Alasan lainnya, kata Hasan, saat itu di wilayah sekitar tempat tinggalnya hampir 100 persen bekerja sebagai penambang.
"Tetangga sekitar, tetangga desa hampir semuanya jadi penambang dulu. Ya daripada tidak ada pekerjaan, ya lebih baik cari lirang (belerang dalam bahasa suku using)," jelas Hasan.
Hasan mengatakan, pada awal dirinya mencari belerang, ada sekitar 400 orang yang menjadi penambang.
"Banyak dulu, ada 400 lebih yang ikut nambang. Mulai usia muda sampai tua ada," ungkap Hasan.
Baca juga: Aksi Turis Rusia Nyalakan Flare di Ijen, Disebut Tak Pakai Jasa Pemandu Lokal dan Di-blacklist
Rupanya, pengalaman pertama menjadi seorang penambang, tak semudah yang dibayangkan.
Hasan muda harus bersusah payah mendaki dan menuruni Gunung Ijen dengan rute terjal setiap dua hari sekali.
Berangkat dari rumah mulai jam 10 malam. Dan, baru kembali pulang dengan membawa belerang, jam 5 sore pada esok harinya.
"Sehari nambang, sehari istirahat. Gak kuat kita kalau setiap hari," kata Hasan.
Baca juga: Penambang Belerang di Kawah Ijen Banyuwangi Nekat Beraktivitas meski Status Waspada
Dengan beban belerang yang dibawa tentu tak main-main. Sekali angkut, saat itu Hasan muda bisa 100 kilogram.
"Itu kita lakukan dengan jalan kaki. Kurang lebih sejauh 17 kilometer. Dari kawah sampai pos bawah. Jalannya dulu ya enggak sebagus sekarang. Dulu belum diaspal," ucapnya.
Hasan bercerita, selama menambang belerang, banyak suka duka yang seringkali ia rasakan.
"Kalau jatuh atau terpeleset ya itu sudah risiko. Pernah dulu, tapi paling cuma lecet aja. Alhamdulillah," ujar Hasan.
Dukanya, lanjut Hasan, karena kondisi cuaca hujan, jalur yang longsor, asap belerang yang menganggu mata dan pernapasan hingga nyeri sendi.
"Kalau sukanya ya setelah dapat barang langsung dapat uang, gajian kita," selorohnya.
Jika dulu Hasan mampu memanggul belerang seberat 100 sampai 120 kilogram, lain dengan kondisi sekarang. Dia hanya mampu separuhnya.
"Karena usia sudah tua, sudah enggak terlalu mampu bawa beban berat. Sekarang paling 50-70 kilogram saja," ucapnya.
Itu pun nilainya tidak seberapa. Per kilogram belerang, dibeli oleh pabrik seharga Rp 1.250. Nilai yang tentu sangat kecil dibandingkan dengan risiko yang harus diterima.
"Kalau ngomongkan cukup atau enggak ya sebenarnya enggak cukup. Tapi ya gimana lagi, harus kita syukuri," tutur Hasan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.