Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Penambang Belerang di Kawah Ijen, Menantang Bahaya demi Uang yang Tak Seberapa

Kompas.com - 14/03/2023, 07:02 WIB
Rizki Alfian Restiawan,
Andi Hartik

Tim Redaksi

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Siapa yang tak kenal dengan Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Gunung Ijen Banyuwangi, Jawa Timur.

Selain dikenal dengan keindahan matahari terbitnya, gunung ini juga dikenal memiliki kawah terasam di dunia karena mengandung zat sulfur atau belerang.

Namun, di balik keindahan itu, Kawah Ijen menyimpan cerita perjuangan para penambang belerang yang luar biasa.

Baca juga: Jatuh ke Sublimasi Belerang di Kawah Ijen, Penambang Tewas Terbakar

Salah satunya adalah penambang belerang bernama Hasan (57) asal Desa Tamansari, Kecamatan Licin, Banyuwangi.

Bapak satu anak ini mengaku sudah 38 tahun terjun sebagai seorang penambang belerang.

Hasan harus naik-turun Gunung Ijen yang memiliki ketinggian 2.386 meter di atas permukaan laut.

Baca juga: Kisah Tohari, Penambang Belerang yang Tewas di Kawah Gunung Ijen, Terpeleset Saat Hindari Kepulan Asap

Meski berat, namun dirinya tetap harus bekerja demi menghidupi keluarganya.

"Berat, saya mulai menambang sekitar tahun 1985 lalu," kata Hasan kepada Kompas.com, Senin (13/3/2023).

Hasan bercerita, awal menjadi seorang penambang belerang karena mengikuti jejak sang ayah. Saat itu usianya baru 19 tahun.

Suami dari Amsiyah (45) ini bisa dibilang paling senior dari para penambang belerang lain yang berada di kawah Gunung Ijen. Maklum karena sudah 38 tahun.

"Karena saat itu ikut-ikutan. Dan juga tidak ada pekerjaan lain selain berkebun dan menambang belerang," ungkap Hasan.

Karena menurut Hasan, saat itu pekerjaan yang paling gampang mendapatkan hasil langsung adalah dengan menambang belerang.

"Kan langsung dijual kepada pengepul di pabrik. Jadi langsung dapat uang mas," ujar Hasan.

Hasan (57), warga Desa Tamansari, Kecamatan Licin, Banyuwangi, saat ditemui di rumahnya, Senin (13/3/2023). Hasan merupakan penambang belerang di kawah IjenKOMPAS.com/Rizki Alfian Hasan (57), warga Desa Tamansari, Kecamatan Licin, Banyuwangi, saat ditemui di rumahnya, Senin (13/3/2023). Hasan merupakan penambang belerang di kawah Ijen
Alasan lainnya, kata Hasan, saat itu di wilayah sekitar tempat tinggalnya hampir 100 persen bekerja sebagai penambang.

"Tetangga sekitar, tetangga desa hampir semuanya jadi penambang dulu. Ya daripada tidak ada pekerjaan, ya lebih baik cari lirang (belerang dalam bahasa suku using)," jelas Hasan.

Hasan mengatakan, pada awal dirinya mencari belerang, ada sekitar 400 orang yang menjadi penambang.

"Banyak dulu, ada 400 lebih yang ikut nambang. Mulai usia muda sampai tua ada," ungkap Hasan.

Baca juga: Aksi Turis Rusia Nyalakan Flare di Ijen, Disebut Tak Pakai Jasa Pemandu Lokal dan Di-blacklist

Rupanya, pengalaman pertama menjadi seorang penambang, tak semudah yang dibayangkan.

Hasan muda harus bersusah payah mendaki dan menuruni Gunung Ijen dengan rute terjal setiap dua hari sekali.

Tangkapan layar penambang di Kawah Ijen (Kompas.com/Rizki Alfian Restiawan) Tangkapan layar penambang di Kawah Ijen

Berangkat dari rumah mulai jam 10 malam. Dan, baru kembali pulang dengan membawa belerang, jam 5 sore pada esok harinya.

"Sehari nambang, sehari istirahat. Gak kuat kita kalau setiap hari," kata Hasan.

Baca juga: Penambang Belerang di Kawah Ijen Banyuwangi Nekat Beraktivitas meski Status Waspada

Dengan beban belerang yang dibawa tentu tak main-main. Sekali angkut, saat itu Hasan muda bisa 100 kilogram.

"Itu kita lakukan dengan jalan kaki. Kurang lebih sejauh 17 kilometer. Dari kawah sampai pos bawah. Jalannya dulu ya enggak sebagus sekarang. Dulu belum diaspal," ucapnya.

Hasan bercerita, selama menambang belerang, banyak suka duka yang seringkali ia rasakan.

"Kalau jatuh atau terpeleset ya itu sudah risiko. Pernah dulu, tapi paling cuma lecet aja. Alhamdulillah," ujar Hasan.

Dukanya, lanjut Hasan, karena kondisi cuaca hujan, jalur yang longsor, asap belerang yang menganggu mata dan pernapasan hingga nyeri sendi.

"Kalau sukanya ya setelah dapat barang langsung dapat uang, gajian kita," selorohnya.

Jika dulu Hasan mampu memanggul belerang seberat 100 sampai 120 kilogram, lain dengan kondisi sekarang. Dia hanya mampu separuhnya.

"Karena usia sudah tua, sudah enggak terlalu mampu bawa beban berat. Sekarang paling 50-70 kilogram saja," ucapnya.

Itu pun nilainya tidak seberapa. Per kilogram belerang, dibeli oleh pabrik seharga Rp 1.250. Nilai yang tentu sangat kecil dibandingkan dengan risiko yang harus diterima.

"Kalau ngomongkan cukup atau enggak ya sebenarnya enggak cukup. Tapi ya gimana lagi, harus kita syukuri," tutur Hasan.

Pemandangan di Kawah Ijen di Banyuwangi.  DOK. Unsplash/Andiko Baskoro Pemandangan di Kawah Ijen di Banyuwangi.

Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Hasan tak sepenuhnya mengandalkan dari hasil belerang. Meski dari penambang lain menjadikan sebagai pekerjaan utama.

"Saya juga rawat ternak dan tani juga di kebun. Tapi itu ya pas di hari libur nambang. Karena kan sehari sekali libur, itu yang kita manfaatkan," ujarnya.

Hasan dan kawan sesama penambang belerang juga menerima jasa ojek troli.

"Kalau ada wisawatan naik troli, biaya yang dikenakan adalah Rp 800.000 PP, kalau naik saja Rp 600.000 sampai Rp 700.000. Itu dibagi 3-4 orang pendorong," ujarnya.

"Sedangkan harga untuk turun yakni Rp 200.000 hingga Rp 300.000 atau lebih murah, karena bertugas mendorong troli sendirian," imbuh Hasan.

Baca juga: BBKSDA Larang Pendaki Turun ke Kawah Ijen, Waktu Pendakian Juga Dibatasi

Menurut dia, kondisi tambang belerang di Kawah Ijen sudah tidak seperti dulu.

"Sekarang agak susah dicari. Makanya sekarang mungkin hanya tinggal 50 orang saja yang nambang," ucap Hasan.

Penyebab yang mempengaruhi adalah karena faktor alam. Mulai volume air danau kawah yang naik hingga terdapat sumbatan-sumbatan di pipa kawah.

"Airnya itu sekarang lagi naik. Panas itu, kayak air mendidih. Jadi kita harus hati-hati kalau nambang," ucapnya.

Baca juga: Peluk Gubernur Khofifah Sambil Menangis, Korban Banjir Bandang Ijen: Semua Barang Saya Habis...

Selain itu mengurangnya para penambang belerang di kawah Gunung Ijen juga karena tidak ada penerus.

"Memang anak muda sekarang kebanyakan tidak mau jadi penambang. Anak saya saja juga saya larang. Karena tahu berat dan risikonya besar," ucap Hasan.

Apalagi, tidak ada jaminan kesehatan atau keselamatan kerja dari pihak pabrik yang ditawarkan untuk para penambang. Karena memang pekerja lepas.

"Kita memang hanya setor saja ke pihak pabrik. Karena juga satu-satunya di sini. Pabrik hanya menyediakan alat untuk nambang saja di atas kawah sana," ucapnya.

Karena segala apapun yang terjadi saat melakukan aktivitas penambangan belerang, bukan tanggung jawab dari pihak pabrik.

"Dulu ada sempat yang pernah kecelakaan kerja, akhirnya meninggal. Sama pabrik dikasih santunan gitu aja," terang Hasan.

Hasan dan penambang belerang lain sebenarnya ingin ada semacam asuransi atau jaminan keselamatan kerja, namun dia tidak bisa berbuat banyak.

"Harapan kita semua para penambang ya ada itu. Tapi ya gimana lagi," tutup Hasan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com