Salin Artikel

Peristiwa Bersejarah 14 Februari: Pemberontakan PETA terhadap Jepang

Pada tanggal tersebut terjadi pemberontakan atau perlawanan yang dilakukan tentara Pembela Tanah Air (PETA) terhadap Jepang di Blitar.

Tanggal tersebut memang bukang hari besar nasional. Namun semangat para pejuang dalam melakukan perlawanan pada tanggal itu masih terus dikenang.

Hal itu lantaran perlawanan tentara PETA di Blitar dianggap sebagai cikal bakal keberanian tentara PETA lainnya untuk melawan Jepang.

Puncaknya adalah saat peristiwa Rengasdengklok 15 Agustus 1945, ketika para pemuda mengamankan Soekarno dan Mohammad Hatta.

Dalam catatan sejarah disebutkan, Rengasdengklok dipilih karena daerah itu berada di bawah kekuasaan para tentara PETA.

Sejarah Tentara PETA

PETA atau Pembela Tanah Air merupakan pasukan sukarela bentukan Jepang.

Tujuannya adalah untuk membantuk Jepang dalam mempertahankan Jawa-Madura dari serangan sekutu.

PETA dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 oleh panglima tertinggi tentara keenambelas (Rikugun) Jepang yang berkuasa atas Jawa-Madura.

Awalnya, tentara bentukan Jepang ini hanya disebut sebagai “Tentara Sukarela”. Namun pada pertengahan tahun 1944, masyarakat lebih menyebutnya tentara Pembela Tanah Air.

Selain membentuk PETA, Jepang juga membentuk kesatuan militer bernama Heiho. Meskipun keduanya memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda.

PETA bukan bagian dari militer Jepang seperti Heiho. Selain itu, PETA juga tidak dipersiapkan untuk ditugaskan ke luar Jawa seperti Heiho.

Tentara PETA hanya disiapkan untuk mempertahankan daerah karesidenan setempat.

Struktur Organisasi PETA

Tentara PETA memiliki struktur kepangkatan layaknya organisasi militer pada umumnya.

Namun struktur kepangkatan itu diberikan berdasarkan kelas sosial dan pendidikan para anggota yang tergabung di dalamnya.

Setidaknya ada lima jenjang kepangkatan dalam PETA.

Kedua, chudanco atau komandan kompi. Pangkat ini untuk anggota yang memiliki latar belakang pengajar atau guru.

Ketiga, shodanco atau komandan peleton. Pangkat ini diberikan kepada anggota yang berpendidikan minimal sekolah menengah.

Keempat, budanco atau komandan regu. Pangkat ini diberikan kepada anggota yang berpendidikan minimal sekolah dasar.

Kelima disebut giyuhei atau prajurit. Pangkat terendah ini diberikan kepada pemuda atau anggota yang belum pernah mengenyam pendidikan.

Pemberontakan PETA di Blitar

PETA disusun berdasarkan wilayah dengan 2-5 batalion (daidan) di setiap karesidenan. Namun tiap daidan tidak terhubung satu sama lain.

Siasat tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir bahaya bagi Jepang. Setiap daidan berada di bawah komando tentara Jepang setempat.

Memasuki bulan November 1944, Jepang sudah berhasil membentuk 66 batalion atau daidan PETA di seluruh Pulau Jawa.

Hinga tanggal 1 Agustus 1945, tercatat sudah ada 35.855 anggota PETA di Jawa dan 1.626 anggota PETA di Bali.

Adapun batalion atau daidan PETA di Blitar pada 25 Desember 1943 terdiri dari empat kompi.

Pemberontakan tentara PETA di Blitar dipicu oleh kekecewaan terhadap situasi ekonomi pada saat itu.

Para anggota PETA Blitar juga prihatin dengan perlakuan kejam Jepang terhadap romusha, serta makin tertindasnya para petani.

Selain itu, di internal PETA sendiri ada kekecewaan yang disebabkan perbedaan perlakuan terhadap perwira Jepang dan Indonesia.

Salah satunya adanya kewajiban seluruh tentara PETA untuk memberi salam kepada serdadu Jepang, bahkan kepada yang berpangkat paling rendah.

Pemberontakan PETA dipelopori oleh Shodanco Supriyadi, yang merupakan lulusan pertama pelatihan anggota PETA.

Supriyadi lahir di Tulugnagung pada tanggal 13 April 1926, dengan nama kecil Priambodo. Ayahnya adalah Bupati Blitar, Darmadi.

Supriyadi dibantu oleh Shodanco Muradi dan Shodancp Suparjono.

Rencana pemberontakan melibatkan tiga budanco, yaitu Sudarmo, Sunanto, dan Halir Mangkudidjaja.

Pemberontakan sudah direncanakan sejak September 1944. Awalnya dilakukan kontak dengan daidan PETA lain seperti Tulungagung, Kediri, Malang, Lumajang, Madiun, hingga Surabaya.

Pada 13 Februari 1945, Supriyadi kembali mengumpulkan rekannya. Dia meyakinkan pemberontakan harus segera dilakukan sebelum diketahui Jepang.

Pada tengah malam tangga 13 Februari 1945, tentara PETA keluar dari markas dengan alasan latihan malam.

Pemberontakan dimulai pada pukul 03.00 tanggal 14 Februari 1945, dengan melepaskan tembakan ke arah Hotel Sakura, tempat tinggal pemimpin sipil Jepang.

Serangan juga diarahkan ke markas Kempetai, yang letaknya di samping barak Daidan Peta Blitar.

Dalam pemberontakan itu juga dilakukan pengibaran bendera merah putih di depan markas PETA Blitar yang dilakukan oleh Shodanco Partohardjono.

Konon bendera merah putih sempat berkibar selama kurang lebih dua jam sebelum diturunkan.

Pemberontakan itu langsung direspons Jepang dengan pengerahan pasukan dan perundingan.

Blitar dikepung oleh satu peleton tentara Jepang yang datang dari Kediri dan Malang. Bahkan ratusan tentara Heiho juga dikerahkan ke Blitar.

Akhirnya semua yang terlibat dalam pemberontakan dapat ditangkap dan diajukan ke pengadilan militer.

Di antara mereka ada yang diadili sebanyak 55 orang, yang terdiri dari 2 chudanco, 8 shodanco, 35 budanco, dan 12 giyuhei.

Supriyadi sebagai pelopor justru menghilang sejak kejadian. Ada yang menyebut Supriyadi gugur dalam pertempuran.

Versi lain menyebut Supriyadi berhasil lolos, sering mengunjungi rekan-rekannya bahkan sempat menemui Presiden Soekarno.

Namun yang pasti, hingga saat ini tidak pernah ditemukan keberadaan Supriyadi maupun makamnya.

Sumber:
Kompas.id
Museum Perumusan Naskah Proklamasi

https://surabaya.kompas.com/read/2022/02/14/113651478/peristiwa-bersejarah-14-februari-pemberontakan-peta-terhadap-jepang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke