SURABAYA, KOMPAS.com - International Monetary Fund (IMF) mengumumkan bahwa Indonesia mengalami tingkat pengangguran tertinggi pada 2024 di antara enam negara Asia Tenggara.
Laporan tersebut merujuk pada World Economic Outlook yang dirilis pada April 2024.
Data dari IMF menunjukkan bahwa tingkat pengangguran (unemployment rate) dihitung berdasarkan persentase angkatan kerja atau penduduk berusia 15 tahun ke atas yang aktif mencari pekerjaan.
Persentase ini tidak mencakup individu yang tidak mencari pekerjaan, seperti mahasiswa, ibu rumah tangga, dan lainnya.
Tingginya angka pengangguran di Indonesia memunculkan pertanyaan mengenai penyebabnya.
Baca juga: Laporan IMF: Indonesia Nomor 1 Tingkat Pengangguran Tertinggi di ASEAN
Prof Dr Imron Mawardi SP MSi, guru besar Investasi dan Keuangan Universitas Airlangga (Unair), menjelaskan bahwa banyak industri, terutama perusahaan manufaktur, beralih ke teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI).
Langkah tersebut sangat berkontribusi pada peningkatan pengangguran.
"Contohnya, customer service di bank atau perusahaan asuransi kini banyak yang menggunakan robot atau AI, sementara industri rokok juga beralih ke teknologi untuk meningkatkan produksi," ujar Imron pada Jumat (2/5/2025).
Meskipun transisi ini menciptakan sejumlah lapangan pekerjaan baru, seperti content creator dan graphic designer, tantangan tetap ada.
"Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 279,96 juta orang, baik yang bekerja maupun tidak, tidak sebanding dengan pertumbuhan lapangan kerja," tambahnya.
Imron juga mencatat tingginya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.
Baca juga: IMF Ramal Pengangguran RI Naik, Ekonomi Tumbuh 4,7 Persen pada 2025
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan bahwa lebih dari 18.000 pekerja di-PHK dalam dua bulan pertama tahun 2025.
"Perlambatan ekonomi global juga semakin menambah beban angka pengangguran," tuturnya.
Saat ini, 64 persen dari total pengangguran di Indonesia adalah laki-laki, sementara perempuan menyumbang 36 persen.
Menurut Imron, hal ini dipengaruhi oleh budaya di mana laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama, sehingga banyak perempuan tidak dihitung sebagai angkatan kerja.