Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahasa "aLaY" yang Seksi

Kompas.com, 29 September 2011, 17:30 WIB

Oleh A.A. Ariwibowo  

KOMPAS.com — Buat apa memulai tulisan ini dengan mengutip satu, dua, atau tiga ungkapan bahasa anak baru gede (ABG), atau populernya bahasa anak layangan (alay)? Itu daulat dosen sekolah wartawan dari menara gading.

Mau dibilang kampungan, silakan; mau disebut nyeleneh karena menabrak rambu-rambu, juga silakan. "EGP, emang gue pikirin," begitu jawaban berlogat Betawi. Bahasa alay itu disebut-sebut seksi karena setiap kata-kata berkaitan dengan segala apa di kolong langit ini.

Jika seseorang mengatakan kepada sohibnya, "Aku tidak mau hidup dalam kemunafikan" (QOh g Mo iDoP dLAM kmNfqAn). Itu artinya, seorang sahabat ingin membangkitkan keteguhan hati antara satunya kata dan perbuatan. Tidak omong doang (omdo), meminjam ujaran prokem, tapi bukti, bukti, dan bukti.

Benar, bahwa bahasa menuntut penggunaan aturan-aturan. Benar, bahwa aktivitas berbahasa memiliki analogi dengan permainan seperti diutarakan oleh filsuf Wittgenstein. Pertanyaannya, bagaimana bahasa menjelaskan secara memadai kata "sialan"? Ayo, silakan mengutak-atik permainan di balik kata sialan itu.

Permainan, di mata bahasa alay, mengerucut melulu kepada makna percintaan setimpal dunia gaul ABG. Percintaan, bukan semata ungkapan "ada uang abang disayang, gak ada uang abang ditendang". Indahnya cinta, manisnya kasih, seakan berada di taman sarat bebungaan. TaKe mE 2 yOuR hEaRtZzz? (Take me to your heart), bawa aku ke dalam hatimu.

Oke-0ke saja, bila pemakaian bahasa alay menggabungkan huruf dengan angka, memperpanjang atau memperpendek pemakaian huruf, atau memvariasi huruf besar dan kecil, untuk membentuk sebuah kata dan kalimat. Bukankah filsuf JL Austin menyatakan, dalam mengatakan sesuatu, berarti melakukan sesuatu.

Silakan mengganti "sesuatu" itu dengan percintaan, maka bahasa alay boleh jadi lebih mengedepankan kecintaan bukan justru kebencian. Dogmanya: yOz aLaWAiCe d bEzT (you always the best), kamu selalu yang terbaik.

Kecintaan bukan kebenciaan, atau aLwaYs 4?U (always for you), cuma buat kamu. Pertanyaannya, mengapa pekan depan Kementerian Pendidikan Nasional mengumpulkan 20 SMA/SMK di Jakarta yang kerap terlibat aksi tawuran?

Ini serius karena menyangkut nyawa sesama pelajar yang kamu gadang-gadang sebagai sesama. Mau bukti? Pada 12 September 2011, bentrok antarpelajar di Jl Angkasa Ujung, Kemayoran, Jakarta Pusat, menewaskan seorang pelajar SMP bernama Aldino Roke Utama (14).

Pada 28 Juli 2011, terjadi bentrokan antarpelajar di Jl Dr Saharjo, Jakarta Selatan. Korban tewas bernama Nur Arifin (17). Di Bogor, pada 7 Mei 2011, siswa bernama Rian Maulana (17) tewas karena terlibat aksi tawuran pelajar di Jl Dermaga. Pada 5 Februari 2011, seorang siswa, Andri Kuncoro (15), tewas setelah dikeroyok sekelompok pelajar di Jl A Yani, Bekasi. Mereka meregang nyawa. I?m ReGrEeEeeEEeeEet nOw, (aku menyesal sekarang).

Tindakan jauh dari mengasihi sesama pelajar itu mengundang respons pengamat. "Hukum harus ditegakkan, aparat kepolisian harus bertindak tegas. Siapa yang tawuran harus ditangkap, jangan setelah ditangkap langsung dilepas lagi," kata kriminolog Universitas Indonesia (UI), Yogo Tri Hendiarto.

Masih mau tawuran? Tawuran, itu suara menjijikkan (It?Z DISGUSTING vOiCE). Selain tawuran yang menjijikkan karena tidak menjanjikan apa-apa, merokok juga menjijikkan. Tercatat, pada periode 2001-2007, perokok remaja naik 150 persen dan perokok pemula dari usia 10 tahun naik 200 persen.

Soal merokok di kalangan remaja, sejumlah kalangan menuntut label peringatan yang kini berupa tulisan kecil diganti dengan gambar yang melukiskan bahaya rokok terhadap organ tubuh, misalnya kondisi paru-paru yang rusak akibat kanker.

"Peringatan yang ada saat ini tulisannya kecil-kecil. Itu tidak efektif," kata Koordinator Pengembangan Peringatan Bungkus Rokok dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Widyastuti Soerojo.

Tawuran dan merokok, jelas bukan semangat yang mau diusung oleh roh bahasa alay. Jangan tawuran, diucapkan sebagai perintah kepada seseorang agar tidak berkelahi apalagi baku bunuh. Jangan merokok, diucapkan sebagai imbauan sarat perintah agar tidak merokok di sekolah, di kantor, di rumah, di bus kota dan angkot. Apa perlu mencantumkan ujaran, yang merokok tidak mengasihi diri sendiri, apalagi mencintai sesamanya.

Roh bahasa alay mendaulat ketegasan bahwa apa yang menentukan pernyataan sebagai pernyataan atau perintah sebagai perintah adalah situasi ketika bahasa itu digunakan. Bahasa membentuk "kehidupan", kata filsuf J Derrida.

Contohnya, bila pelajar meminta kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo agar menambah bus transjakarta, maka ketersediaan transportasi memang diperlukan bagi pelajar. Menyediakan bus transjakarta bagi pelajar boleh jadi bukti cinta Foke kepada pelajar.

ThanKz b?4, (thanks before) terima kasih sebelumnya, kepada Pak Gubernur. Jangan pernah meragu untuk mencintai karena cinta adalah salah satu bentuk dari kegilaan (mania), kata filsuf Sokrates.

QoH tLuZ?aN uCHA bWaD tTeP qEqEUh cXnK qMo, (aku terus-terusan berusaha buat tetep kekeuh sayang kamu). Seksi.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau