Salin Artikel

Menengok Rumah Joglo Tertua di Ngawi, Dibangun Tahun 1750 Masehi, Lebih Tua dari Benteng Van Den Bosch

Sementara di sisi depan yang berukuran lebih kecil atau regol berisi meja kursi digunakan untuk menerima tamu.

Sedangkan di bangunan paling belakang atau sentongan dimanfaatkan oleh pemilik untuk keperluan keluarga dan sebagai tempat istirahat.

Rumah joglo Darmo Wongso atau dikenal dengan Darmo Menggolo ini disebut sebagai rumah tertua di Ngawi yag dibangun pada tahun 1750 Masehi.

Keturunan Darmo Menggolo

Agung Kusumo Wahyu Wibowo, keturunan ke-10 dari Kanjeng Pangeran Satsro Widekso atau Darmo Menggolo yang saat ini menempati dan merawat rumah tersebut mengatakan, bukti pembangunan rumah joglo dibangun pada tahun 1750 Masehi terdapat pada lempengan tembaga yang disimpan di bagian tengah salah satu kayu utama bangunan rumah joglo.

“Di dodog peksi itu ada lempengan tembaga dan pusaka, di mana tahun yang  tertulis tahun Saka 1678 atau sama dengan tahun 1750 Masehi,” ujar Agung saat ditemui di rumahnya, belum lama ini.

Agung menambahkan, rumah yang dibangun oleh kakek buyutnya tersebut usianya lebih tua dari bangunan benteng pendem atau Benteng Van Den Bosch yang dibangun oleh Belanda antara tahun 1839-1845 oleh arsitek bernama Jacobus Von Dentzsch.

Pembangunan rumah tertua di Ngawi tersebut berawal dari keberhasilan kakek buyutnya yang merupakan prajurit dari Keraton Kartasura dalam menumpas pemberontakan di wilayah Brang Wetan atau Provinsi Jawa Timur saat ini.

“Pada saat itu ada konflik suksesi antara Amangkurat III dan PB yang menimbulkan pemberontakan di wilayah Brang Wetan,” imbuhnya.

Karena berhasil memadamkan upaya pemberontakan di sejumlah wilayah Brang Wetan bersama anggota pasukan Keraton Kartasura lainnya, Darmo Menggolo mendapat hadiah tanah perdikan yang akhirnya dibangun rumah joglo tersebut.

"Di sini kakek buyut mulai babat Ngawi dengan membangun rumah dan di bagian barat tanah perdikan. Beliau juga membangun dermaga untuk perdagangan. Di sana dulu juga ada bangunan rumah,” katanya.

Kawasan tanah perdikan yang dekat dengan sungai dan merupakan jalur trasnportasi utama pada waktu itu, membuat jumlah warga yang menghuni tanah perdikan terus bertambah.

Zaman dahulu, untuk menghuni tanah perdikan warga harus mengabdi dengan menggarap sawah milik Darmo Menggolo.

Sementara di bagian utara rumah joglo saat ini masih berdiri kokoh bangunan lumbung yang terbuat dari kayu jati.

“Dulu kalau panen padi lumbung ini harus penuh dulu sebagai cadangan pangan setahun, baru setelah itu hasil panen padi dibagi kepada masyarakat. Dulu setahun panen hanya sekali,” jelas Agung.

Dalam perkembangannya, keturunan Darmo Menggolo akhirnya membagikan tanah perdikan tersebut kepada warga untuk ditempati rumah. Bahkan bangunan bekas rumah dan tanah pemakaman keluarga di kawasan Kandang Macan ahirnya juga dijadikan tempat pemakaman umum warga.

“Perkembangan zaman karena banyak penghuni kakek buyut membagikan tanah kepada warag yang menempati,” ucap Agung.

Rumah joglo yang dibangun Darmo Menggolo itu berasal dari ati kayu jati yang diperkirakan telah berusia ratusan tahun.

Bahkan ompak atau dasar dari tiang utama penyangga rumah juga berasal dari kayu jati tua, bukan batu seperti ompak pada umumnya rumah.

Belum direhabilitasi

Sejak dibangun pada tahun 1750, bangunan utama rumah belum pernah direhabilitasi. Baru kemudian pada tahun 1960, orangtua Agung terpaksa mengganti genting rumah yang dulunya terbuat dari sirap kayu jati dengan genting tanah karena sudah banyak yang lapuk.

“Usia sirapnya 210 tahun, jadi banyak yang rusak dimakan usia, oleh bapak saya diganti dengan genting pada tahun 1960,” katanya.

Agung mengungkapkan, rumah joglo yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari Bengawan Solo itu pernah terendam banjir besar setinggi hampir 2 meter pada tahun 1875 dan tahun 2007.

“Banjir tahun 1875 itu ada prasastinya di waterstand di rumah dinas rumah sakit itu setinggi 170 centimeter,” ucapnya.

Meski sempat terendam banjir besar sebanyak dua kali, namun kayu rumah joglo tidak lapuk.

Bahkan tiang utama dan dinding rumah dari kayu jati masih menimbulkan bunyi nyaring saat dipukul karena kerasnya kayu.

Hal menarik lainnya dari rumah joglo adalah lantai rumah yang dilapisi keramik yang diimpor langsung dari Belanda.

Sebagian keramik rumah joglo modelnya sama dengan keramik yang digunakan untuk lantai benteng Van Den Bosch.

Sayangnya genting atap rumah yang diganti pada tahun 1960 tersebut mulai banyak yang rusak karena diterpa cuaca.

Pada tahun 2021 lalu saat hujan deras disertai angin kencang membuat sebagian ruangan rumah joglo bocor.

“Memang sudah selayaknya gentingnya mulai diganti karena banyak yang rusak,” ucap Agung.

Namun, menurut Agung, biaya penggantian genting itu tak murah, sekitar Rp 10 juta.

"Kita tidak mampu kalau harus mengganti sendiri, biayanya cukup besar,” kata Agung.

Meski bernilai sejarah, namun belum ada keterlibatan pemeliharaan rumah oleh pemerintah daerah.

Rumah joglo itu sendiri sejak lama telah difungsikan sebagi tempat latihan seni karawitan, seni musik, lukis, tari, orkes keroncong, wayang dan sinematografi bahkan kegiatan Posyandu.

Musisi Denny Caknan juga disebut sempat latihan di rumah joglo.

"Selama ini belum ada bantuan dari pemerintah daerah untuk perawatan. Kami upayakan sendiri, kadang dapat urunan dari keluarga di Semarang atau dari Solo,” pungkas Agung.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/03/28/132739578/menengok-rumah-joglo-tertua-di-ngawi-dibangun-tahun-1750-masehi-lebih-tua

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com