Pertunjukan Cak Durasim itu digelar di daerah Genteng Kali, Surabaya. Pertunjukan itu kemudian diberi nama Ludruk.
Ludruk bukan semata sebagai hiburan rakyat. Lebih dari itu, Ludruk juga berfungsi sebagai pemberi pesan kepada para penonton, serta kritik pada penguasa.
Setidaknya ludruk memiliki dua fungsi, yaitu primer dan sekunder. Fungsi primer Ludruk bersifat ritual, estetis, dan sebagai hiburan.
Sementara dari sisi sekunder Ludruk memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai sarana pendidikan, penebal solidaritas, menumbuhkan kebijaksanaan, dan sebagainya.
Sejak awal, Ludruk maupun nama-nama yang disematkan sebelumnya juga berfungsi sebagai alat perjuangan.
Pada masa penjajahan Beanda, Ludruk digunakan sebagai media kritik sosial kepada pemerintah Hindia Belanda.
Baca juga: Tarsan: Demi Ludruk Bangkit
Kritik itu disampaikan melalui parikan, atau pantun yang dikemas secara halus. Selain parikan, kritik juga disampaikan melalui guyonan yang dilontarkan para pemainnya.
Fungsi Ludruk sebagai kritik terhadap penguasa terus berlanjut pada masa Cak Durasim, saat Jepang berkuasa.
Suatu kali, Cak Durasi mengucapkan parikan yang berbunyi:
“Bekupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro”. Artinya: Bekupon rumah burung dara, ikut Nippon (Jepang) lebih sengsara.
Namun pantun atau parikan Cak Durasim ini kemudian dilaporkan oleh seorang pribumi yang menjadi mata-mata Jepang.
Jepang kemudian menangkap Cak Durasim dan menjebloskannya ke dalam penjara di Genteng Kali. Di tempat inilah Cak Durasim meninggal dunia.
Sumber:
Kompas.com
Um.ac.id
Kemdikbud.go.id
Sunaryo dkk (1997). Perkembangan Ludruk di Jawa Timur, Kajian Analisis Wacana.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.