BATU, KOMPAS.com - Belasan orang melakukan aksi damai di depan Gedung DPRD Kota Batu, Jawa Timur pada Selasa (22/2/2022) siang. Mereka mengatasnamakan dari Aliansi Selamatkan Malang Raya (ASMR) itu menyuarakan persoalan lingkungan hidup di Kota Batu.
Kegiatan tersebut diikuti perwakilan organisasi seperti Malang Corruption Watch, WALHI Jawa Timur, Nawakalam, dan kelompok aktivis lingkungan lainnya.
Perwakilan aksi, Jansen Tarigan mengatakan persoalan lingkungan hidup di Kota Batu sangat pelik.
"Mulai dari penyusutan hutan primer, ruang terbuka hijau, hingga puncaknya pada tanggal 4 November 2021 terjadi banjir bandang yang merusak permukiman di kampung-kampung sepanjang aliran sungai Brantas," kata Jansen di Kota Batu, Selasa.
Kondisi tersebut, kata dia, diperparah dengan adanya kebijakan Pemkot Batu dalam memberikan izin pembangunan bagi pengusaha di kawasan tidak sesuai peruntukannya.
"Seperti perumahan atau wisata buatan yang berdiri di kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) maka terjadi alih fungsi lahan yang kemudian berdasarkan pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menyebabkan penyusutan kawasan hijau di Kota Batu," katanya.
Situasi ini, menurutnya, telah menyumbang ancaman terhadap kerusakan dan bencana ekologis di Kota Batu.
Pihaknya juga menyoroti persoalan kajian terhadap rencana perubahan ruang dan wilayah yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
"Hasilnya, terlihat bahwa Pemerintah Kota Batu berniat mendatangkan bencana ekologis yang lebih besar melalui revisi Perda RTRW," ujarnya.
Baca juga: 32 Personel Polresta Malang Kota Positif Covid-19
ASMR menemukan adanya enam poin terkait perubahan kajian Raperda RTRW yang tidak mendukung kepentingan perlindungan ekosistem alam.
Di antaranya, seperti penghilangan tiga jenis kawasan lindung, pereduksian kawasan lindung setempat. Ada juga pengurangan jumlah kawasan sempadan mata air yang dilindungi.
Kemudian, pengurangan besaran sempadan sungai dan perubahan kalimat dari 'kawasan permukiman/di luar permukiman' menjadi 'kawasan terbangun/tidak terbangun' yang melegitimasi kondisi ketidakteraturan pembangunan di Kota Batu.
"Juga penghilangan kawasan cagar budaya, terakhir alih fungsi kawasan di keseluruhan wilayah hutan lindung menjadi wilayah hutan produksi," katanya.
Selain itu, ASMR juga telah mengupayakan beberapa agenda advokasi kepada Pemerintahan Kota Batu.
Di antaranya mengajukan permohonan informasi berupa dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang hingga kini tidak kunjung ditanggapi oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batu.
Sebenarnya, pihaknya sempat melakukan audiensi pada 4 Oktober 2021. Saat itu, DLH Kota Batu berjanji memberikan dokumen tersebut kepada publik. Namun hingga saat ini janji tersebut belum ditepati.
Pihaknya juga menyoroti DPRD Kota Batu sebagai lembaga perwakilan rakyat juga bertindak abai terhadap aspirasi masyarakat sipil yang peduli pada kondisi kerusakan lingkungan di Kota Batu.
Jansen mengatakan ASMR telah dua kali mengajukan permohonan audiensi pada November 2021 dan Januari 2022. Namun, kata dia, permohonan tersebut diabaikan begitu saja dengan berbagai alasan prosedural.
"Padahal, tujuan audiensi tersebut adalah untuk mendiskusikan persoalan kerusakan lingkungan dan perubahan kebijakan RTRW yang diduga tidak partisipatif dan mengancam keselamatan lingkungan hidup di Kota Batu," ungkapnya.