Salin Artikel

Kawin Colong Suku Osing Banyuwangi, Tradisi Pria Membawa Lari Perempuan untuk Dinikahi

Setiap suku yang ada di Indonesia memiliki adat istiadat dan tradisi yang berbeda dengan suku atau daerah lain.

Salah satu adat dan tradisi itu ada pada pernikahan. Selain pernikahan adat, ada pula pernikahan atau kawin colong.

Tradisi kawin colong ini merupakan tradisi masyarakat Suku Osing yang merupakan suku asli Banyuwangi, Jawa Timur.

Pengertian Kawin Colong

Secara bahasa, colong merupakan kata dalam bahasa Jawa yang artinya maling atau mencuri.

Meski demikian, dalam konteks kawin colong tidak ada maksud pencurian atau mencuri barang seperti yang dipahami manusia.

Sebaliknya, kawin colong merupakan perbuatan seorang laki-laki yang melarikan seorang perempuan untuk dinikahi.

Sehingga, dalam kawin colong ini seorang pria membawa lari perempuan untuk dijadikan istri tanpa sepengetahuan orang tua perempuan.

Sejarah Tradisi Kawin Colong

Bagi masyarakat Suku Osing, tradisi kawin colong ini sudah dilakukan secara turun temurun dan merupakan warisan leluruh.

Dengan demikian, meski praktiknya terkesan “mencuri”, namun tradisi ini bukan sesuatu yang negatif bagi masyarakat Osing.

Bahkan, masyarakat Osing menilai tradisi kawin colong ini perlu diapresiasi dan dilestarikan eksistensinya.

Namun hingga saat ini belum ada catatan pasti yang menjelaskan kapan kawin colong mulai dipraktikkan masyarakat Osing.

Satu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa kawin colong ini terinspirasi dari perkawinan yang ada di Bali.

Selain itu, ada cerita rakyat di Osing yang berkembang terkait asal muasal tradisi kawin colong ini.

Disebutkan, ada seorang pria bernama Darmono, yang memiliki anak perempuan bernama Darwani.

Di waktu yang sama, hidup seorang janda bernama Rehana dan anak laki-lakinya bernama Nur Zaman.

Singkat cerita, Nur Zaman dan Darwani terlibat hubungan asmara. Hanya saja, hubungan keduanya tidak direstui Darmono.

Akibat tidak direstui itulah Nur Zaman dan Darwani memutuskan melakukan kawin colong.

Dalam praktiknya, pengantin laki-laki membawa pergi pengantin perempuan. Tujuannya rumah pengantin laki-laki.

Setelah itu, pihak pengantin laki-laki akan mengirim colok atau utusan, yang bertugas sebagai mediator.

Colok ini bertujuan untuk memberitahu pihak keluarga perempuan. Biasanya colok merupakan sesepuh desa yang memiliki kecakapan komunikasi.

Saat sampai di pihak perempuan, colok akan menjelaskan bahwa anak gadis mereka sudah ada di rumah pengantin laki-laki.

Berikutnya, pihak perempuan akan pergi ke rumah laki-laki untuk memastikan keberadaan anak gadisnya.

Setelah itu, kedua keluarga akan bertemu dan menentukan tanggal yang tepat untuk melangsungkan pernikahan secara resmi.

Proses berikutnya adalah ngempotaken, yaitu larangan kepada perempuan untuk keluar rumah sebelum pernikahan berlangsung.

Saat waktu yang ditetapkan tiba, kedua mempelai akan dinikahkan dalam prosesi munggah kawin.

Munggah kawin dilangsungkan layaknya prosesi pernikahan pada umumnya, dengan dihadiri keluarga, kerabat, dan tamu undangan lainnya.

Sumber:
UIN.Suka.ac.id
UM.ac.id

https://surabaya.kompas.com/read/2022/02/20/131500878/kawin-colong-suku-osing-banyuwangi-tradisi-pria-membawa-lari-perempuan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke