Namun hal itu tidak dibarengi dengan adanya jaminan keselamatan baginya dan sejumlah kuli angkut lainnya.
"Asuransi tidak ada, BPJS juga tidak ada. Ya kalau sakit biaya sendiri. Harapan kita semua para penambang ya ada itu (jaminan kesehatan). Tapi ya gimana lagi," kata Hasan pasrah.
Selain menjadi kuli angkut wisatawan, Hasan harus naik-turun Gunung Ijen untuk menambang belerang. Hal dilakoninya demi menghidupi keluarganya.
"Berat, saya mulai menambang sekitar tahun 1985 lalu," kata dia.
Hasan bercerita, awal menjadi seorang penambang belerang karena mengikuti jejak sang ayah. Saat itu usianya baru 19 tahun.
Suami dari Amsiyah (45) ini, bisa dibilang paling senior dari para penambang belerang lain yang berada di Kawah Gunung Ijen.
"Karena saat itu ikut-ikutan. Dan juga tidak ada pekerjaan lain selain berkebun dan menambang belerang," ungkap Hasan.
Baca juga: Wisata Kawah Ijen Tak Terdampak Banjir Bandang Bondowoso
"Kan langsung dijual kepada pengepul di pabrik. Jadi langsung dapat uang," ujar Hasan.
Alasan lainnya, kata Hasan, saat itu di wilayah sekitar tempat tinggalnya hampir seratus persen berprofesi sebagai penambang.
"Tetangga sekitar, tetangga desa hampir semuanya jadi penambang dulu. Ya daripada tidak ada pekerjaan, ya lebih baik cari lirang (belerang dalam bahasa suku using)," jelas Hasan.
Hasan mengatakan, pada awal dirinya mencari belerang, ada sekitar 400-an orang yang menjadi penambang.
"Banyak dulu, ada 400 lebih yang ikut nambang. Mulai usia muda sampai tua ada," ungkap Hasan.
Rupanya, pengalaman pertama menjadi seorang penambang, tak semudah yang dibayangkan.
Hasan muda harus bersusah payah mendaki dan menuruni Kawah Gunung Ijen dengan rute terjal setiap dua hari sekali.
Berangkat dari rumah mulai jam 22.00 WIB dan baru kembali pulang dengan membawa belerang, jam 17.00 WIB pada esok harinya.
"Sehari nambang, sehari istirahat. Enggak kuat kita kalau setiap hari," kata Hasan.
Tak hanya itu Hasan harus membawa beban belerang yang tak main-main di jalur membahayakan. Sekali angkut, bisa 100 kilogram.
"Itu kita lakukan dengan jalan kaki. Kurang lebih sejauh 17 kilometer. Dari kawah sampai pos bawah. Jalannya dulu ya enggak sebagus sekarang. Dulu belum diaspal," ucapnya.
Baca juga: Penambang Belerang di Kawah Ijen Banyuwangi Nekat Beraktivitas meski Status Waspada