Salin Artikel

Tembang Macapat: Pengertian, Sejarah, Jenis, dan Makna

Secara garis besar, Macapat merupakan puisi tradisional yang disusun dengan menggunakan aturan tertentu, seperti jumlah baris, suku kata, maupun bunyi sajak di akhir baris.

Tembang Macapat umumnya disenandungkan tanpa menggunakan iringan, namun di masa sekarang Macapat diiringi alat musik tradisional.

Pengertian Macapat

Macapat adalah karya sastra Jawa yang berbentuk tembang atau puisi. Selain di Jawa, karya sejenis ini juga ditemukan di beberapa daerah seperti Bali, Madura, hingga Palembang.

Tembang Macapat diyakini muncul pada akhir masa Majapahit. Tembang ini dikenalkan oleh Wali Songo sebagai media dakwah.

Dalam kasusastraan Jawa, sebuah tembang digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu tembang cilik, tengahan, dan gedhe.

Dari penggolongan tersebut, Macapat termasuk dalam tembang cilik dan tengahan. Hal ini lantaran Macapat memiliki aturan dan gaya bahasa yang lebih mudah.

Aturan-aturan dalam membawakan Macapat disebut sebagai guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu.

Guru gatra adalah banyaknya jumlah baris (larik) dalam satu bait. Guru lagu adalah persamaan bunyi pada akhir kata setiap baris.

Sedangkan guru wilangan adalah banyaknya jumlah suku kata (wanda) setiap baris.

Sejarah Macapat

Sebagaimana disinggung sebelumnya, Macapat muncul pada akhir masa Majapahit, dan menjadi media dakwah Wali Songo.

Namun para ahli berbeda pendapat terkait awal mula kemunculan Macapat.

Ada yang berpendapat bahwa Macapat pertama kali dibuat oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Banjaran Sari dari Sigaluh pada 1279 Masehi.

Pendapat lain menyebutkan bahwa Macapat diciptakan tidak hanya oleh satu orang, namun oleh banyak orang, termasuk oleh para Wali Songo.

Beberapa pencipta Macapat yang terkenal yaitu Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan lain sebagainya.

Jenis dan Makna Macapat

Macapat memiliki jenis yang beragam yang jumlahnya 11. Masing-masing memiliki makna yang mendalam, menggambarkan perjalanan hidup manusia.

1. Macapat Maskumambang

Jenis macapat pertama adalah Maskumambang. Ini diartikan sebagai janin, karena menggambarkan awal perjalanan hidup manusia yaitu dalam bentuk janin.

Maskumambang berasal dari dua kata, yaitu mas yang berarti emas, dan kumambang yang berarti mengambang.

Artinya, maskumambang adalah sesuatu yang berharga bagi orang tua (anak) namun masih bergantung di rahim ibu (kumambang).

Karakter dalam tembang maskumambang umumnya berupa kesedihan, elas asih, dan kesusahan.

Tembang maskumambang memiliki susunan berupa I-12-i; II-6-a, III-8-i, IV-8-a.

Artinya, baris pertama 12 suku kata, bersajak i. Baris kedua 6 suku kata bersajak a. Baris ketiga 8 suku kata bersajak i. Lalu baris keempat 8 suku kata bersajak a.

2. Mijil

Macapat kedua bernama mijil, yang berasal dari kata wijil yang artinya keluar. Tembang ini menandai kelahiran janin dari rahim sang ibu.

Tembang mijil umumnya mengandung kisah welas asih, pengharapan, prihatin, dan cinta.

Wijil juga sering dijadikan media untuk menasihati dan memberikan pengajaran luhur kepada manusia.

Susunan tembang mijil berupa I-10-i, II-6-a, III-10-e, IV-10-i, V-6-i, dan VI-6-u.

3. Sinom

Sinom merupakan jenis tembang Macapat ketiga, yang menggambarkan masa muda. Sinom berarti isih enom, atau masih muda.

Tembang sinom umumnya berisi tentang keindahan masa muda. Selain juga berisi nasihat terkait pentingnya menggunakan masa muda dengan sebaik-baiknya.

4. Kinanti

Berikutnya adalah kinanti atau dalam ejaan Jawa ditulis Kinanthi, yang berarti tuntun atau bimbingan.

Tembang kinanti ini berisi tentang kehidupan seorang anak yang membutuhkan tuntunan dalam menjalani kehidupan.

