Salin Artikel

Mengenal Tari Rampogan, Tari Gladiator dari Ngawi

Hal tersebut tergambar pada tari rampogan yang dikemas oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Pamong Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ngawi, Sulistyono mengatakan, tari rampogan pada awalnya dibuat untuk mengikuti festival tari di Provinsi Jawa Timur pada 2014.

“Kita masuk 10 besar pada waktu itu. Tari tersebut kita buat gerak dari sejarah tradisi rampogan,” ujarnya di temui di ruang kerjanya, Sabtu (9/4/2022).

Tari rampogan biasanya akan dipentaskan pada saat prosesi jamasan pusaka dalam rangka peringatan hari jadi Kabupaten Ngawi.

Tari rampogan dibawakan oleh 10 penari yang menceritakan olah keprajuritan dalam mengolah senjata tombak dalam melawan harimau seperti tradisi rampogan.

“Ceritanya kita ambil dari buku sejarah Ngawi kita buat geraknya gerak keprajuritan,” imbuhnya.

Buku Ngawi Tempo Doeloe

Sulistyono menambahkan, kegiatan rampogan di Kabupaten Ngawi terekam dalam buku Ngawi Tempo Doeloe yang ditulis oleh Dukut Imam Widodo.

Cerita rampogan di buku Ngawi Tempo Doeloe ditulis berdasarkan tulisan sebuah buku yang tidak diketahui siapa penulisnya karena sampul buku tersebut telah hilang.

Buku tulisan tangan tersebut diperkirakan ditulis pada awal 1900-an. “Cerita itu kita dengar dari orangtua kita dulu. Tradisi tersebut lahir karena di sini dulu konon masih banyak harimau,” katanya.

Kabupaten Ngawi memiliki hutan yang cukup luas yang bernama Alas Ketonggo. Selain angker, Alas Ketonggo juga dipercayai sebagai habitat dari harimau jawa.

Selain di Alas Ketonggo harimau Jawa juga diceritakan banyak terdapa di Hutan Lodaya Blitar Selatan, Hutan Gadungan Pare Kediri, dan Hutan Keduwang Wonogiri.

“Dulu katanya warga ini sering melihat harimau karena saking banyaknya. Dulu kan hutan masih lebat,” ucap Sulityono.

Dahulu harimau dianggap sebagai hama karena sering memakan ternak warga. Maka pada waktu itu pejabat di Kadipaten Ngawi mengeluarkan perintah untuk menangkap harimau.

Bahkan bagi warga yang berhasil menangkap harimau akan mendapatkan hadiah 10 hingga 50 gulden sesuai dengan besaran harimau yang ditangkap.

“Desa yang dekat dengan hutan diceritakan banyak yang memasang perangkap harimau,” jelas Sulistyono.

Peninggalan kandang macan

Harimau yang telah tertangkap tersebut kemudian dikumpulkan di sebuah lokasi yang cukup luas di sebelah Barat Alun-alun Kabupaten Ngawi.

Kawasan tersebut diberi nama Kandang Macan. Harimau-harimau itu diletakkan pada kandang yang terbuat dari kayu semacam pohon kelapa yang memiliki serat kayu tajam dan kuat.

Dimaksudkan untuk mencegah harimau berusaha keluar dari kandang dengan cara merusak kandang. “Kandang dengan kayu berserat tajam ternyata lebih aman karena harimau akan tertusuk serat kayu jika berusaha merusak kandang,” terang Sulistyono.

Lupita, salah satu warga Ngawi yang bekerja di radio Bahana Ngawi mengaku jika kawasan Kandang Macan tersebut saat ini masih sering diceritakan oleh orangtua mereka.

Lokasi kandang harimau berada hanya beberapa meter dari tempatnya bekerja tersebut saat ini menjadi lahan kosong.

“Menurut cerita kakek buyut saya, dulu di sini memang banyak kandang harimau. Sampai saat ini nama daerah sini dinamakan Kandang Macan,” katanya.

Hari digelar rampogan

Biasanya, acara rampogan digelar pada waktu tertentu dengan dihadiri oleh pejabat penting Belanda dari Karesidenan Madiun serta Bupati Ngawi dan para bangsawan pribumi.

Di hari rampogan digelar, sudah bisa dipastikan ribuan warga akan tumplek bleg di alun-alun Ngawi. Pelepasan harimau biasanya dilakukan pada tengah hari. “Rampogan menurut cerita biasanya dimulai setelah pukul 12 siang,” ucap Sulityono.

Ada petugas khusus yang akan melepaskan harimau dari kandang yang telah dipindahkan di tengah arena yang disebut gandek.

Biasanya, kandang harimau ini sekelilingnya ditutup dengan papan, sehingga ribuan warga tidak tahu seberapa besar harimau di dalam kerangkeng. “Pelepasan harimau dengan cara pintu kerangkeng ditarik tali dari pinggir lapangan oleh gandek,” kata Sulistyono.

Rampogan ajang pamer senjata

Saat harimau dilepas di tengah Alun-alun Ngawi, ribuan warga yang sudah menunggu sejak pagi telah berjajar rapat membuat arena di sekeliling alun-alun.

Mereka telah membuat barisan rapat dengan senjata tombak yang mengarah ke arah harimau yang telah dilepaskan dari kandang.

Keigatan rampogan selain sebagai hiburan bagi pejabat penting Belanda dari Residen Madiun, Bupati dan pejabat penting lainnya juga dimanfaatkan oleh warga biasa untuk uji pamer senjata tombak yang mereka miliki.

Di dalam buku Ngawi Tempo Doeloe, juga diceritakan bagaimana penulis buku kuno tersebut juga ikut serta dalam rampogan dengan membawa senjata tombak miliknya. Masyarakat pada waktu itu percaya sekali jika tombak maupun trisula milik mereka memiliki tuah.

Meski susah diterima nalar, namun sebagian tombak milik warga menurut penulis buku kuno terjadi sesuatu yang aneh di mana saat tombak diacungkan kepada harimau yang sedang marah, harimau tersebut tiba-tiba saja hanya bisa menggeram sambil merapatkan badannya ke tanah.

“Antara percaya dan tidak cerita yang kita terima seperti itu, bahwa senjata tombak milik warga dipastikan mempunyai tuah,” jelas Sulistyono.

Saat harimau lepas dari lapangan

Serapat-rapatnya warga mengurung harimau yang dilepas di tengah kalangan, namun ada kalanya seekor harimau mampu melepaskan diri.

Di buku Ngawi Tempo Doeloe, penulis juga menceritakan bagaimana reaksi warga ketika salah satu harimau berhasil lepas dan melarikan diri.

Lepasnya harimau tentunya membuat penonton yang memadati lapangan Kabupaten Ngawi panik dan lari tunggang langgang menyelamatkan diri.

Kepanikan warga juga membuat panggung yang terbuat dari bambu, yang biasanya ditempati oleh perempuan dan pejabat, sempat ambruk yang membuat sejumlah penonton terluka.

Karena masih banyak hutan lebat yang berada di sekitar Ngawi membuat harimau yang lepas bisa selamat kembali ke hutan.

Dari tulisan terbitan 1900-an tersebut, juga disebutkan kapan pemerintah Belanda akhirnya melarang rampogan digelar.

Pemerintah Hindai Belanda melarang rampogan digelar pada 1905 dengan alasan pembunuhan harimau dengan cara ditombak dinilai sadis.

“Awit tahun 1905 Nagari Ngawi sampun mboten amarengaken (Sejak tahun 1905 pemerintah daerah Ngawi mulai melarang),” tulisnya.

Sejak pandemi Covid-19, pagelaran Tari Rampogan untuk mengiringi prosesi kirab pusaka dalam peringatan HUT Kabupaten Ngawi ditiadakan.

Sulistyono mengaku jika pementasan tari rampogan sidah diperbolehkan, dia berujar akan melengkapi tari tersebut dengan sendratari yang akan dibawakan secara kolosal di Alun-alun Ngawi.

Hal tersebut juga untuk memberikan edukasi melalui seni kepada masyarakat terkait tradisi yang pernah ada di Kabupaten Ngawi. “Kita lihat kondisi dan situasi dulu apakah tari tersebut bisa kita pentaskan,” pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/04/09/170441078/mengenal-tari-rampogan-tari-gladiator-dari-ngawi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke