LUMAJANG, KOMPAS.com - Warga Dusun Pusung Duwur, Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, ternyata bebas keluar masuk kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
Di hutan yang berada di Blok Pusung Duwur, Resort Pengelolaan Taman Nasional wilayah Senduro dan Gucialit, ditemukan 59 lokasi ladang ganja dengan total luasan sekitar 6.000 meter persegi atau 0,6 hektar.
Ada 6 orang yang sudah menjadi terdakwa dalam kasus ladang ganja itu. Satu orang lainnya masih buron.
Baca juga: Ladang Ganja di Hutan Konservasi Gunung Semeru Seluas 6.000 Meter Persegi, Tersebar di 59 Titik
Semuanya merupakan warga asli Dusun Pusung Duwur.
Tiga terdakwa yang sedang menjalani persidangan, Tomo, Tono, dan Bambang, mengaku bahwa warga Pusung Duwur bebas keluar masuk hutan.
Padahal, masyarakat umum seharusnya perlu memiliki surat izin untuk masuk kawasan konservasi.
"Banyak warga yang masuk hutan, tidak ada larangan," kata ketiga terdakwa kepada majelis hakim dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Lumajang pada Selasa (18/3/2025).
Baca juga: Sidang Kasus Ladang Ganja Gunung Semeru, Hakim Perintahkan Gambar DPO Edi Disebar
Bambang menerangkan, di sekitar kawasan hutan juga tidak ada rambu larangan masuk yang terpasang.
Sebagai informasi, lokasi permukiman warga dengan kawasan hutan konservasi jaraknya sekitar 2 kilometer.
Dari pemukiman menuju ke kawasan hutan, terlebih dahulu melewati lahan pertanian warga. Setelahnya, baru masuk kawasan hutan.
"Tidak ada rambu larangan," terangnya.
Bambang juga mengaku, selama ini tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari TNBTS dan juga desa tentang kawasan hutan konservasi yang tidak boleh sembarang dimasuki orang maupun tanaman yang dilarang untuk ditanam.
"Tidak pernah ada sosialisasi," tegasnya.
Bambang menambahkan, selama ia melakukan aktivitas penanaman ganja di lereng Gunung Semeru, tidak pernah bertemu polisi hutan sama sekali.
Selain itu, tidak ada pintu masuk dari permukiman warga menuju hutan konservasi.
"Tidak pernah (bertemu polisi hutan) yang mulia, tidak ada (pintu masuk)," tutupnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang