Saat Indonesia merdeka, menurut Syamsi, sang ayah bergabung dengan organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dipimpin oleh Amir Sjarifudin.
Arief lalu pindah ke Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) pada tahun 1950 dan menjabat sebagai Ketua Bidang Kesenian.
Lalu pada tahun 1955, Arief diangkat sebagai anggota DPRD sebagai wakil dari seniman.
Ia bercerita saat rumahnya dihancurkan massa, sang ayah baru lima hari di Banyuwangi setelah mengurus visa untuk bermain musim di Negara republik Rakyat China.
Baca juga: Asal Usur Sayur Genjer, Penyelamat Krisis Pangan Era 1930-an
Malam hari sebelum kejadian, sang ayah bercerita jika ia mendengar kabar dari radio ada pembunuhan besar-besaran di Jakarta.
Ternyata keesokan harinya, rumah yang keluarga Arief dihancurkan massa.
"Saat lewat depan rumah, massa langsung masuk ke dalam. Saya sama ibu melarikan diri," ujarnya.
Syamsi kembali menceritakan saat bergabung dengan Lekra, sang ayah mendirikan grup Sri Muda yakni singkatan dari Seni Rakyat Indoneisa Muda.
Mereka berlatih musik di rumah Arif yang ada di Desa Temenggungan. Dari grup Sri Muda, lagu Genjer-genjer makin dikenal.
Bersama grup Sri Muda, Arief kerap tampil di acara-acara yang digelar PKI speerti di Surabaya, Semarang hingga Jakarta.
Salah satu lagu yang dimainkan adalah Genjer-genjer. Hingga akhirnya lagu tersebut direkam di Irama Record Jakarta dan menjadi lagu populer di masanya.
Baca juga: Sayur Genjer, Makanan Wong Cilik yang Jadi Berdosa
Menurut Syamsi, setelah lagu Genjer-genjer populer, ayahnya kerap menerima pesanan lagu dari Njoto salah satu pejabat Lekra yang sempat singgah di Banyuwangi pada tahun 1962.
"Pak Njoto saat itu mau ke Bali dan mendengarkan lagu Gendjer-gendjer. Ada beberapa lagu lain yang dibuat bapak, yang berkaitan dengan PKI, seperti Ganefo, 1 Mei, Mars Lekra,'Harian Rakyat, dan Proklamasi Ada semua di buku itu," ujarnya.
Ketika membuka buku milik almarhum Muhammad Arief, Kompas.com menemukan lirik lagu Gendjer-gendjer dengan huruf warna merah.
Di kanan atas terdapat gambar palu arit, lambang PKI saat itu dengan tulisan bertanggal 19 Juli 1965.
"Kalau yang itu bukan bapak yang nulis, tetapi temannya. Itu ditulis lagi, direpro. Kalau tulisan bapak yang asli di buku kecil, dilengkapi dengan notnya," ujar Syamsi.
SUMBER: KOMPAS.com
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.