KOMPAS.com - Tragedi kerusuhan suporter bola yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur telah menelan ratusan korban jiwa.
Peristiwa itu berlangsung usai pertandingan berakhir dengan kekalahan Arema FC dari Persebaya Surabaya 2-3.
Saat itu, suporter Aremania yang tak terima tim kebanggaannya itu kalah di kandang Singo Edan hendak protes kepada pemain dan manajemen Arema FC.
Baca juga: Soal Tragedi Kanjuruhan, Kapolri Janji Usut Tuntas dan Cari Siapa yang Bertanggungjawab
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur, Irjen Nico Afinta mengatakan, peristiwa bermula saat suporter Aremania merangsek turun ke lapangan dengan cara meloncati pagar karena tidak terima atas kekalahan Arema FC dari Persebaya.
"Mereka turun untuk tujuan mencari pemain dan pihak manajemen, kenapa bisa kalah," kata dia, Minggu.
Namun, gelombang suporter yang turun ke lapangan terus mengalir sehingga petugas berupaya menghalau mereka dengan menembakkan gas air mata.
"Sehingga terpaksa jajaran keamanan menembakkan gas air mata," jelas dia.
Menurut Nico, penembakan gas air mata kepada suporter Aremania di atas tribun saat kericuhan sudah sesuai prosedur.
Hal itu sebagai upaya mencegah serangan suporter yang merangsek turun ke lapangan dan berbuat anarkis.
"Sehingga, para suporter berlarian ke salah satu titik di pintu 12 Stadion Kanjuruhan. Saat terjadi penumpukan itulah banyak yang mengalami sesak napas," ungkap dia.
Namun, Nico memastikan bahwa dari sekitar 42.288 suporter yang memenuhi tribun, tidak semuanya turun ke dalam lapangan.
"Hanya sebagian yang turun ke lapangan. Sekitar 3.000 suporter," jelas dia.
Nico beranggapan seandainya suporter mematuhi aturan, peristiwa ini tidak akan terjadi.
"Semoga tidak terjadi lagi peristiwa semacam ini," imbuh dia.
Baca juga: Manajemen dan Pemain Arema FC Akan Kunjungi Korban Tragedi Kanjuruhan
Sebelumnya, Nico menyebut ada 127 korban tewas atas insiden tersebut, dua di antaranya anggota kepolisian.