Terpisah, kuasa hukum penggugat, Soemarso mengatakan, kliennya membeli rumah yang menjadi objek eksekusi tersebut pada 2009 seharga Rp 550 juta dari pemilik Fandriyani dan Adi Wijaya.
Namun, sertifikat rumah dijanjikan akan diserahkan pada tahun 2010.
Feryna kemudian melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya dan dinyatakan menang. Tahun 2013, saat akan dilakukan eksekusi pada objek rumah tersebut, tiba-tiba muncul perlawanan hukum dari seseorang bernama Fathurrozid.
Ternyata, pemilik awal Fandriyani dan Adi Wijaya juga telah menjual rumah tersebut kepada Fathurrozid. Karena itu pula, Feryna tak kunjung mendapatkan sertifikatnya karena oleh pemilik awal telah diberikan kepada Fathurrozid.
"Fathurrozid menggugat sampai proses Peninjauan Kembali (PK) yang proses hukumnya berlangsung hingga tahun 2014, dia dinyatakan kalah," kata Soemarso.
Pada 2015, Fathurrozid menjual obyek tersebut kepada I Made Sukartha seharga Rp 1,8 miliar, dan langsung dibalik nama atas nama Ni Luh Putu, putrinya.
"Yang kami sayangkan, kami sudah meminta BPN memblokir sertifikat hak milik momor 1272 karena masih bersengketa, namun faktanya BPN mengeluarkan sertifikat tersebut," terang Soemarso.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.