Salin Artikel

Cerita Pemburu Kroto di Kediri, Sudah Terbiasa Digigit Rangrang demi Hidupi Istri dan Anak

Apalagi jika gigitan itu didapat sejumlah kerengga yang marah karena koloninya diserang. Bisa tak terbayang rasanya.

Namun bagi Wito (28), rasa sakit akibat gigitan hewan bernama ilmiah Oecophylla itu sudah menjadi hal biasa yang dirasakan. Karena di balik gigitan yang pedih itu, terdapat nafkah untuk menghidupi keluarganya.

Wito, warga Desa Puhasarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu selama ini berprofesi sebagai pencari kroto. Kroto adalah sebuah anak rangrang, baik berupa telur, larva, maupun pulpa.

Wito sudah berpengalaman. Jam terbang selama satu dasawarsa sebagai pencari kroto telah mengajarkannya cara mamanajemen risiko gigitan rangrang.

"Kalau digigit, ya, sudah biasa. tinggal caranya aja supaya enggak banyak yang menggigit," ujar Wito ditemui di sela mencari kroto di kawasan Bukit Maskumambang, Kota Kediri, Sabtu (15/1/2022).

Apalagi, Wito sudah terbiasa bersentuhan dengan rangrang sejak kecil. Hal itu membuatnya menjadi "kebal" dengan gigatan rangrang.

Sejak kecil, dia terbiasa hidup dengan rangrang karena Giman (60), bapaknya, juga berprofesi sebagai pencari kroto liar.

Kini seakan mengikuti jejak keluarganya, selain bapak dan dirinya, adik-adiknya juga turut berpfrofesi sebagai pencari rangrang.

Hampir setiap hari Wito melakoni pekerjaannya itu. Berangkat pagi, pulang jika dirasa hari cukup sore.

Berkelana dari kebun ke kebun sekitar rumah hingga ke luar daerah. Bahkan tak jarang pula dia melakoninya sampai ke hutan di Kabupaten Trenggalek hingga Kabupaten Caruban.

Galah sepanjang delapan meter terbuat dari bambu adalah alat utamanya. Pada ujung galah itu tertambat kantong kerucut sebagai wadah krotonya.

Galah itu digunakan untuk menjangkau sarang rangrang hingga ke pucuk pohon.

Bagian ujung galah yang lancip itu ditusukkannya ke sarang rangrang, dikoyak, lalu digoyang-goyang agar kroto terjatuh dan masuk ke kantong kerucut.

Sepanjang menyusuri kebun hingga hutan, tidak sedikit tantangan yang dihadapinya. Mulai dari badan gatal-gatal kena ulat bulu, bertemu ular kobra, hingga kawanan monyet.

"Tapi Alhamdulillah tidak sampai ada gangguan yang berarti. Yang penting waspada dan hati-hati," ujar laki-laki lulusan sekolah dasar itu.


Penghasilan

Kroto mempunyai nilai ekonomi tinggi. Keberadaannya yang kaya dengan protein itu banyak digunakan untuk pakan tambahan burung berkicau hingga umpan pancing.

Kroto yang didapatnya itu dijual ke pengepul. Setiap satu kilogram kroto bisa laku seharga Rp 170.000.

Harganya memang cukup mahal karena kroto banyak dibutuhkan, tetapi ketersediaannya terbatas.

Selama melakoni profesinya itu, Wito pernah mendapatkan hingga delapan kilogram kroto. Jika mendapat banyak kroto, uang yang dikantonginya tentu turut meningkat.

"Dulu waktu di Trenggalek dapat enam kilo, di Caruban dapat delapan kilo," jelas Wito.

Namun, mengingat profesinya itu sepenuhnya bergantung kepada alam, hasil yang didapat tidak menentu. Wito harus bergantung kepada faktor keberuntungan.

"Sering juga seharian cuman dapat hasil ukuran ons saja," kata Wito.

Meski begitu, Wito mensyukuri berapa pun jumlah kroto yang didapat. Dari usahanya itu, Wito bisa menghidupi istri dan tiga anaknya.

"Anak saya yang pertama kelas 4 SD," lanjutnya.

Ia juga memiliki tabungan yang disisihkan dari usaha mencari kroto tersebut. Bahkan, jika mencari kroto tak menghasilkan, ia masih bisa menjalankan usaha sampingannya, jasa panggilan pemotongan pohon.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/01/16/071914378/cerita-pemburu-kroto-di-kediri-sudah-terbiasa-digigit-rangrang-demi-hidupi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke