Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembantaian Mereka yang Dituding Dukun Santet di Banyuwangi, Keluarga Korban: Ada Tanda Silang dan Bapak Dibunuh

Kompas.com - 22/05/2023, 14:54 WIB
Pythag Kurniati

Editor

BANYUWANGI, KOMPAS.com- Lebih dari 20 tahun silam, sedikitnya 250 orang yang dituduh dukun santet di Banyuwangi dan beberapa kota di Jawa Timur, diburu dan dibantai secara 'sistematis' dan 'meluas'.

Keluarga korban masih dihantui trauma dan stigma di tengah janji pemerintah untuk memulihkannya.

Tragedi itu terjadi antara Februari 1998 hingga Oktober 1999, ketika Indonesia mulai dihantam krisis ekonomi dan politik yang ditandai merebaknya kerusuhan sosial dan jatuhnya Suharto dari kursi presiden.

Baca juga: 25 Tahun Hilangnya Sang Aktivis 1998, Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah

Awalnya yang menjadi sasaran pembunuhan adalah orang-orang yang dituduh memiliki ilmu hitam untuk tujuan tidak baik-disederhanakan sebagai dukun santet oleh warga setempat dan sebagian masyarakat.

Dan ketika jumlah orang-orang tidak bersalah yang dihabisi terus bertambah, sasaran pun meluas. Tak hanya orang-orang yang dituding dukun santet saja.

Orang-orang yang disebut sebagai guru agama, pengidap gangguan mental, serta orang-orang sipil biasa, ikut dibunuh dengan kejam.

Teror pembantaian yang diawali di Banyuwangi lalu menyebar ke Jember, Bondowoso, Situbondo, Pasuruan, Malang, hingga Pulau Madura.

Baca juga: Partai Garuda Akhirnya Bisa Ikut Pileg 2024 di Banyuwangi, Ketua DPC Datang ke KPU Sendirian

Ketakutan, ketegangan, kepanikan, dan saling curiga yang makin meluas di masyarakat, melahirkan berbagai isu menyeramkan, demikian berbagai laporan media kala itu.

Pemberitaan media massa saat itu menyebut kehadiran para terduga pelaku yang digambarkan 'terlatih', 'bergerak cepat', 'dapat menghilang', serta mirip 'ninja'.

Dan, ketika gonjang-ganjing politik di tingkat nasional belum sepenuhnya normal, sebagian tersangka pelaku pembunuhan di lapangan, terutama di wilayah Banyuwangi, diadili dan dijatuhi hukuman pidana.

Namun upaya hukum ini disebut tidak menyentuh teka-teki yang menjadi pertanyaan di masyarakat, yaitu siapa aktor utama di baliknya.

Suara-suara yang menuntut agar motif besar di balik teror rentetan pembunuhan ini diselidiki terus disuarakan, tapi agaknya terhambat kendala politik dan teknis hukum.

Baca juga: Ayah Aktivis 98 Petrus Bima Anugrah: Kalau Dia Dipanggil Tuhan, Selamat Jalan Anakku...

Dihadapkan teka-teki tak terjawab itulah, barulah pada 2015, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) — sesuai amanat UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM — memulai melakukan penyelidikan atas kasus kekerasan ini.

Komnas HAM, dalam kesimpulan penyelidikannya, menyatakan ada terduga aktor yang melakukan propaganda, penggalangan untuk menggerakkan massa untuk membunuh.

Mereka juga menemukan adanya pola. Diawali prakondisi, terungkap adanya 'pendataan' yang menghasilkan 'daftar nama', sehingga membuat eskalasi dan keresahan masyarakat.

Pada 2019, hasil penyelidikan Komnas HAM ini diserahkan ke Kejaksaan Agung agar ditindaklanjuti, tetapi tidak pernah ditindaklanjuti dengan berbagai alasan — misalnya, kelemahan bukti-bukti dan saksi.

Sebelumnya, tidak lama setelah kejadian, Tim investigasi Nahdlatul Ulama (NU) cabang Banyuwangi juga mengumumkan hasil penyelidikannya yang menyimpulkan adanya dugaan keterlibatan aparat keamanan.

Walaupun ada gelombang desakan dari berbagai kalangan agar peristiwa itu diungkap, barulah pada awal 2023, pemerintah menawarkan penyelesaian secara non-yudisial — walau tidak menutup proses penyelesaian secara yudisial.

Baca juga: Jalur Gumitir Jember-Banyuwangi Ditutup Total karena Ada Evakuasi Truk Masuk Jurang

Pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo — atas nama negara — mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kejadian kekerasan di Banyuwangi dan sekitarnya itu.

Sikap pemerintah ini menindaklanjuti laporan Tim Penyelesaian Non yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat Masa Lalu —yang sebelumnya dibentuk Presiden Jokowi melalui Keppres No.17 Tahun 2022.

Pemerintah kemudian berjanji menyelesaikan secara non-yudisial kasus-kasus itu, antara lain, dengan merehabilitasi dan memulihkan korban dan keluarganya.

Sampai awal Mei 2023, janji pemerintah itu belum menemukan bentuk kongkritnya, kecuali menyatakan bahwa kebijakan itu akan resmi diluncurkan pada Juni 2023.

Bagaimana reaksi dan tanggapan keluarga korban yang anggota keluarganya dulu dibunuh karena dituduh sebagai dukun santet atas kebijakan pemerintah itu?

Apa yang mereka saksikan, dan bagaimana mereka melalui tragedi itu selama lebih dari 20 tahun?

Wartawan di Banyuwangi, Ahmad Shulhan Hadi, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, menemui dan mewawancarai dua orang dari keluarga korban pembunuhan dukun santet 1998-1999.

Shulhan juga mewawancarai seseorang yang dulu terlibat tim investigasi Nahdlatul Ulama (NU) Banyuwangi dalam menyelidiki tragedi ini.

"Pulihkan nama baik ayah"

Ilustrasi pembunuhan, kriminal, sadismeShutterstock Ilustrasi pembunuhan, kriminal, sadisme

Di teras rumah adiknya yang bersebelahan dengan rumah orang tuanya, Sari — bukan nama sebenarnya — untuk pertama kalinya membuka kepada publik tentang peristiwa kelam yang menimpa ayahnya.

Kondisi rumah orang tuanya tak banyak berubah dalam 20 tahun terakhir, termasuk hamparan kebun di depan bangunan rumah, tempat ayahnya dulu dibunuh secara keji.

Satu-satunya yang berbeda, di lokasi itu kini tumbuh lebat semak-semak. Pohon kelapa yang menjulang tinggi juga semakin banyak.

"Di situ, kepala ayah saya [ditemukan] hancur," Sari menggambarkan kondisi ayahnya ketika ditemukan dalam kondisi sudah tidak bernyawa. Suaranya terdengar lirih.

Semula tidak gampang untuk meyakinkan keluarga Sari untuk mengisahkan ulang peristiwa kematian ayahnya.

Baca juga: Pamit Cari Rumput, Kakek di Banyuwangi Hilang Sejak 7 Hari Lalu

Sari dan saudara-saudaranya sempat berbeda pendapat. Mereka khawatir pengungkapan peristiwa pahit itu hanya membuka luka lama yang sudah mereka pendam dalam-dalam.

Alasan lainnya, jika itu dibuka lagi, akan mengusik apa yang mereka sebut sebagai kedamaian yang sudah mereka rajut.

Namun Sari, salah satu anak korban, akhirnya mau membuka diri. Asal saja, identitasnya tidak diungkap.

Dia lalu membuka cerita kelam itu. Saat kejadian dia tinggal di rumah salah satu kerabatnya di luar Jawa.

Sang Ibu yang kemudian mengisahkan ulang apa yang terjadi pada malam itu kepadanya.

Di malam jahanam itu, hanya ada ayah dan ibu serta adiknya di rumah. Mereka tinggal di salah-satu desa di Banyuwangi, Jawa Timur.

Tidak berusaha mengingat lagi kapan tanggal kejadiannya, menurut cerita ibunya, ayahnya dibunuh sekitar pukul 10 malam.

"Saat itu ayah habis salat isya berjamaah di rumah," ungkapnya. Usai salat, sang ibu menyiapkan sayur mayur yang akan dijual keesokan harinya di pasar.

Baca juga: Pesisir Muncar Banyuwangi Dipenuhi Sampah Kiriman

Namun malam itu listrik di rumah tiba-tiba padam. Ayahnya pun keluar rumah untuk mengecek meteran listrik yang dititipkan di rumah tetangga.

Kejadian mati lampu ini berlangsung tiga kali. Dan malam itu, ibunya melihat ada keanehan.

Ada seorang pria berdiri di kebun di dekat rumahnya saat ayahnya menghidupkan meteran.

"Ibu sempat curiga, orang itu lalu ditanya dan dia bilang sedang mencari ayam, ternyata ngasih tanda silang," ungkap Sari.

Ketika menjelaskan hal itu, Sari menunjuk satu pohon kelapa yang terdapat bekas goresan tanda silang yang mulai memudar.

Belakangan hasil penyelidikan Komnas HAM menyebut tanda silang itu merupakan lokasi kediaman orang yang harus dihabisi.

Kecurigaan itu terjawab ketika lampu padam ketiga kalinya. Ketika ayahnya hendak menghidupkan lampu, dia dikeroyok oleh sejumlah orang. Lalu terdengar jeritan dan teriakan.

Dari dalam rumah, ibu Sari mendengar ayahnya menanyakan identitas pelaku. Tapi lantaran dicekam ketakutan luar biasa, ibu dan adiknya memilih tidak keluar dari rumah.

Keesokan harinya, jasad sang ayah ditemukan meninggal dunia dan tergeletak dalam kondisi mengenaskan di kebun.

"Ibu kami tidak berani keluar rumah sampai pagi hari, panik, kakinya lemas," ungkap Sari.

Baca juga: Kronologi Bocah 8 Tahun Disika Ayah Tiri di Banyuwangi, Alami Luka di Kepala hingga Dioles Minyak Rem

Peristiwa keji ini membuat sang ibu dan anak-anaknya syok, marah dan larut dalam kesedihan mendalam.

Mereka tidak tahu alasan kenapa ayahnya dibunuh, sampai akhirnya ada informasi yang menyebut bahwa ayahnya adalah sosok dukun santet yang harus dihabisi.

Tuduhan itu sangat menyakitkan bagi Sari dan keluarga. Meski bukan istilah baru, cap seperti itu sangat asing bagi keluarga maupun lingkungannya.

"Sebelum ayah meninggal, tidak ada sebutan itu [dukun] santet," jelasnya. Sari menyebut almarhum rajin beribadah dan baik hati.

Tapi fitnah terhadap ayahnya itu terus dihidup-hidupkan, seolah-olah dia layak dibunuh karena cap sebagai tukang santet. Inilah yang membuat Sari geram — sampai sekarang.

Dari cerita ibunya, hanya ada satu perseteruan mendiang ayahnya dengan temannya yang terjadi di masjid. Namun itu sama sekali tak terkait santet.

Dia menyebut ayahnya cukup agamis untuk ukuran orang-orang desa kebanyakan. "Bapakku ini pengurus Nahdlatul Ulama (NU)," kata Sari.

Sepengetahuannya, sehari-hari ayahnya tidak menunjukkan kebiasaan aneh yang mengarah sebagai apa yang disebut sebagai 'tukang santet'.

Rumahnya, yang berjarak tak jauh dari masjid, juga bebas dimasuki teman-teman sebayanya, katanya.

Apabila orang tuanya memiliki ilmu hitam, tentu ada bagian di dalam rumah yang dirahasiakan, dan tidak semua orang boleh masuk, ia mengemukakan logika.

Baca juga: Pembunuhan Ita Martadinata, Pukulan Telak yang Bungkam Korban Pemerkosaan Mei 1998

Setelah dua dekade berlalu, apa yang melatari peristiwa pembunuhan ayahnya masih menyisakan trauma, karena tuduhan yang diarahkan kepada mendiang ayahnya itu.

Sari dan keluarganya mengaku stigma cap dukun santet itu tak kunjung hilang.

Inilah yang memupuk rasa sakit yang tak kunjung sembuh, walau dia dan saudara-saudaranya berusaha untuk mengenyahkannya.

Dari cerita ibunya, sejak pembunuhan sadis ayahnya, kondisi keluarga berubah drastis. Rasa sedih, marah, rendah diri dan kecewa pun berkecamuk menjadi satu selama bertahun-tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prakiraan Cuaca Tulungagung Hari Ini Jumat 29 Maret 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Berawan

Prakiraan Cuaca Tulungagung Hari Ini Jumat 29 Maret 2024, dan Besok : Tengah Malam ini Berawan

Surabaya
Perselingkuhan Istri Kades dengan Sekdes di Tuban yang Berujung Maut

Perselingkuhan Istri Kades dengan Sekdes di Tuban yang Berujung Maut

Surabaya
Paskah, Gereja Katolik Katedral Surabaya Siapkan Kuota 5.000 Jemaat

Paskah, Gereja Katolik Katedral Surabaya Siapkan Kuota 5.000 Jemaat

Surabaya
Penyebab Sekjen PDI-P Hasto Dilaporkan ke Polresta Banyuwangi

Penyebab Sekjen PDI-P Hasto Dilaporkan ke Polresta Banyuwangi

Surabaya
Jadwal dan Lokasi Penukaran Uang Baru di Lamongan untuk Lebaran 2024

Jadwal dan Lokasi Penukaran Uang Baru di Lamongan untuk Lebaran 2024

Surabaya
Gunung Semeru Luncurkan Awan Panas, Warga Diminta Tak Beraktivitas di Besuk Kobokan

Gunung Semeru Luncurkan Awan Panas, Warga Diminta Tak Beraktivitas di Besuk Kobokan

Surabaya
Pakar Pendidikan Nilai Kampus Sebenarnya Bisa Antisipasi TPPO Modus 'Ferienjob'

Pakar Pendidikan Nilai Kampus Sebenarnya Bisa Antisipasi TPPO Modus "Ferienjob"

Surabaya
Jadwal dan Lokasi Penukaran Uang Baru di Mojokerto untuk Lebaran 2024

Jadwal dan Lokasi Penukaran Uang Baru di Mojokerto untuk Lebaran 2024

Surabaya
Kasus Pembunuhan Sekdes di Tuban, dalam Sidang, Istri Pelaku Akui Selingkuh dengan Korban

Kasus Pembunuhan Sekdes di Tuban, dalam Sidang, Istri Pelaku Akui Selingkuh dengan Korban

Surabaya
Harga Daging Sapi di Banyuwangi Stabil Jelang Lebaran 2024

Harga Daging Sapi di Banyuwangi Stabil Jelang Lebaran 2024

Surabaya
Polisi Trenggalek Sita Pikap Ronda Sahur dan Akan Kembalikan usai Lebaran

Polisi Trenggalek Sita Pikap Ronda Sahur dan Akan Kembalikan usai Lebaran

Surabaya
Stigma Ganda Ibu Tunggal di Balik Kisah Pemuda Autis Sendirian Temani Jasad Ibunda Berhari-hari

Stigma Ganda Ibu Tunggal di Balik Kisah Pemuda Autis Sendirian Temani Jasad Ibunda Berhari-hari

Surabaya
Ribuan Warga di Malang Antre Tukar Uang, Ada yang dari Pukul 4 Subuh

Ribuan Warga di Malang Antre Tukar Uang, Ada yang dari Pukul 4 Subuh

Surabaya
Produksi Beras di Madiun Meningkat, Triwulan Pertama Capai 41.815 Ton

Produksi Beras di Madiun Meningkat, Triwulan Pertama Capai 41.815 Ton

Surabaya
Titik Rawan Macet 38 Kabupaten Kota di Jatim 2024 Versi Polda

Titik Rawan Macet 38 Kabupaten Kota di Jatim 2024 Versi Polda

Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com