Susunan tembang kinanti umumnya I-8-u; II-8-i; III8-a; IV-8-i; V-8-a; VI-8-i.

5. Asmarandana

Tembang Macapat jenis kelima adalah Asmarandana. Kata asmarandana terdiri dari dua kata, yaitu asmara yang artinya cinta dan dahana yang berarti api.

Sehingga secara harfiah asmarandana bermakna api asmara.

Tembang asmarandana ini menggambarkan perjalanan hidup manusia yang sudah mengenal cinta, bahkan dimabuk asmara karenanya.

Tembang asmaradana memiliki susunan I-8-i; II-8-a; III-8-e; IV-8-a; V-8-a; VI-8-u; VII-8-a.

6. Gambuh

Setelah dimabuk asmara, manusia akan melangkah pada jenjang kehidupan berikutnya yaitu berjodoh.

Gambuh sendiri memiliki arti cocok atau berjodoh. Dari kecocokan ini sepasang manusia akan mulai biduk rumah tanggal dalam sebuah pernikahan.

Seperti namanya, tembang gambuh menggambarkan keselarasan dan kebijaksanaan.

Tembang gambuh memiliki susunan I-7-u; II-10-u; II-12-i; III-8-u; IV-8-o.

7. Dhandhanggula

Tembang Macapat berikutnya bernama dhandhanggula. Dalam bahasa Jawa dhandhang berarti harapan, sementara gula berarti manis.

Sehingga tembang dhandhanggula bermakna berhara sesuatu yang indah, sebagai buah dari pernikahan.

Tembang dhandhanggula menjadi tembang macapat yang paling banyak barisnya yaitu 10 gatra.

Tembang dhandhanggula memiliki susunan I-10-i; II-10-a; III-8-e; IV-7-u; V-9-i; VI-8-a; VII-6-u; VIII-8-a; IX12-i; X-7-a.

8. Durma

Berikutnya adalah durma. Tembang ini berasal dari kalimat munduring tata krama, atau berkurangnya tata krama.

Tembang durma berisi tentang keburukan sifat manusia, seperti amarah, berontak, sombong, angkuh, suka mengumbar hawa nafsu, dan sebagainya.

Tembang macapat durma terdiri atas 7 baris dengan susunan I-12-a; II-7-i; III-6-a; IV-7-a; V-8-i; VI-5-a; VII-7-i.

9. Pangkur

Jenis macapat selanjutnya adalah pangkur. Kata ini berasal dari mungkur, yang artinya undur diri.

Tembang pangkur menggambarkan kondisi manusia yang semakin menua, dan mengalami kemunduran fisik.

Sebagaimana fungsinya, tembang pangkur biasanya berisi tentang nasihat kehidupan untuk menjauhi hawa nafsu dan angkara murka.

Tembang pangkur memiliki susunan I-8-a; II-11-i; III-8-u; IV-7-a; V-12-u; VI-8-a; VII-8-i.

10. Megatruh

Jenis tembang macapat yang kesepuluh adalah megatruh, yang berasal dari dua kata, yaitu megat dan ruh.

Megat berarti pisah, sedangkan ruh berarti nyawa. Sehingga megatruh menggambarkan kondisi ketika manusia meninggal dunia.

Umumnya tembang megatruh berisi nasihat agar manusia mempersiapkan diri dengan bekal untuk hidup di alam baka.

Tembang megatruh terdiri atas lima baris dengan susunan I-12-u; II-8-i; III-8-u; IV-8-i; V-8-o.

11. Pucung

Tembang macapat terakhir adalah pucung. Tembang ini berisi tentang tahap terakhir kehidupan manusia, yaitu saat dikafani dan dikuburkan.

Pucung atau pocong dimaknai sebagai orang meninggal yang sudah berada di alam kubur.

Tembang pucung umumnya menggambarkan hal lucu yang berisi tebak-tebakan untuk menghibur hati.

Meski demikian, makna yang terkandung dalam tembang pucung sangat dalam dan bijak untuk menyelaraskan kehidupan manusia, alam, lingkungan, dan Tuhan.

Tembang pucung terdiri atas 4 baris dengan susunan I-12-u; II-6-a; III-8-i; IV-12-a.

Sumber:

Buku Macapat: Tembang Jawa Indah dan Kaya Makna, Zahra Haidar (2018).

https://surabaya.kompas.com/read/2022/01/16/154947478/tembang-macapat-pengertian-sejarah-jenis-dan-makna

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com