KOMPAS.com - Mahriyeh (70) dan suaminya, Miran (80), telah hidup bersama selama lebih dari setengah abad.
Namun, kebersamaan itu menemui akhir pada 4 Desember 2021 lalu, saat Gunung Semeru mengeluarkan awan panas guguran.
Miran turut menjadi salah satu korban bencana tersebut. Ia diduga terkubur material vulkanik di ladang padi miliknya.
Setelah berhari-hari proses pencarian korban hilang, Miran tak kunjung ditemukan.
Kini, Mahriyeh telah merelakan belahan jiwanya itu. Apalagi operasi pencarian dan pertolongan korban bencana Gunung Semeru ditutup pada Kamis (16/12/2021).
Baca juga: Meski Berat, Mahriyeh Rela Jasad Suaminya Terkubur Material Erupsi Semeru untuk Selamanya
Nenek tersebut menganggap apa yang terjadi pada suaminya adalah garis takdir.
"Bagaimana lagi. Tapi anak saya yang masih di kampung sudah bisa menggelar selamatan untuk almarhum (Miran)," ujarnya, Jumat (17/12/2021).
Menantu Mahriyeh, Wagiman (60), mengatakan, kemungkinan untuk menemukan jasad mertuanya sangatlah kecil.
Pasalnya, ladang padi tempat Miran terakhir kali berada, kini tertimbun material Semeru setinggi puluhan meter.
"Letak ladang itu di pinggir aliran lahar Curah Kobokan. Di belakang ladang ada tebing. Letak ladang rendah, jadi kira-kira tertimbun pasir hingga 50 meter tebalnya," ucapnya.
Baca juga: Sudah Sepekan Mahriyeh Tunggu Suami yang Ditinggal di Ladang Lereng Semeru
Perjumpaan terakhir Mahriyeh dengan Miran terjadi pada Sabtu pagi. Waktu itu, Mahriyeh mengantarkan bekal makan untuk suaminya di ladang.
Ladang padi itu letaknya cukup jauh dari rumah mereka di Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur (Jatim).
Bagi Miran yang sudah tak dapat berjalan normal karena usia, butuh waktu sekitar satu jam untuk tiba di ladang.
Baca juga: Erupsi Semeru, Menanti Mereka yang Hilang Kembali Pulang
Saat itu, padi di ladang kakek dan nenek itu sudah menguning.
Oleh karena itu, Miran harus berada di ladang untuk menjaga padinya dari serbuan monyet.
Ia bahkan menginap di sana. Rencananya, beberapa hari lagi padi-padi itu akan dipanen.
Mahriyeh sebenarnya sudah meminta Miran untuk pulang. Ia khawatir bila terjadi banjir lahar hujan seandainya turun hujan lebat. Namun, Miran menolak pulang.
Kini, Mahriyeh mengaku ingin menggelar acara selamatan untuk mendoakan suaminya.
"Nanti kalau bisa, pengin selamatan di sini juga untuk Mbah Miran," ungkapnya saat ditemui Kompas.com di Kabupaten Blitar, Jatim.
Putri Mahriyeh, Ni’ah (57), menuturkan bahwa ibunya berharap bisa mengadakan tradisi selamatan.
Baca juga: Lebih dari Setengah Abad Bersama, Mahriyeh dan Miran Dipisahkan Bencana Semeru
"Mungkin di sini. Atau mungkin nanti setelah kami bisa pulang ke kampung kami di Lumajang, Emak ingin bikin selamatan untuk Bapak," terangnya.
Dua pekan selepas bencana Gunung Semeru, Mahriyeh bersama anak, cucu, dan kerabat mengungsi ke rumah keluarganya di Desa Gogodeso, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.
Sumber: Kompas.com (Kontributor Blitar, Asip Agus Hasani | Editor: Andi Hartik,Teuku Muhammad Valdy Arief)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.