarat cas baterai, saya ini sekarang pulang buat ngecas baterai saya. Saya jelas akan bertemu dengan surga. Karena surga itu betul-betul berada di kaki ibu,"papar dia.

Kesempatan mengobati rindu sebenarnya menjadi kewajibannya setiap tahun untuk bertemu langsung dengan ibunya. Tetapi sejak pandemi dia harus ikhlas menerima keadaan.

Dia telah merantau di pulau Kalimantan sejak tahun 2017 lalu dan bekerja di salah satu rumah makan.

Sosok orangtua tidak boleh terlalu larut dalam rindunya, meskipun sayangnya kepada anaknya tak bisa tertandingi.

Alifah berangkat dari pelabuhan sejak hari Sabtu. Dia berada di atas kapal laut selama 24 jam lamanya.

Ketika dirinya sudah sampai di GSN aroma tanah Madura semakin tajam diarasakan.

Bahkan yang paling dia rasakan adalah olahan kerupuk udang sangrai khas Kwanyar buatan ibunya yang sudah terasa di ambang mata.

"Nanti buka puasa langsung makan kerupuk itu," sebut dia dengan napas ngos-ngosannya.

Perjuangan Alifah tak hanya selesai di situ, dirinya mengaku belum melakukan vaksin booster, dia berniat akan melakukannya ketika di kampung halamannya.

Sehingga dia dengan keponakannya harus melakukan tes PCR yang sudah disediakan di pelabuhan pemberangkatan asal.

Dia sangat khawatir takut hasilnya menunjukkan reaktif, maka harus tertahan lagi rasa rindunya.

"Alhamdulillah negatif atau non reaktif, jadi bisa langsung ini," kata dia.

Bawakan oleh-oleh mukena untuk ibunya

Alifah mengaku oleh-oleh spesial buat ibu tercintanya hanya mukena.

Mukenanya dia simpan dalam tas ranselnya, sedangkan koper dan kardus hanya disi pakaian pribadinya.

"Kalau kardus ini hanya makanan ringan buat oleh-oleh keponakan yang masih kecil-kecil di rumah," terang dia.

Alifah akan berlibur hingga usai Lebaran Ketupat, dia akan mengisi hari-harinya dengan ibunya.

"Pokok saya harus puas dulu nemenin ibu, nyenengin ibu juga. Buat bekal satu tahun lagi pas harus balik lagi kerja," jelas dia.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/05/01/171900178/kisah-para-pejuang-rindu-24-jam-di-kapal-demi-bertemu-ibu-dan-kerupuk-khas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke