Salin Artikel

Sejarah dan Asal Ludruk, Kesenian yang Jadi Media Perjuangan Melawan Penjajah

Ludruk berasal dari Jawa Timur, khususnya Surabaya. Namun ada pula yang menyebut cikal bakal Ludruk berasal dari Jombang.

Ludruk dipahami sebagai pertunjukan seni drama yang dimainkan oleh sekelompok orang, dengan iringan musik tertentu.

Cerita yang diangkat dalam pertunjukan Ludruk umumnya berkaitan dengan persoalan sosial masyarakat, kisah-kisah inspiratif yang dikemas dengan lawakan para pemainnya.

Dalam perkembangannya, Ludruk tidak hanya berfungsi sebagai hiburan rakyat, tapi juga berfungsi sebagai media perjuangan.

Melalui Ludruk, para pemain biasa melontarkan kritik secara halus kepada penguasa yang tidak berpihak pada rakyat.

Sejarah Ludruk

Seni drama Ludruk sudah dikenal masyarakat Jawa Timur, khususnya Bumi Majapahit (sekitar Mojokerto-Surabaya) sejak abad ke-12 Masehi.

Menurut Sunaryo dkk (1997), Ludruk pada abad ke-12 ini dikenal dengan nama Ludruk Bandhan.

Ludruk Bandhan digambarkan sebagai pertunjukan atau pameran kekuatan dan kekebalan. Hal ini berkaitan dengan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh para pemainnya.

Pertunjukan Ludruk Bandhan ini akan diiringi oleh alat musik kendang dan jidor, serta digelar di tanah lapang.

Pada abad ke-17 sampai 18, Ludruk Bandhan ini berkembang menjadi pertunjukan Lerok Pak Santik.

Lerok merupakan alat musik yang dipetik seperti kecapi, sementara Pak Santik merujuk pada tokoh yang memperbarui Ludruk.

Dalam pertunjukan, Pak Santik akan dirias sedemikian rupa, menggunakan ikat kepala, dan membiarkan dadanya terbuka.

Selama pertunjukan itu dia akan bercerita menumpahkan isi hatinya. Sesekali juga menirukan bunyi alat musik, dan kakinya dihentakkan hingga menimbulkan bunyi “gedrak-gedruk”.

Dari sinilah kemudian Lerok ini menjelma menjadi Ludruk, yang diambil dari bunyi hentakan kaki pemain Lerok.

Perkembangan berikutnya, Lerok ini lebih dikenal dengan nama Besutan.

Besut berasal dari bahasa Jawa yang berarti mbesut atau membersihkan kotoran, menghaluskan, atau mengulas.

Dari Besutan itu kemudian berkembang menjadi Ludruk seperti yang dikenal hingga saat ini.

Adapun perkembangan Ludruk sebagai kesenian seperti saat ini tidak lepas dari sosok yang bernama Cak Durasim.

Pada masa pendudukan Jepang, Cak Durasim memperkenalkan seni pertunjukan yang mirip dengan Besutan.

Pertunjukan Cak Durasim itu digelar di daerah Genteng Kali, Surabaya. Pertunjukan itu kemudian diberi nama Ludruk.

Setidaknya ludruk memiliki dua fungsi, yaitu primer dan sekunder. Fungsi primer Ludruk bersifat ritual, estetis, dan sebagai hiburan.

Sementara dari sisi sekunder Ludruk memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai sarana pendidikan, penebal solidaritas, menumbuhkan kebijaksanaan, dan sebagainya.

Sejak awal, Ludruk maupun nama-nama yang disematkan sebelumnya juga berfungsi sebagai alat perjuangan.

Pada masa penjajahan Beanda, Ludruk digunakan sebagai media kritik sosial kepada pemerintah Hindia Belanda.

Kritik itu disampaikan melalui parikan, atau pantun yang dikemas secara halus. Selain parikan, kritik juga disampaikan melalui guyonan yang dilontarkan para pemainnya.

Fungsi Ludruk sebagai kritik terhadap penguasa terus berlanjut pada masa Cak Durasim, saat Jepang berkuasa.

Suatu kali, Cak Durasi mengucapkan parikan yang berbunyi:

“Bekupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro”. Artinya: Bekupon rumah burung dara, ikut Nippon (Jepang) lebih sengsara.

Namun pantun atau parikan Cak Durasim ini kemudian dilaporkan oleh seorang pribumi yang menjadi mata-mata Jepang.

Jepang kemudian menangkap Cak Durasim dan menjebloskannya ke dalam penjara di Genteng Kali. Di tempat inilah Cak Durasim meninggal dunia.

Sumber:
Kompas.com
Um.ac.id
Kemdikbud.go.id
Sunaryo dkk (1997). Perkembangan Ludruk di Jawa Timur, Kajian Analisis Wacana.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/01/24/193500478/sejarah-dan-asal-ludruk-kesenian-yang-jadi-media-perjuangan-melawan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke