Namun setelah proklamasi kemerdekaan, Bung Tomo sempat ikut dalam pengepungan gudang mesiu Don-Bosco yang berhasil merebut banyak senjata milik tentara Jepang.
Bulan Oktober dan November 1945, ia berusaha membangkitkan semangat rakyat Surabaya.
Hal ini juga dipicu oleh keadaan yang memanas setelah penyerangan di Hotel Yamato pada tanggal 27 Oktober 1945 dan tewasnya Mallaby.
Rakyat Surabaya diultimatum untuk segera menyerahkan senjata kepada pihak Inggris selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi.
Namun Bung Tomo dengan seruan-seruannya membakar semangat rakyat di dalam siaran-siaran radio yang penuh dengan emosi.
Hingga pada tanggal 10 November 1945, meletuslah perang antara rakyat dengan tentara Inggris.
Sosok Bung Tomo sontak menjadi pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya.
Sebuah kutipan dari orasinya yang mengobarkan semangat adalah “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!”.
Siarannya disebarluaskan dan bantuan bagi rakyat Surabaya berdatangan dari berbagai penjuru baik dalam bentuk tenaga maupun logistik.
Peperangan yang berlangsung selama tiga minggu itu akhirnya dimenangkan oleh tentara Inggris.
Namun jasa Bung Tomo mengobarkan Semangat rakyat pada saat itu terus dikenang dan orasi-orasinya diperdengarkan untuk membakar semangat rakyat untuk mengusir penjajah.
Setelah masa perjuangan mengusir penjajah, Bung Tomo sempat bergabung di bidang politik pemerintahan dan menjadi menteri di Kabinet Burhanudin, Dwikora I dan Dwikora II.
Bung Tomo meninggal dunia di Makkah pada tanggal 7 Oktober 1981, saat beliau tengah menunaikan ibadah haji.
Jenazahnya kemudian dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya.
Sumber:
perpusnas.go.id
surabaya.go.id
tribunnews.com