BANYUWANGI, KOMPAS.com - Sebanyak 77 Sawa atau ruhani leluhur umat Hindu yang telah meninggal dunia, akan disucikan dalam upacara pengabenan massal.
Acara ngaben massal yang digelar di Desa Adat Patoman, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi tersebut berlangsung mulai 24 Juli hingga 27 Juli 2022.
Pemuput dalam upacara ngaben massal ini dipimpin oleh Ida Pandita Mpu Nabe Dharma Mukti Sidha Kerti Ashram Asem Kembar dari Buleleng, Bali.
Secara awam, Ngaben sering diartikan sebagai tradisi pembakaran mayat. Namun pada dasarnya istilah tersebut tak selamanya tepat.
Baca juga: Momen Umat Hindu di Banyuwangi Gelar Upacara Ngaben Massal
Bagi masyarakat Hindu, kematian menjadi persoalan ekonomi sekaligus ruang interaksi dan komunikasi, serta jalinan keterhubungan relasi sosial.
Menurut Ketua Panitia Pengabenan Massal, Made Marsad Wijaya, ngaben sering disebut dengan kata Palebon, yang diyakini berasal dari kata lebu yang berarti tanah, debu atau abu.
"Jadi, ngaben atau palebon adalah sebuah prosesi upacara bagi sang mayat untuk ditanahkan atau menjadi tanah," kata Made, Senin (25/7/2022).
Dalam hal 'mentanahkan' ini, lanjut Made, masyarakat Hindu mengenal dengan dua cara yakni menguburkan atau membakarnya.
Dengan kata lain, prosesi pembakaran mayat ada dalam upacara ngaben. Namun yang perlu diperhatikan ngaben bukan berarti selalu berupa upacara pembakaran mayat.
Secara bahasa, kata ngaben berasal dari kata beya yang berarti biaya atau bekal.
Baca juga: Marak Kasus Kekerasan Seksual di Banyuwangi, Polisi Buka Hotline Pengaduan
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.