Setidaknya ada lima jenjang kepangkatan dalam PETA.
Pertama, daidanco atau komandan batalion. Pangkat ini diberikan kepada anggota yang berasal dari pejabat birokrasi, pemuka agama, penegak hukum, hingga pamong praja.
Kedua, chudanco atau komandan kompi. Pangkat ini untuk anggota yang memiliki latar belakang pengajar atau guru.
Ketiga, shodanco atau komandan peleton. Pangkat ini diberikan kepada anggota yang berpendidikan minimal sekolah menengah.
Keempat, budanco atau komandan regu. Pangkat ini diberikan kepada anggota yang berpendidikan minimal sekolah dasar.
Kelima disebut giyuhei atau prajurit. Pangkat terendah ini diberikan kepada pemuda atau anggota yang belum pernah mengenyam pendidikan.
PETA disusun berdasarkan wilayah dengan 2-5 batalion (daidan) di setiap karesidenan. Namun tiap daidan tidak terhubung satu sama lain.
Siasat tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir bahaya bagi Jepang. Setiap daidan berada di bawah komando tentara Jepang setempat.
Memasuki bulan November 1944, Jepang sudah berhasil membentuk 66 batalion atau daidan PETA di seluruh Pulau Jawa.
Hinga tanggal 1 Agustus 1945, tercatat sudah ada 35.855 anggota PETA di Jawa dan 1.626 anggota PETA di Bali.
Adapun batalion atau daidan PETA di Blitar pada 25 Desember 1943 terdiri dari empat kompi.
Pemberontakan tentara PETA di Blitar dipicu oleh kekecewaan terhadap situasi ekonomi pada saat itu.
Para anggota PETA Blitar juga prihatin dengan perlakuan kejam Jepang terhadap romusha, serta makin tertindasnya para petani.
Selain itu, di internal PETA sendiri ada kekecewaan yang disebabkan perbedaan perlakuan terhadap perwira Jepang dan Indonesia.
Salah satunya adanya kewajiban seluruh tentara PETA untuk memberi salam kepada serdadu Jepang, bahkan kepada yang berpangkat paling rendah.