MAGETAN, KOMPAS.com - Muhammad Hasan Nurdin (6), warga Desa Sidowayah, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, tak bisa leluasa bermain seperti anak pada umumnya.
Bahkan untuk mengasuh Hasan, orangtuanya, Eko juga harus berhati-hati karena anaknya sangat rentan terhadap retak dan patah tulang akibat osteogenesis imperfecta.
Osteogenesis imperfecta (OI) adalah penyakit genetik langka di mana kondisi ini ditandai dengan tulang yang rapuh dan lemah, sehingga mudah patah.
Ditemui di rumahnya, Eko mengaku anaknya menderita OI sejak lahir dan rawan mengalami patah tulang. Bahkan ketika bermain terantuk sesuatu dipastikan akan terjadi retak ataupun patah tulang.
"Terdeteksi sejak lahir kalau anak saya kena OI, tulangnya rapuh mudah patah," ujarnya Rabu (22/5/2024).
Baca juga: Perjuangan Bocah di Kediri Rawat Ayah Ibunya yang Stroke, Terpaksa Berhenti Sekolah
Seminggu lalu kaki kanan Hasan retak saat tersenggol oleh adiknya ketika bermain bersama. Eko mengaku mengetahui kaki anaknya retak saat Hasan rewel dan saat dipegang kakinya dia menangis.
”Biasanya ceria tapi seminggu lalu rewel, saat dipegang kakinya nangis. Akhirnya diperiksa ternyata kakinya retak," imbuhnya.
Tak hanya kaki, namun risiko retak maupun patah tulang sering terjadi pada bagian tangan Hasan. Tahun lalu tangan kanan Hasan juga patah karena terantuk dan seminggu kemudian tangan kirinya juga mengalami retak tulang. Bahkan dokter harus memasang pen pada tangan kirinya.
"Tahun lalu tangan kiri retak, seminggu kemudian tangan kanan yang retak, setelah diperiksa ternyata harus dipasang pen karena tulangnya melengkung. Saat ini tangannya masih dipen," jelas Eko.
Eko mengaku untuk pengobatan Hasan harus dibawa ke Solo, Jawa Tengah, karena sejak kelainan dengan Osteogenesis imperfecta diketahui, dokter rujukannya adalah rumah sakit Moewardi Solo yang memiliki dokter terkait hal tersebut.
Untuk pengobatan, Hasan harus menjalani terapi 6 bulan sekali jika tidak ada tulang yang retak ataupun patah.
"Sejak diketahui menderita OI langsung dirujuk ke Solo dari Magetan. Kalau rutinnya itu 6 bulan harus ke Solo untuk terapi," ucapnya.
Untuk melakukan semua upaya pengobatan, Eko mengaku menggunakan BPJS mandiri dengan cara menyisihkan penghasilannya dari berjualan pentol.
Meski dari keluarga kurang mampu, namun nama Eko belum tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Selama ini dari umur satubtahun menggunakan BPJS mandiri. Iurannya Rp 70.000 setiap bulan dari menyisihkan penghasilan jualan pentol," terangnya.