"Berat kerja seperti ini. Minimal ikan yang dibawa 10 ton paling banyak 60 ton. Ya kita berdelapan ini yang angkut ke pabrik," kata Sudar.
"Kalau ditanya jam berapa kerja ya ngikutin kapal siap. Ini kita nunggu perintah buat angkut balok es untuk dimasukkan ke kapal," ungkap dia.
Selain sebagai pengisi, Sudar mengaku juga bekerja sebagai buruh tani serta mengelola tanahnya sendiri yang tak seberapa luas.
"Ya di pelabuhan ya cangkul-cangkul. Semoga enggak sakit lagi," kata dia sambil tertawa.
Baca juga: Cuaca Ekstrem, Perahu Nelayan Muncar Banyuwangi Tenggelam Dihantam Gelombang
Salah satu buruh angkut yang menjadi pengisi adalah Kelvin (22). Di usianya yang masih relatif muda, ia mengaku sudah dua tahun ikut menjadi pengisi di Pelabuhan Muncar bersama Sudar serta rekan-rekannya di kapal BS.
Kelvin bercerita, sebelum menjadi buruh angkut, ia pernah bekerja sebagai penjaga kafe selama enam bulan.
Namun ia mengaku tak betah dan memilik menjadi buruh angkut di Pelabuhan Muncar.
"Pas kerja di kafe rasanya enggak punya teman, Individualis. Kalau di sini kan kekerabatannya kental. Kumpul dan kerja bareng," kata pria lulusan SMK di Muncar.
Ia mengaku tak malu dengan pekerjaan sebagai buruh angkut pengisi di Pelabuhan Muncar.
"Yang penting kan halal. Kenapa harus malu," ungkap dia.
Baca juga: Pelabuhan Muncar Banyuwangi, Salah Satu Penghasil Ikan Terbesar di Indonesia
Di sela-sela pekerjaannya, ia juga menyempatkan diri mengantar sang istri yang baru ia nikahi setahun terakhir untuk menyanyi di hajatan.
"Istri kan penyanyi. Kalau kerja gini saya masih bisa sempatkan waktu mengantar kalau sore atau malam hari. Jadi uang dari saya dan dia bisa ditabung," ungkap dia.
Seperti seniornya, Sudar, Kevin mengaku juga memiliki pekerjaan lain sebagai mengelola sawah miliknya.
"Mumpung masih muda, ya kerja yang ada dan halal," ungkap dia.
Sementara itu, Eko (29), yang menjadi anggota kelompok buruh angkut bersama Kelvin dan Sudar bercerita ada momentum yang sangat ia ingat selama bekerja sebagai buruh angkut pengisi.